Mohon tunggu...
Wahyu Aning Tias
Wahyu Aning Tias Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia yang mempercayai menulis untuk menyembuhkan

Terimakasih Marx, Kafka, Dostoyevski, Chekov, Camus, Murakami, Coelho, Rumi Dari kalian mengalir kefasihan bertutur dan kebijaksanaan dalam diam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta yang Tidak Bisa

30 Maret 2021   20:02 Diperbarui: 30 Maret 2021   20:02 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dimana dia sekarang? Kenapa bukan dia sendiri yang menyampaikan ini?!” ada kegeraman dan emosi tersembunyi di lubuk hati Seno. Dia tahu hari ini pasti akan datang.

Ariella juga tidak mengerti, dia bimbang saat hendak menyerahkan surat pengunduran diri itu. Dia takut tidak bisa menghadapi Seno, dia takut menghadap kenyataan bahwa dia tidak bisa lagi menemui Seno seperti yang biasa dia lakukan.

“Hai, sayang…!” gambar Seno dalam video call nampak mesra menatapnya. Waktu itu pukul empat sore di Jepang dan sudah malam hari di tempat Ariella mengambil beberapa foto untuk tema nightscape.

“Lihat nih, bunga sakura buat kamu…”

Ariella tertawa melihat kelakuan Seno yang sudah memiliki tiga anak-anak yang tampan itu nampak seperti remaja belasan tahun di hadapannya. Lantas percakapan diantara mereka adalah percakapan antara dua anak manusia yang saling melepas kerinduan, karena rindu diantara mereka telah mencegah kehidupan yang monoton membunuh semangat hidup yang tersisa.

I always love this conversation…

Like I love you, too” Ariella mengecup layar smartphone, seolah-olah dia sedang mengecup kening Seno.

“Sudah ya, anak-anak sama mamanya selesai belanja tuh! Byee…

Byee…” Ariella menatap layar dengan beku. Dia sadar, dia tidak akan pernah bisa menggantikan setiap orang yang sangat berarti bagi Seno dan sangat membutuhkan kehadiran sosok ayah diantara mereka.

Cinta yang tidak bisa…

Seno berdiri di samping jendela kantornya yang luas, dia sanggup memandang apapun dari situ, mulai dari atap-atap gedung, rumah-rumah, dan sebuah halte. Seno menatap sosok yang sangat dikenalnya itu sedang termenung di halte sendirian, sementara mendung menggantung, sebentar lagi hujan. Seno meraih ponsel di mejanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun