Ariella menelan ludah, dia telah bodoh membingkai kenangan bersamanya hanya untuk melempar beberapa meter dari hadapannya dan sekarang ditemukan oleh Erika, sahabatnya.
“Yah, kamu mengenalnya…sangat mengenalnya…” Ariella menyerah pada situasinya sekarang. Dia berharap kopi itu tidak segera dingin, dia ingin menyesapnya sekarang juga.
“Ini bukan foto Pak Seno, kan? Editor kita?!” Erika bingung bercampur kesal, tetapi dia tidak ingin mempercayai ini. Dia ingin Ariella berbohong padanya sekarang.
Ariella mengusap-usap wajah dengan kedua telapak tangannya. Arimatanya sudah mengering.
“Apa dia alasan kamu selama ini mengurung diri seperti sekarang?”
Hening.
“Tolong jangan paksa saya bicara…” Ariella akhirnya bicara, matanya berkaca-kaca menatap Erika.
Erika tidak sampai hati melihat sahabatnya berwajah seperti itu, dia hampiri Ariella yang masih terduduk di sofanya dan memeluknya erat.
“Kamu tahu kan, hal terburuk apa yang akan terjadi padamu kalau sampai ada yang tahu tentang ini?”
Ariella menangis, “Aku menyerah, Rik. Apapun yang akan terjadi, aku siap. Aku tahu situasi diantara kami sama sekali tidak menguntungkan. Aku hanya mencintainya, tanpa berharap apapun.”
“Berapa lama? Berapa lama kamu merahasiakan ini dariku?”