“Dimana dia sekarang? Kenapa bukan dia sendiri yang menyampaikan ini?!” ada kegeraman dan emosi tersembunyi di lubuk hati Seno. Dia tahu hari ini pasti akan datang.
Ariella juga tidak mengerti, dia bimbang saat hendak menyerahkan surat pengunduran diri itu. Dia takut tidak bisa menghadapi Seno, dia takut menghadap kenyataan bahwa dia tidak bisa lagi menemui Seno seperti yang biasa dia lakukan.
“Hai, sayang…!” gambar Seno dalam video call nampak mesra menatapnya. Waktu itu pukul empat sore di Jepang dan sudah malam hari di tempat Ariella mengambil beberapa foto untuk tema nightscape.
“Lihat nih, bunga sakura buat kamu…”
Ariella tertawa melihat kelakuan Seno yang sudah memiliki tiga anak-anak yang tampan itu nampak seperti remaja belasan tahun di hadapannya. Lantas percakapan diantara mereka adalah percakapan antara dua anak manusia yang saling melepas kerinduan, karena rindu diantara mereka telah mencegah kehidupan yang monoton membunuh semangat hidup yang tersisa.
“I always love this conversation…”
“Like I love you, too” Ariella mengecup layar smartphone, seolah-olah dia sedang mengecup kening Seno.
“Sudah ya, anak-anak sama mamanya selesai belanja tuh! Byee…”
“Byee…” Ariella menatap layar dengan beku. Dia sadar, dia tidak akan pernah bisa menggantikan setiap orang yang sangat berarti bagi Seno dan sangat membutuhkan kehadiran sosok ayah diantara mereka.
Cinta yang tidak bisa…
Seno berdiri di samping jendela kantornya yang luas, dia sanggup memandang apapun dari situ, mulai dari atap-atap gedung, rumah-rumah, dan sebuah halte. Seno menatap sosok yang sangat dikenalnya itu sedang termenung di halte sendirian, sementara mendung menggantung, sebentar lagi hujan. Seno meraih ponsel di mejanya.