Dasar bule fakir!, Marina tiba-tiba merasa Patrick bukannya mau menyontek, tetapi merampok jawaban darinya. Tetapi, karena Patrick adalah kekasih sahabatnya, akhirnya Marina mengalah. Mengalahnya tidak tanggung-tanggung, dia memberikan jawaban semua nomor untuk Patrick. Tentu saja Patrick jadi girang gemirang saat mendapatkan kertasnya kembali.
Keesokan harinya, saat hasil ujian dibagikan, Patrick mendapatkan nilai tertinggi, setelah itu baru Marina.
“Class, hari ini adalah shocking day buat saya, mungkin buat kalian juga! Seseorang yang biasanya selalu mendapatkan hasil ujiannya paling akhir, sekarang harus bangga karena akan saya panggil pertama kali. Tuan Patrick, selamat!”
“Huuuu...!” seisi kelas malah mengejek Patrick, sepertinya hanya Pak Guru saja yang tidak sadar karena tidak pernah menonton film ‘We Know What You Did Last Exam’. Tetapi, Patrick tetap saja Patrick, si bule fakir malah menganggap seisi kelas sirik padanya karena tidak bisa menandingi kesuksesannya dalam mencari contekan.
Marina mungkin saja sadar atau mungkin juga tidak kalau mulai hari itu, perasaan Patrick pada Dina sudah berpaling padanya seratus delapan puluh derajat. Patrick merasa lama-kelamaan Marina jauh lebih smart dan cantik daripada Dina. Semakin hari intensitas pesan singkatnya pada Marina, semakin tinggi mulai dari menanyakan tugas sampai sekedar mengucapkan selamat bangun pagi. Sebenarnya, Marina ingin mengadukannya pada Dina, tetapi di takut merusak kebahagiaan Dina. Akhirnya, Marina memilih untuk diam dan tidak selalu menanggapi pesan singkat Patrick, demi kebaikan bersama.
***
Sudah satu bulan berselang, Patrick masih tetap Patrick dan tidak bergeming meski pesan singkatnya seringali tidak diperhatikan oleh Marina. Rupanya, si bule fakir lagi kesengsem berat. Hari ini, Marina datang terlalu pagi dari siapapun dan sama sekali tidak melihat wajah bersemangat Dina dari balik pintu hingga bel pulang sekolah berbunyi. Sebenarnya Marina ingin menanyakan keberadaan Dina pada Patrick, tetapi dia enggan. Marina memilih untuk langsung datang ke rumah Dina saat dia menyadari bahwa Dina sama sekali tidak membalas pesan singkatnya dan mengangkat telepon darinya.
“Ting...tong...” seraut wajah cerah wanita paru baya membukakan pintu untuk Marina. Dia adalah pembantu di rumah Dina dan sebagai catatan Marina tidak pernah tahu bagaimana rupa kedua orangtua Dina dari dekat. Dia hanya tahu foto-foto mereka yang dipajang di ruang tamu, tidak lebih.
“Dina ada di rumah?” tanya Marina dengan sopan.
“Ada, Mbak. Langsung masuk saja.” Jawabnya dengan logat khas Banyumas.
“Nggak, apa-apa nih?!” tanya Marina ragu-ragu mengingat Dina itu orangnya sangat sensitif, apalagi kalau sedang dilanda masalah.