Akhir-akhir ini Dina seringkali datang terlambat, tetapi Marina enggan menghabiskan desert-nya sebagai hukuman. Dia tidak tega karena porsi makan Dina jadi bertambah dua kali dari biasanya. Memang Dina tidak lagi marah padanya dan masih mau ditemani kemana-mana oleh Marina, tetapi Marina jadi merasa sangat bersalah padanya.
“Sudahlah, aku hanya melakukan yang seharusnya kulakukan. Kamu tidak perlu merasa bersalah seperti itu.”
“Kalau begitu kamu mau, kan ke rumahku sekali lagi. Aku ingin kita mengulangi kejadian yang sama tempo hari. Aku masih ingin mengantarkanmu pulang ke rumah dengan hati tenang dan aku ingin sekali membahagiakanmu, Din. Mau, ya?!”
Dina tertawa kecil, “dasar bodoh! Aku bukan anak kecil lagi pakai diantar segala! Hari ini kita ke rumahmu, deh!”
Marina senang mendengarnya. Dia berjanji dalam hati untuk berusaha sekuat tenaga meringankan beban sahabat baiknya.
Dalam perjalanan pulang, mereka berdua asyik bersenda gurau hingga tak terasa sudah sampai di halaman depan rumahnya. Dina tiba-tiba membisu.
“Kenapa, Din?”
Dina bernafas lebih cepat dari biasanya dan membuka pintu depan tanpa beruluk salam atau mengetuk.
“Papa?!”
Marina yang masih tidak paham apa yang sebenarnya terjadi, berusaha untuk menyusul Dina ke dalam. Dia melihat Dina berdiri di ambang pintu kamar ibunya yang menganga lebar dan berusaha mencari tahu.
“Astaga, Ibu!” Marina terkejut melihat ibunya mengenakan selimut untuk menutupi tubuhnya dan papa Dina yang berdiri dengan bertelanjang dada.