Dina tengah membereskan buku agendanya, notebook, lipstik dan compactpowder-nya saat telepon berbunyi.
“Halo, selamat pagi.”
“Pagi...eh, maaf...benar ini kediaman Tuan Martin?” suara asing dari seberang terdengar gugup.
“Benar, saya putrinya. Saya sedang berbicara dengan siapa?”
“Mmm..eh..saya karyawati Tuan Martin. Saya hanya ingin mengabarkan kalau klien sudah datang setengah jam yang lalu. Jadi, saya putuskan untuk menelepon kemari karena Tuan Martin belum juga datang.”
Dina mengernyitkan dahinya, “tapi, Tuan Martin sudah berangkat dari lebih dari sejam yang lalu. Kenapa tidak coba menelepon ke ponselnya?”
“Yah, baiklah saya akan coba. Terima kasih...tuuut...tuuut...” suara gagang telepon yang ditutup dengan tiba-tiba membuat telinga Dina jadi sakit.
“Dasar, karyawati bodoh!” rutuk Dina, dia lalu menyambar tasnya dan segera melesat pergi karena dia sudah melewatkan lima menit dari waktu keberangkatannya.
“Selamat Pagi, My Dee!” sapa Patrick dengan panggilan kesayangan saat Dina berlalu melewatinya dengan wajah muram. “Hei, what’s wrong?” Patrick lalu mengekor di belakang Dina hingga dia meletakkan tasnya dan duduk diam. Patrick masih setia dengan mimik prihatin, duduk di hadapannya.
“Aku kesal!” akhirnya Dina bicara juga. “Karyawati Papa hampir saja membuatku terlambat hari ini. Bayangkan, dengan bodohnya dia menelepon ke rumah dan mencari Papa padahal dia sudah berangkat satu jam yang lalu.”
“Apa kamu yakin papamu baik-baik saja?” tanya Patrick penuh perhatian.