***
Seharusnya sekarang sudah waktunya pulang sekolah, tetapi persiapan untuk acara pentas seni besok membuatku tidak bisa pulang hingga menjelang pukul sembilan malam.
“Aku duluan ya! Kasihan Ibu sendirian di rumah.” Kataku berpamitan pada teman-teman yang masih sibuk menata dekorasi. Rencananya mereka akan menginap di sekolah, tetapi aku rela pulang agak larut demi memenuhi janjiku pada Kakek pemilik kedai teh. Lagipula, Ibuku pasti akan lebih tenang kalau aku pulang ke rumah.
Sesampainya di pusat jajanan alun-alun, kulihat Kakek sudah merapikan kedainya sendirian.
“Kakek, maaf datang terlambat.” Kataku berusaha menyapanya.
Dia tersenyum melihatku datang, sepertinya senang. “Kakek kira kamu tidak datang. Hari ini Kakek tidak menyeduh teh.”
“Maksud Kakek, tidak ada pelanggan yang datang begitu?” tanyaku sedikit menyimpan perasaan bersalah.
“Heheheh...bukan begitu. Tapi Kakek sengaja menggantung tulisan TUTUP ini di daun pintu supaya kita bisa menikmati melukis dan dilukis bersama-sama.” Kata Kakek sembari terkekeh membuat rasa bersalahku tidak lagi tersimpan rapi, tapi semburat karena mendadak bertambah berkali-kali lipat. Seharian ini Kakek tidak mendapatkan pelanggan karena aku.
“Maafkan saya, Kek.” Kataku sekali lagi. Kali ini dengan nada dan raut wajah diliputi perasaan tidak enak.
“Sudah...sudah...Rejeki itu Tuhan yang mengatur. Jadi, Kakek tidak terlalu mencemaskan rejeki Kakek hari ini. Masih banyak hari esok untuk mengais rejeki. Sekarang kamu pulanglah, pasti orangtuamu khawatir kalau kamu pulang selarut ini.”
“Kek, besok saya pasti akan datang.” Aku berusaha untuk membuat janji lagi dengan Kakek.