“Tidak apa-apa, Kek. Begini saja sudah cukup.” Kataku berusaha untuk menghargai usahanya.
“Kalau begitu silakan diminum.”
“Terima kasih.”
Aku lalu mengambil beberapa bongkah kecil es dan mulai menyeduh teh lalu menyesapnya sedikit-sedikit. Ada rasa yang asing masuk ke dalam mulutku dan perlahan kurasakan mengalir ke lambung. Warnanya memang seperti teh pada umumnya, tetapi memiliki cita rasa yang lain. Pedas dan wangi khas yang pekat. Sepertinya kedai teh ini tidaklah sesederhana penampilan luarnya, ada cita rasa seni tingkat tinggi begitu memasukinya.
Rasa haus yang sedari tadi menghantui perjalanan pulangku perlahan mulai menyingkir dan ada perasaan lain yang datang bersamaan dengan hilangnya perasaan hausku, aku menjadi sedikit lebih segar, seperti menemukan semangat baru. Kulirik jam tanganku, satu jam lagi aku harus mengikuti kelas melukis dan itu artinya aku harus segera pulang agar bisa bersiap-siap. Akupun berdiri dan mendekat ke arah Kakek yang sedang sibuk menyeduh sesuatu di balik meja pemesanan.
“Berapa semuanya, Kek?”
Kakek itu mendongakkan kepalanya dan tersenyum ke arahku.
“Benar kamu bisa melukis?”
Bukannya menjawab pertanyaanku, beliau malah balik bertanya. “Iya, begitulah.”
“Kalau begitu datanglah lagi besok. Bawa semua alat lukismu dan lukislah wajah Kakek.” Kata-katanya seolah menantangku. “Bayarlah the seduhan Kakek dengan karyamu. Bagaimana?”
Meskipun masih diliputi tanda tanya, tetapi aku mengiyakan tantangan si Kakek. “Baiklah. Besok saya pasti akan datang lagi.”