Keesokan harinya, akupun segera bergegas menuju alamat yang tertera di dalam kartu nama itu. Sesampainya disina, aku bertemu dengan Hario tepat di depan sebuah toko. Dia baru saja turun dari mobilnya.
"Hai, udah lama?", tanyanya.
"Oh tidak, saya baru saja sampai"
"Oh, kalau begitu ayo silakan masuk"
Akupun berjalan mengikutinya dari belakang hendak masuk ke dalam toko buku itu.
"Nah, ini pekerjaan kamu nantinya di bagian kasir", katanya seraya menunjukkan meja kasir toko buku itu.
"Ya, terima kasih telah memberikanku pekerjaan", kataku sambil tersenyum.
"Kamu tidak perlu berterimakasih, kan memang aku lagi butuh pegawai disini dan sebagai permintaan maafku juga karena kemarin tidak sengaja hampir menabrakmu. Jadi, akulah yang seharusnya berterima kasih kepadamu" katanya sembari tersenyum.
Aku kembali terpana akan sosok pria yang berada tepat di depanku saat ini tapi aku cepat-cepat membuang itu semua karena aku sadar kalau kami berbeda. Dia tidak mungkin melirik wanita sepertiku.
"Oh iya, kamu bisa ambil seragam yang kamu pakai selama bekerja disini di ruang sebelah sana", katanya lagi .
"Baiklah, saya akan segera kesana untuk mengambil dan memakainya"
"Ya sudah kalau begitu, selamat bekerja! Semoga kamu betah kerja disini", katanya sambil melangkah keluar meninggalkanku.
Aku hanya tersenyum sambil berkata dalam hati, "Pastilah, aku akan sangat betah bekerja disini karena ada kau disini"
Pagi itu memang pengunjung masih sepi, tapi menjelang siang pengunjung yang datang semakin ramai. Mereka asyik mencari dan membaca buku yang hendak mereka beli. Lama-lama antrian di kasirku pun semakin banyak. Tiba-tiba seorang pria menyerobot antrian orang-orang yang akan membayar buku. Tampak orang-orang yang mengantri itu protes akan kelakuan pria itu.
"Tolong, mas bisa ikut mengantri" kataku.
"Saya buru-buru, mbak" jawabnya singkat.
"Tapi, tidak bisa mas. Mereka dari tadi juga ikut mengantri"
"Ketimbang mbak ngajak saya ngobrol terus, ini buku yang saya mau beli. Mbak tolong hitung berapa totalnya", katanya seraya menyodorkan 6 buku resep masakan di meja kasirku.
Aku pun menghela napas panjang. Sambil menatap matanya yang tidak suka dengan kelakuannya itu, tapi ia malah balik menatap mataku dengan tatapan merayu. Itu semakin membuatku semakin kesal.
"Semua totalnya menjadi lima puluh ribu", kataku.
"Ini ambil saja kembaliannya sebagai permintaan minta maafku", katanya meletakkan uang seratus ribu sambil bergegas pergi meninggalkan meja kasirku.
Saat dia hendak membuka pintu, ia sedikit berteriak dan berkata, "Besok aku kesini lagi". Aku hanya mendengus kesal melihat tingkah pria aneh itu tapi saat menatapnya tadi, aku seakan terpesona akan warna matanya yang kecoklatan.
"Hei, mbak ini saya mau bayar bukunya", kata seorang wanita membuyarkan lamunanku.
 "Oh iya mbak, maaf", kataku sambil menghitung harga buku tersebut di komputer.
 Aku tidak habis pikir. Kenapa aku bisa-bisanya memikirkan seorang pria yang telah membuatku kesal. Tak terasa waktu berlalu, aku segera bergegas pulang ke rumah tapi tanpa sengaja aku terjatuh saat hendak menuruni tangga kecil yang ada di dekat pintu keluar toko buku. Lututku pun berdarah. Aku tak mampu bangkit lagi. Tiba-tiba ada seseorang yang mengulurkan tangannya kepadaku. Aku melihat ke atas. Ternyata dia adalah pria yang tadi siang menyerobot antrian kasir pengunjung di kasirku.
"Mau ngapain lagi kamu kesini?", kataku sambil menahan perih luka di lututku.
"Mau ditolongin tidak? Kalau tidak mau ya sudah!", kata dia sambil melepas uluran tangan kasar.
"Awww...., dasar cowok tidak punya perasaan", kataku semakin kesakitan.
 "Hei, bukankah tadi kamu yang menolak untuk ditolong. Jadi, siapa sekarang yang salah?" jawabnya yang kini seperti membentak
  Aku bingung dengan sikapnya yang sekarang beda dengan yang tadi siang.
"Lagian, kamu ngapain malam-malam kesini?"
"Aku tadi tak sengaja lewat sini terus aku lihat kamu terjatuh. Aku sih niatnya baik mau menolong tapi, kalau tahu kamu sikapnya kayak begini, mending aku jalan terus saja tadi!"
 "Iya deh, aku minta maaf udah berpikiran yang buruk sama kamu", kataku sadar kalau aku salah.
 "Ya sudah, kalau begitu ayo aku bantu berdiri", katanya sambil mengulurkan tangannya.
"Lututku berdarah, aku tak sanggup berdiri rasanya kakiku sakit sekali untuk bangkit berdiri"
"Hmm... kalau begitu mari aku gendong", katanya sambil membungkukkan badannya.
"Eh, tidak perlu, aku tidak mau merepotkanmu"
 "Aku tidak merasa direpotkan kok. Aku hanya berniat tulus membantumu", katanya lembut sambil menatapku.
 "Terima kasih ya atas kebaikanmu"
Dia pun mengendongku menuju mobilnya. Sesampainya di dalam mobil, suasana hening, kami berdua pun terdiam. Dia masih fokus menyetir mobilnya. Akhirnya aku pun mulai membuka pembicaraan.
"Oh iya aku belum tahu namamu siapa?"
 "Namaku Robert, kalau nama kamu?"
"Namaku Lia"
"Hmm.... nama yang bagus", katanya sembari melempar senyum ke arahku.
 "Terima kasih"
"Oh ya, alamat kamu dimana?"
"Kamu lurus saja terus, aku tinggal di pinggiran kota di dekat perkampungan kumuh"
"Kamu tinggal di perkampungan kumuh itu?"
"Iya"
 "Sendirian?"
"Iya"
"Emang kenapa, kamu risih ya kenal cewek miskin kayak aku"
"Emm..... enggak"
 "Lantas, kenapa kamu bertanya begitu padaku?"
 "Aku bingung aja, kamu tinggal di perkampungan kumuh dan sendirian lagi, memangnya kamu gak punya orangtua?"
"Aku..... Aku", tak mampu berkata lagi lalu menangis.
 "Kenapa kamu menangis? Memangnya ada yang salah ya dengan kata-kataku barusan?"
 "Tidak, tidak ada yang salah, hanya saja aku merasa sedih jika mengingat kisah itu kembali"
"Memangnya kamu punya masalah tentang hal itu"
 "Iya, ibuku telah meninggal setahun yang lalu, tak lama setelah itu ayahku menikah lagi dengan seorang wanita yang sekarang telah menjadi ibu tiriku. Mulai saat itu, aku benci tinggal bersama mereka, ditambah lagi sekarang ibu tiriku itu telah hamil. Maka, semakin cueklah ayah terhadapku. Itu membuatku semakin muak bertahan lama-lama di rumah itu, akhirnya aku memilih pergi menjauh dari kehidupan mereka dan seperti sekarang. Ini aku, hanya seorang diri yang berusaha bertahan hidup tanpa mereka".
Aku pun kembali menangis mengingat kisah hidupku yang terasa perih untuk dijalani. tanpaku sadari aku telah bercerita kepada orang yang belum pernah ku kenal sebelumnya. Ntah apa yang ada di pikiranku saat itu. Â Tiba-tiba Robert memberhentikan mobilnya di pinggir jalan.
"Maaf, aku tak bermaksud membuatmu sedih", katanya sambil mengusap air mataku dengan tangannya.
Aku terhenyak sebentar dengan sikapnya yang seperti itu dan tatapan matanya yang semakin lama semakin mendekat ke wajahku.
"Mata kamu bagus, Lia. Boleh tidak aku jatuh di dalamnya?" katanya sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.
"Apa yang mau kamu lakukan?", kataku tersadar menjauhkan diri kepadanya.
"Maafkan aku, aku tidak bermaksud melakukan apa-apa terhadapmu atau membuatmu takut. Aku hanya.....", katanya terhenti.
 "Hanya apa?"
Aku mulai merasa mencintaimu"
 "Apa aku tidak salah dengar, baru beberapa jam yang lalu kita kenal. Secepat itu kamu mengatakannya? Bukankah itu hanya perasaan semata saja atau mungkin kamu memang sudah sering mengatakan hal semacam ini kepada wanita-wanita lain, atau kamu..."
"Stop! Aku bukan lelaki seperti yang kamu katakan barusan. Aku hanya tidak tahu apa yang telah terjadi pada perasaanku. Sejak bertemu di toko buku tadi siang, di sepanjang jalan pulang entah mengapa wajahmu yang selalu terbayang di benakku, tadi juga aku sengaja melewati toko buku itu, untuk memastikan kamu sudah pulang atau tidak dan tanpa sengaja tadi aku melihat kamu terjatuh.Â
Dari situ ada niatku untuk menolongmu, sejak tadi aku merasa aku mulai tertarik kepadamu, entah itu datang darimana aku pun tidak tahu, yang pasti aku merasa perasaan itu mulai tumbuh di hatiku. Maaf kalau kata-kata yang kuucapkan tadi membuatmu terganggu"
Aku hanya diam saja mendengar penjelasannya tadi, aku bingung dengan apa yang harus ku katakan. Dia pun kembali menghidupkan mesin mobilnya dan kemudian menyetirnya. Di sepanjang jalan di dalam mobil, suasana hening, kami berdua diam sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Kita sudah hampir sampai, rumahmu di sebelah mana?"
 "Rumahku berada di pinggir jalan sana"
Sesampainya di depan rumahku, Robert membukakan pintu mobilnya untukku dan kembali membungkukan badannya untuk mengendongku
 "Kok melamun, ayo aku gendong"
"Nggak usah repot-repot lagi, kayaknya aku udah bisa kok jalan sendiri"
"Tidak, kamu harus aku gendong karena aku tahu kaki kamu masih sakit dan kalau dipaksain jalan yang ada nanti kaki kamu akan semakin parah"
"Maaf ya, aku sudah merepotkan kamu"
 "Ya sudah tak apa-apa, lagian bukankah sebagai manusia kita memang harus saling membantu", katanya tersenyum.
 "Mana kunci rumahmu?"
"Ini", kataku sambil menyerahkan kunci rumahku kepadanya. Sesampainya di dalam rumah, dia mendudukanku di kursi ruang tamu.
"Kamu punya obat merah dan kain kapas untuk menutupi lukamu itu"
 "Ambil saja di lemari sebelah situ"
 Dia pun mengambilkannya dan membawakan wadah berisi air untuk membersihkan lukaku
 "Aww... pelan-pelan", kataku meringis kesakitan.
"Iya, ini juga udah pelan", katanya lembut.
"Makasih ya sekali lagi, makasih ya sudah mau mengobati lukaku"
 "Iya, semoga lekas sembuh, dan hati-hati kalau sedang berjalan. Jangan  sampai jatuh lagi kayak tadi"
 "Iya"
"Ini sudah selesai, jangan banyak bergerak dulu kakinya, biarkan lukanya kering dulu"
"Iya"
 "Ya sudah kalau begitu, aku pulang dulu ya. Jaga dirimu baik-baik!", katanya sambil mengusapkan kepalaku.
 "Iya, terimakasih buat semuanya. Kamu sudah baik sekali padaku"
"Dari tadi kamu berterimakasih, kan sudah ku bilang sebagai manusia kita harus saling membantu"
 "Tapi tidak semua manusia di dunia ini ada yang baik seperti kamu"
 "Hahaha..... iya betul, tapi kurasa tidak ada manusia yang mau menolak membantu wanita cantik sepertimu"
 "Dasar, kamu ada-ada saja, sudah sana pulang"
"Jadi kamu ngusir nih", katanya cemberut.
 "Bukankah kamu bilang tadi kamu mau pulang?"
"Iya sih tapi, aku khawatir meninggalkan kamu dalam keadaan seperti ini sendirian"
"Udah, aku tak apa-apa kok. Aku telah terbiasa sendirian"
"Jadi beneran nih gak apa-apa aku tinggalin sendirian"
"Beneran"
"Serius?"
 "Iya, aku serius"
 "Serius, apa hayo?"
 "Apaan sih, kok kamu jadi gak jelas begitu"
"Hahaha.... iya maaf deh, aku cuma bercanda kok!", katanya sambil tertawa.
"Ya sudah, pulang sana nanti dicariin orangtua kamu loh!"
 "Iya bawel!"
 "Eh, enak aja bilang aku bawel", kataku marah.
 "Iya deh, maaf lagi soalnya muka kamu tambah jelek. Kalau marah-marah begitu cepat tua loh"
 "Udah ngocehnya atau ada lagi yang mau diomongin?"
 "Banyak sih sebenarnya yang mau aku omongin sama kamu, tapi kamu nanti capek ngedengerinnya. Lagian kan kamu lagi sakit. Jadi besok-besok aja ya ceritanya"
"Robert......!!!!"
 "Iya.... iya aku pulang tapi Lia, aku harap kita bisa bertemu lagi ya?"
"Iya, kita bisa bertemu lagi kok, tenang aja aku tak akan pernah ngelupain gitu aja kok pertemuan kita hari ini, apalagi pertolonganmu tadi"
  "Dan aku yakin kamu pasti akan sangat merindukanmu, hahaha......"
 "Ih, kepedean kamu, sudah sana hus.... hus pulang"
 "Ya sudah aku pulang ya", katanya sembari berjalan keluar rumahku.
 "Ya, hati-hati di jalan"
 "Iya, sampai bertemu kembali", katanya dari kejauhan kemudian masuk ke dalam mobilnya.
 Aku kembali sendirian mengingat-ingat kejadian dihari pertama aku bekerja ini. Sampai aku bertemu seorang lelaki bernama Robert, yang tadi siang membuatku marah dan kesal, dan malam ini ia telah membantuku dan membuatku tertawa dalam hati melihat tingkahnya sekaligus jantungan melihat tatapan yang lembut, matanya yang kecoklatan seolah-olah mampu membuatku tak berkutik untuk sejenak dan itu belum pernah kurasakan sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H