Namun sebelum Demalung meloncat masuk arena, Ajak Wana tiba-tiba menjerit kesakitan. Ujung cambuk Naga Wulung membelit lehernya. Saat pemimpin gerombolan baru itu hendak menarik ujung cambuk  dengan tangannya, sebuah kekuatan yang dahsyat menyentak melandanya. Hingga lelaki itu terputar tubuhnya seperti gangsing yang dimainkan anak-anak.
Saat ujung cambuk itu terlepas, kepala lelaki berbadan kerempeng itu telah terpisah dari gembungnya. Darah mengucur dari leher yang terputus, badannya mengejang-ngejang seperti ayam sedang sekarat saat baru disembelih.
Demalung tercengang sesaat, setitik  keraguan menyelinap di relung hatinya. Ia sangsi apakah mampu melawan keperkasaan pemuda itu. Namun hatinya mapan kembali setelah otaknya bekerja.
Ia memiliki  ilmu kebal yang telah mencapai tingkat sempurna. Senjata apapun tak akan mampu melukainya.  Apalagi hanya cambuk.
Usia calon lawannya juga masih muda. Belum separo dari usianya. Waktu bergurunya tentu masih pendek. Pengalaman di dunia persilatan tentu  juga belum  seberapa.
"Kau hebat anak muda. Mampu membunuh Ajak Wana  dengan mudah. Tapi kau  jangan berbangga dulu, apalagi  menjadi congkak dan  sombong. Cambukmu tak berarti bagiku."  Kata Demalung sesumbar.
"Kaulah yang congkak dan sombong  Demalung." Jawab  Naga Wulung.
"Kau sudah kenal namaku ?" Tanya Demalung.
"Setiap kepala sudah tahu siapa kamu. Hantu hutan Bonggan yang serakah dan kejam, yang malu melihat wajah sendiri, itulah sebabnya  selalu memakai topeng wajah seekor babi hutan jantan." Jawab Naga Wulung.
"Persetan apapun yang kau katakan." Desis Demalung. "Bersiaplah menjemput hari akhirmu." Lanjutnya.Â
Naga Wulung membelai ujung cambuknya. Ia diam saja mendengar sesumbar Demalung. Hatinya justru sedikit gembira mendapat kesempatan bertemu tokoh hitam  di hutan Bonggan.