Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keris Brongot Setan Kober

28 September 2024   15:05 Diperbarui: 28 September 2024   16:01 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar dok sindo news

KERIS KYAI BRONGOT SETAN KOBER

Oleh Wahyudi Nugroho

Mendung hitam tebal bergulung-gulung menyelimuti langit kerajaan Pajang. Malam yang gelap semakin pekat. Segelap kerajaan Pajang yang dihantui perang saudara karena rebutan tahta sepeninggal Sultan Trenggana, raja Demak terakhir.

Adipati Jipang Panolang, Arya Penangsang, tidak bisa menerima keputusan pamannya. Warisan tahta kerajaan Demak diberikan kepada Adipati Pajang, Hadi Wijaya alias Karebet, menantu Sultan Trenggana.

Segala upaya telah ia lakukan dengan cara berembug dengan para sesepuh kerajaan. Agar para pinisepuh meluruskan hak waris tahta itu. Namun semua jalan yang ditempuh buntu, tak menemukan hasil apapun. Kini tinggal satu jalan yang harus dilaluinya, jalan darah.

Sang adipati telah memerintahkan dua orang anggota pasukan Soreng, prajurit elit Kadipaten Jipang. Salah seorang dari prajurit itu dibekali senjata andalannya, untuk memuluskan pelaksanaan tugasnya. Ia pinjamkan Kyai Brongot Setan Kober, pusaka keramat pemberian Sunan Kudus, salah satu keris keramat di tanah Jawa, buatan Empu Supa Mandragi dari Tuban.

Soreng Pati dan Soreng Rana, dua prajurit utusan Arya Penangsang itu telah datang di ibukota Pajang. Kedua kuda yang dibawanya dari Jipang ia titipkan di rumah kerabatnya, yang menjadi mata-mata Jipang dan berhasil menyelundupkan diri masuk menjadi warga ibukota negeri Pajang.

Malam itu, saat langit tertutup mendung tebal, dua lelaki itu melangkahkan kaki mendekati istana Pajang. Mereka sudah tahu peta istana kerajaan itu. Di mana bilik peraduan rajapun sudah erat melekat dalam otak di kepalanya.

Tiba-tiba hujan deras tumpah dari langit. Angin kencang bertiup menderu-deru, meliak-liukkan ujung-ujung daun pepohonan. Ditambah bunyi petir berulang kali meledak di udara.  Suasana malam yang gelap bertambah sepi dan tintrim, sarat hawa kematian.

Di luar benteng istana sebelah timur, nampak gardu perondan yang kosong tak berpenghuni. Mungkin ditinggalkan para penjaganya pergi nganglang. Karena terjebak hujan deras mereka tak segera kembali.

"Kita ke gardu itu sebentar. Kita sempunakan malam ini agar lebih senyap daripada kuburan. Kita buat mereka tidur pulas agar tak menggangu tugas kita." Kata Soreng Pati.

"Kakang akan menyebar sirep dari sana ? Apakah tidak berbahaya kakang, api dupa kakang akan terlihat dari kejauhan." Jawab Soreng Rana.

"Hujan deras begini siapa yang mau keluar rumah. Tentu mereka lebih senang berselimut di atas ranjang, atau di dapur minum air jahe hangat sambil berdiyang." Kata Soreng Pati.

Tanpa menghiraukan kawannya, Soreng Pati melangkahkan kaki menembus guyuran hujan yang lebat. Soreng Rana terpaksa mengikutinya.

Segera mereka siapkan kebutuhan peralatan untuk menyebar aji sirep. Dari sebuah keranjang bambu yang mereka bawa mereka keluarkan merang, batang padi yang telah mengering. Dengan thithikan mereka membuat api, sebentar saja api menyala menerangi gardu perondan itu. Segumpal kemenyan dimasukkan kedalam api yang menyala itu.

Asap putih bergulung-gulung sebentar, kemudian menyebar terbawa angin. Soreng Pati segera memusatkan daya ciptanya. Sebagai murid patih Mantaun, yang akrab dengan Tohpati keponakan patih kadipaten Jipang, yang dikenal banyak orang sebagai Macan Kepatihan itu, banyak juga perbendaraan ilmu yang telah dikuasainya. Termasuk Aji Sirep Begananda yang dahsyat itu.

Malampun bertambah sepi. Udara terasa bertambah dingin. Suasana sunyi senyap menyelimuti udara Istana Kerajaan Pajang yang tengah diguyur hujan lebat. Tak seorangpun prajurit menyadari, bahwa istana terancam bahaya yang mengerikan.

******

Sementara itu, di bilik peraduan Sultan, ada dua orang yang masih terjaga. Baginda Hadiwijaya duduk di pinggir ranjangnya, dihadap seorang pemuda gagah yang bersila di atas lantai. Dengan takjimnya pemuda itu menundukkan kepala sambil meletakkan kedua tangan di pangkuannya.

"Sudah bulatkah tekadmu menolak keputusanku, Benawa ?" Tanya Baginda Hadiwijaya pelan. Terdengar nada keprihatinan dalam suaranya.

"Hamba ayahanda. Hamba telah banyak mempertimbangkannya. Bukan hamba yang pantas duduk dalam jabatan Ywa Raja." Jawab Pangeran Benawa.

"Bukankah kau anak lelakiku satu-satunya ? Kaupun lahir dari rahim permaisuri. Semua saudaramu wanita. Tidakkah itu cukup syarat sebagai Ywa Raja ?" Tanya Baginda dengan nada heran.

"Jika itu satu-satunya syarat untuk kelak menggantikan baginda, barangkali benar. Namun bukankah tetesan darah bukan satu-satunya syarat ayahanda. Banyak bekal lain yang harus dimiliki seorang Ywa Raja ?" Jawab Pangeran Benawa.

"Bekal lain bisa dipenuhi sambil berjalan Benawa." Kata Baginda Hadiwijaya.

"Itulah yang hamba tidak sanggup. Hamba tidak suka belajar ilmu tata praja. Hamba lebih senang belajar ilmu agama. Hamba akan memilih sebagai kawula saja baginda, agar hamba bebas belajar ilmu itu di pondok-pondok yang ada di negeri ini." Jawab Pangeran Benawa.

Baginda Sultan Hadiwijaya menarik nafas panjang. Ia memahami luka hati anaknya. Sebagai raja ia memang kurang pantas diteladani oleh pemuda di depannya itu. Perhatiannya sangat kecil terhadap ketataprajaan dan tata pemerintahan. 

Waktunya habis dalam perannya sebagai lelaki, ketimbang sebagai raja, yang terlalu banyak membagi cinta di antara ibu pangeran Benawa dengan wanita-wanita lain. Entah berapa wanita cantik telah menghuni harem di istana Pajang, sekedar untuk memenuhi kesenangannya.

"Jika hamba diperkenankan usul kepada Ayanda, mohon pilih Kakang Sutawijaya sebagai Ywa Raja kerajaan Pajang." Kata Pangeran Benawa sambil menyembah.

"Kenapa Sutawijaya ? Dia hanya anak angkatku, bukan putraku sendiri. Pengangkatannya sebagai Ywa Raja akan menimbulkan perselisihan pendapat di antara nara praja, selanjutnya akan menimbulkan perseteruan di antara kawula." Kata Sultan Hadiwijaya.

"Kakanda Sutawijaya akan mampu memecahkan persoalan itu ayahanda. Dia sangat dicintai kawula, meski banyak punggawa iri atas kedekatannya dengan ayahanda." Kata Benawa.

"Baiklah, aku terima usulmu. Namun pertimbangkan lagi niatmu. Jangan kau menyesal di kemudian hari." Kata Baginda.

"Hamba Baginda." Kata Pangeran.

Ketika Pangeran Benawa hendak beranjak dari tempat duduknya, Baginda Sultan mencegahnya untuk diam sebentar. Untuk merasakan sesuatu yang ganjil dengan keadaan malam itu.

"Jangan dulu keluar Benawa. Tidakkah kamu merasakan sesuatu keanehan dengan udara yang mengalir lembut malam ini ?"

Benawa kembali duduk pada posisi semula. Dengan meletakkan kedua tangan di dada ia segera melakukan meditasi. Seluruh inderanya yang tajam menangkap kejanggalan. Penciumannya menangkap bau wangi yang tidak biasa ia temui di istana. Kulitnya menangkap getaran lembut yang membuat nyaman. Pelupuk matanya terasa berat untuk dibuka.

"Ada aji sirep yang tajam menyerang istana Ayahanda." Kata Pangeran Benawa.

"Iya. Kau benar. Tapi periksa dulu para penjaga, apa mereka tertidur. Jika selesai lekaslah kemari, kita akan menerima tamu di bilik ini."

"Baiklah ayahanda, hamba periksa dulu para prajurit."

Pangeran Benawa segera berdiri dan melangkahkan kaki keluar bilik peraduan Baginda Sultan Hadiwijaya. Ternyata semua prajurit telah tertidur di tempat mereka berjaga. Pangeran Benawa diam-diam berkeliling ke tempat-tempat lain yang biasa dijaga prajurit. Namun di seluruh tempat penjagaan, semua prajuri telah kehilangan kesadaran, termakan oleh ilmu sirep yang tajam.

*******

Hujan belum reda. Bahkan angin terasa bertambah kencang. Suara bersiut terus menerus mengganggu telinga. Selang sebentar petir menyambar di langit, cahaya kilat yang terang, sekejab menerangi gelapnya malam.

Pada saat itulah, ketika cahaya kilat membelah gelap malam, pangeran Benawa melihat dua bayangan dengan ringannya melompat ke atas atap bangunan di mana Baginda Hadiwijaya beradu.  Tentu saja hatinya curiga, bahwa orang-orang tersebut ada hubungannya dengan sirep yang tersebar di istana. Mereka pasti berniat buruk terhadap Baginda Sultan.

Pangeran Benawa segera bergegas balik badan untuk kembali ke bilik peraduan ayahandanya. Dengan gesit dan cepat ia berlari lewat lorong istana menuju bilik Sultan. Ketika sampai di depan pintu, segera ia dorong pintu itu pelan, agar baginda tidak terkejut.

Namun Sultan Hadiwijaya adalah tokoh sakti pula. Sejak masa mudanya ia telah mengembara di banyak tempat, berguru kepada banyak tokoh linuwih, dan mengadu imu dengan banyak pendekar. Gerakan Pangeran Benawa yang sangat pelan dan hati-hati itupun telah diketahuinya.

Ketika Pangeran Benawa memandang Sultan, nampak Baginda meletakkan jari telunjuk tangan kirinya di depan mulut. Isyarat agar pangeran tidak membuat gaduh di biliknya. Sementara jari telunjuk tangan kanannya menuding ke atas atap, berarti sultan sudah tahu ada orang di sana. Pangeran Benawa menganggukkan kepala.

Saat sultan menunjuk korden penutup cendela Pangeran Benawapun tanggap, ia bergegas melangkah dan menutup tubuhnya dengan kain penutup cendela itu. Ia harus tak nampak saat dua orang itu masuk ke bilik raja.

Sultan tersenyum melihat pangeran Benawa yang nampak sebagian raut mukanya saja dibalik dua kain panjang yang ia telangkupkan untuk menyembunyikan diri itu. Setelah mengacungkan ibu jarinya, baginda lantas merebahkan badannya, dan menutup sebagian tubuhnya dengan selimut tebal. Beliau pura-pura tidur dengan pulasnya.

******

Sebentar saja atap sirap itu jebol. Air hujan tumpah masuk ke bilik peraduan raja. Kemudian di susul seseorang berusaha turun lewat lubang atap itu, bergantung sebentar kemudian meluncur kebawah dengan ringannya. Disusul seorang lagi meluncur ke bawah, dengan sebilah pedang tergenggam di tangannya.

"Ternyata Jaka Tingkir itu bukan pendekar hebat. Sirepku bisa membikin pulas tidurnya." Kata Soreng Pati sambil tersenyum.

"Cepat kakang segera habisi. Agar kita leluasa menggeledah isi bilik ini. Sebelum sirepmu pudar." Kata Soreng Rana.

"Sirepku hilang jika aku telah meninggalkan tempat ini. Jangan kawatir." Kata Soreng Pati sambil melepas keris dari warangkanya.

"Dengan kyai Brongot Setan Kober ini akan aku ambil nyawamu, Karebet. Esok hari kau bukan lagi raja Pajang, tapi mayat yang akan ditangisi keluargamu, dan seluruh wanita penghuni haremmu." Bisik Soreng Pati.

Sambil berjingkat Soreng Pati berjalan menghampiri peraduan Baginda Sultan Hadiwijaya. Tangan kanannya diangkat tinggi, ujung keris Brongot Setan Kober dalam genggaman tangannya  siap menghujam ke dada Sultan Hadiwijaya. Raja Pajang nampak tenang, tak terusik sama sekali tidurnya.

Soreng Pati dengan cepat melompat ke ranjang, sambil jongkok di samping Sultan Hadiwijaya ia gerakkan kerisnya untuk menusuk dada sasarannya dengan mengerahkan tenaga sekuat-kuatnya.

"Mati kau Karebet !!!" Teriaknya.

Betapa kaget lelaki dari Jipang itu, ujung keris Brongot Setan Kober tak mempan melubangi dada Sultan. Dengan kalap Soreng Pati menggerak-gerakkan kerisnya, namun tetap saja pusaka keramat itu tak mampu menembus dada musuhnya.

Soreng Rana yang tahu temannya gagal menggunakan kerisnya, iapun melompat dan membacokkan pedang kearah paha sultan. Namun paha itu terasa kenyal tak dapat dilukai oleh pedang. Dengan panik pula Soreng Rana mengulang-ulang gerakannya, namun tetap saja pedang tajam itu tak mampu membelah kulit sultan.

Tiba-tiba Sultan Hadiwijaya menggerakkan selimutnya, dengan gerakan menyentak selimut itu menghantam dua tubuh di sampingnya. Soreng Pati dan Soreng Rana tak dapat menghindar, sabetan selimut sultan seperti penggada yang digerakkan raksasa bertenaga sangat besar.

Dua orang itu terlempar dari sisi baginda, kedua tubuhnya melayang di udara sebentar dan membentur dinding kayu bilik peraduan raja.

"Aaahhh...braggg braaggg." Suara gaduh terdengar di bilik itu.

Ketika dua orang itu tertatih-tatih hendak berdiri, sebuah tendangan beruntun menghantam dada dan perutnya. Kembali keduanya terpental menghantam dinding. Kemudian jatuh terkulai di lantai bilik raja.

Pangeran Benawa berkacak pinggang berdiri di dekat dua orang Jipang itu. Kemarahannya belum reda, namun lawannya sudah terkulai pingsan. Ia seret dua lelaki itu, dan mengikatnya menjadi satu di tiang bilik peraduan sultan, dengan tali serat Aren.

Sultan Hadiwijaya menggerakkan tangannya agar Pangeran Benawa meninggalkan biliknya. Beliau sendiri lantas merebahkan tubuhnya untuk melanjutkan tidurnya yang terganggu.

*******

Esoknya, di sore hari, seluruh punggawa Kerajaan Pajang berkumpul di ruang paseban. Semua heran, hari itu bukan waktunya di selenggarakan penghadapan yang telah rutin dilakukan selama ini. Tentu ada peristiwa penting yang tak dapat ditunda.

Ki Gede Pemanahan, Ki Gede Penjawi, Danang Sutawijaya, Pangeran Benawa, Tumenggung Prabadaru dan Senopati Untara, serta priyagung -priyagung Pajang lainnya nampak hadir di paseban itu. Belum lagi mereka lama duduk, beberapa prajurit nampak menyeret dua orang dan mengikatnya di tiang ruang paseban.

Sebentar kemudian Baginda Sultan Hadiwijaya keluar dari istananya, berjalan menuju ruang paseban dan duduk di singgasana.

"Hari ini bukan hari penghadapan. Namun kalian aku minta datang ke paseban. Semalam aku/ kedatangan dua tamu, entah dari mana asalnya aku belum tahu. Mereka menerobos atap bilik tidurku, setelah membikin para penjaga tidur semua. Adakah di antara kalian tahu dua orang tamuku ini." Kata Baginda.

"Mohon ampun Baginda. Ditilik dari pakaian dan ikat pinggangnya, mereka seperti anggota prajurit Soreng, pasukan khusus dari Jipang abdi Kanjeng Adipati Arya Penangsang." Kata Ki Gede Pemanahan.

Semua punggawa ramai menghiyakan kata Panglima perang kerajaan Pajang itu. Sultan kemudian mengangkat tangannya, agar para punggawa berhenti bersuara. Beliaupun lantas menoleh ke arah dua orang pesakitan yang terikat di tiang.

"Benarkah kalian anggota prajurit Soreng ?" Tanya Baginda.

Dua orang itu diam saja. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Tumenggung Prabadaru tiba-tiba marah dan membentak dua orang yang dicurigai dari Jipang.

"Jawab pertanyaan Sultan !!! Kenapa kalian diam saja !! Tulikah kalian !!!" Kata Tumenggung itu sambil berdiri. Melupakan adat tata krama di paseban saat menghadap raja.

"Prabadaru duduklah !! Tak perlu kau tumpahkan amarahmu kepada mereka. Keduanya hanyalah utusan. Mereka datang bukan atas kehendak sendiri. Terbukti di tangannya tergenggam keris keramat Brongot Setan Kober." Kata Sultan.

Prabadaru cepat-cepat duduk dan memohon maaf sambil menyembah beberapa kali.

"Bukankah Brongot Setan Kober itu milik Kanjeng Adipati Jipang Baginda ? Kabarnya keris itu pemberian yang mulia Sunan Kudus." Tanya Sutawijaya.

"Benar Jebeng. Keris keramat yang dibikin Empu Supa Mandragi dari tuban itu semula milik Sunan Kudus. Kini telah diberikan kepada Adinda Arya Penangsang. Dengan keris itulah utusan itu berulangkali menusuk dadaku. Namun sayang, tenaganya tak cukup kuat menembus Lembu Sekilan yang membentengi tubuhku. Bahkan hanya dengan kibasan selimut, yang aku lambari Aji Lebur Seketi, keduanya terlempar dan melayang menabrak dinding bilikku." Kata Sultan.

" Dengan demikian keduanya telah berniat membunuh baginda. Tidakkah layah jika mereka digantung atau dipicis di sini Baginda. " kata Ki Penjawi.

"Jangan Kakang Penjawi. Bumi Pajang jangan dikotori darah utusan. Tanah ini akan menjadi sangar kehilangan keberkahannya." Kata Sultan.

"Lantas hukuman apa yang harus kita jatuhkan kepada mereka Ayahanda ?" Tanya Pangeran Benawa.

"Lepaskan saja mereka, agar kembali ke Jipang. Kebetulan aku sudah rindu ingin bertemu dengan Adinda Penangsang. Mereka bisa menjadi carakaku untuk mengantar surat undangan bertemu dengan adimas Adipati Jipang"

Semua yang hadir di paseban merasa heran dengan keputusan Baginda. Namun tak seorangpun berani membantah atas keputusan itu. Sabda pandita ratu, sekali terucap menjadi keputusan mutlak yang tak dapat diganggu gugat.

Esok harinya dua orang itu dilepas di regol istana kerajaan Pajang oleh Pangeran Benawa di dampingi oleh beberapa prajurit pengawal istana. Dibekali dua kampil sutra berisi beberapa keping emas sebagai pesangon. Keduanya terharu hingga meneteskan air mata, nyawa mereka tidak jadi melayang saat itu.

********

Seminggu kemudian tersiar kabar di tengah masyarakat Pajang, bahwa di Jipang telah terjadi peristiwa yang mengerikan.

Dua orang anggota pasukan soreng telah dibunuh oleh Adipati Arya Penangsang. Nyawa dua prajurit itu melayang diujung Keris Brongot Setan Kober di balai paseban kadipaten Jipang.

Konon dua prajurit itu terbukti ketahuan mencuri pusaka keramat sang Adipati. Dengan pusaka itu mereka ingin membalas dendam kepada Sultan Hadiwijaya, raja Kerajaan Pajang. Karena isteri-isterinya yang cantik hilang di culik prajurit Pajang untuk menambah koleksi wanita cantik di harem istana kerajaan itu.

Sebagian kawula Pajang merasa bingung dengan tersebarnya desas-desus itu. Siapakah dua priyagung itu yang layak jadi sesembahan ? Sultan Hadiwijaya apa Arya Penangsang ? Tak seorangpun menemukan jawabnya secara gamblang.

Sas-sus terus berkembang menghantui udara kerajaan yang tengah didera konflik kepentingan itu.

(TAMAT) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun