Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 53. Wibawa Senopati Narotama

24 September 2024   22:53 Diperbarui: 24 September 2024   23:31 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar dokpri

WIBAWA SENOPATI NAROTAMA

Oleh : Wahyudi Nugroho

Pertempuran di hutan Jungabang itu semakin lama semakin sengit dan seru. Setelah merobohkan empat orang musuhnya, Sekar Arum melompat tinggi dan jauh dari keempat lawannya yang tersisa. Setelah mendarat lagi di tanah ia menengok kearah lingkaran pertempuran Sembada melawan tiga musuhnya.

Gadis itu terkejut, dari tubuh ketiga lawan Sembada keluar api yang merah menyala-nyala. Senjata merekapun membara, dan selang sesaat bola-bola api terlontar memburu kemanapun Sembada melontarkan tubuhnya.

Namun ilmu peringan tubuh Sembada sangatlah matang. Kecuali tenaga dalam yang sudah sempurna, ditunjang oleh getaran gaib aji Tapak Naga Angkasa. Getaran aji itu membungkus tubuh Sembada dengan cahaya putih yang transparan, yang dapat melindungi Sembada dari panas api yang dipancarkan tubuh musuh-musuhnya.

Gerak Sembada semakin lama semakin cepat. Ia bergerak mengitari ketiga musuhnya seperti burung putih bercahaya yang sedang terbang. Selang sebentar cambuknya disentakkan menghantam lawannya yang lengah.

Sekar Arum terpana melihat kemampuan Sembada. Matanya tak lagi mampu menangkap bayangan tubuh pemuda yang dicintainya. Yang terlihat hanya cahaya putih yang bergerak cepat melontar kesana kemari mengitari tiga buah api yang berkobar dari tubuh lawannya.

Untuk sementara gadis itu belum merasa kawatir terhadap keselamatan Sembada. Sebelum ia terjun membantunya ia ingin menghabisi semua musuhnya. Maka pandangan matanya segera beralih kepada empat lelaki di hadapannya. 

Segera ia putar sepasang pedangnya. Bayangan bilah kedua pedang itu laksana baling-baling yang berputar cepat mengitari tubuhnya. Gerak pedang yang cepat itu mengeluarkan suara berdengung yang keras, dan memutar udara disekitarnya seperti angin puting beliung yang dahsyat.

Empat orang lawannya menghentikan langkah, mereka ragu untuk menyerang. Ketika mereka masih utuh delapan orang tak juga mampu merobohkan gadis itu, apalagi sekarang mereka tinggal empat orang. Lebih-lebih kini gadis itu sekarang tengah mengerahkan puncak ilmunya.

Tidak berselang lama Sekar Arum melompat dengan cepat. Dibarengi teriakkan yang tinggi melengking. Seperti kilat pedangnya bergerak membabat musuh-musuhnya.

"Ciaaaatttt" lengking teriakkannya.

Musuh-musuhnya  tak sempat menghindar dari sabetan pedang gadis itu. Akibatnya sungguh mengerikan. Empat kepala terbelah oleh pedangnya. Tubuh mereka terbanting di tanah, mengejang-ngejang sesaat, kemudian diam tak bergerak lagi.

Sekar Arum diam membeku memandangi musuh-musuhnya yang telah terkapar bersimbah darah. Matanya masih menyala. Ia tahan kemarahannya dengan menggigit bibirnya.  Kedua tangannya gemetar memegangi pedangnya yang memerah. Tetesan darah lawannya mengalir jatuh membasahi tanah.

Kemudian ia menengok lagi kearah medan pertempuran Sembada melawan ketiga musuhnya. Tanpa berpikir panjang ia bangkitkan Aji Garuda Sakti dalam tubuhnya. Seperti rajawali ia melompat dan terbang untuk membantu kekasihnya.

Betapa kemarahan menggelegak di dadanya. Sangat terlihat dari geraknya yang ganas ketika ia masuk ke arena pertempuran. Secuwilpun tak ia pertimbangan bahwa ilmu ketiga musuh Sembada sangatlah tinggi. Seperti elang yang cemas atas nasib anaknya di sarang, ia memasuki hutan yang terbakar, menyeruak lingkaran pertempuran yang sengit. Menyerang dengan ganas tiga lelaki yang tubuhnya berkobar.

Meski hawa panas seolah memanggang tubuhnya, namun pusaran angin yang ditimbulkan oleh geraknya sedikit mengurangi perasaan sakit dikulitnya. Ia terus melabrak siapapun yang berada di dekatnya.

Hingga sebuah kekuatan yang besar mendekapnya dari belakang. Sebuah totokan di punggungnya membuat gadis itu lemas. Ia tidak mampu meronta ketika seseorang membopongnya terbang menjauhi arena pertempuran.

Dengan ilmu peringan tubuhnya yang matang, Sembada lari menjauhi lawan-lawannya sambil membopong Sekar Arum yang terkulai lemas. Mata gadis itu saja yang leluasa bergerak memandang wajah lelaki pujaan hatinya. Nampak segurat kegusaran hatinya dalam tatapan itu. Seperti tak rela pemuda itu menghentikan tekadnya untuk membantu.

Sembada menurunkan tubuh Sekar Arum di bawah pohon yang rindang. Ia letakkan gadis itu dalam posisi duduk dan bersandar pada sebuah pohon. Ia belai rambut gadis itu sebentar.

"Jangan kau campuri pertempuranku. Aku mampu mengalahkan mereka. Jangan kau jatuhkan martabatku sebagai pendekar." Bisiknya pelan.

Sekar Arum memandangi Sembada dengan kesal. Namun ia tak mampu menggerakkan tubuhnya. Bicarapun ia tak bisa.

"Aku lepaskan totokanku, jika kau tak mencampuriku lagi." Katanya lagi. Gadis itu akhirnya mengangguk.

Sembadapun menggerakkan tangannya, dengan jari telunjuk ia melepas totokannya dengan menyentuh punggung gadis itu. Sekar Arumpun lantas bisa bergerak lagi.

"Kenapa kau larang aku membantumu." Kata gadis itu menyentak.

"Ssst...kau sudah berjanji. Tonton saja sampai akhir. Panas api mereka tak ada artinya bagiku."

Sembada lantas berbalik meninggalkannya. Pedang Sekar Arum entah di mana kini berada. Mungkin jatuh di arena pertempuran. Meski kesal ia terpaksa menurut kata Sembada.

Sembada mempercepat langkahnya untuk kembali ke arena. Namun tiga orang lawannya tengah berlari kearahnya. Sembada agak cemas terhadap keselamatan Sekar Arum. Ia urai cambuknya lagi dan menggerakkannya dengan sentakkan mengejut. Seleret cahaya putih kebiruan meluncur dari ujung cambuk itu, dan menghantam tanah beberapa tombak di depan musuhnya.

"Blaaaarrr" sebuah ledakan keras terdengar.

Ketiga lawannya tak mengira sebuah serangan dahsyat mengarah kepada mereka. Tanah yang dihantam cahaya itu meledak, dan memuncratkan butiran-butiran halus dan panas menghantam mereka. Meski mereka secara spontan menghindari tanah yang memuncrat itu, namun tak seluruhnya berhasil. Tubuh mereka terterjang puncratan tanah dengan hebatnya. Mereka terpental dan jatuh bergulingan.

"Setan alas. Benar-benar anak iblis." Maki Dyah Tumambong.

Sembada melompat untuk mendekat. Ia berdiri tegak untuk menanti lawan-lawannya bangkit kembali berdiri. Kedua tangannya menggenggam pangkal dan ujung cambuknya. Getaran hawa sakti Aji Tapak Naga Angkasa telah dipersiapkannya.

Sebentar kemudian telah terjadi pertempuran kembali, lebih sengit dan seru. Sembada dengan gesit menyusup dan melontarkan tubuhnya untuk menghindari serangan lawan. Berulang kali cambuknya bergerak memberi serangan balik yang tidak kalah berbahayanya.

Ketiga lawan merasa jengkel dengan kecepatan gerak Sembada. Mereka telah mengepung pemuda itu dan menyerangnya bergantian kemanapun pemuda itu bergerak. Namun masih juga dapat meloloskan diri. Jika ia kepepet cambuknya meledak menghantam bola-bola api yang terbang kearahnya.

Sekar Arum terpesona dengan kelincahan dan kegesitan Sembada. Betapa ia dengan mudah menyusup diantara serangan bertubi-tubi dari lawannya, dan melenting dengan ringan menghindari kerubutan. Mengingatkan dirinya saat bermain tali bersama kakaknya dimasa kecil.

Tapi Sekar Arum tak ingin terpaku menyaksikan pertempuran itu. Ia teringat dengan kedua pedangnya yang jatuh entah di mana. Maka ia segera menyusup di antara pohon-pohon perdu di tempat itu, untuk menuju tempat di mana pertama kali ia nimbrung dalam kancah pertempuran Sembada dengan tiga lawannya.

Ketika sampai di tempat itu ia melihat kedua pedangnya menggeletak di atas tanah. Segera ia menghampirinya, dan membungkukkan badan untuk memungut pedang-pedang itu. Namun setelah berdiri tegak ia kaget dua orang telah berdiri di depannya.

"Senopati Narotama dan Paman Wirapati. Darimana tuan tahu kami di sini ?" Kata Sekar Arum.

"Kami menemukan surat tantangan Dyah Tumambong kepada Sembada di biliknya. Segera kami bergegas kesini. Untunglah kalian masih selamat." Kata Senopati Manggala.

"Tapi kakang Sembada kini masih bertempur paman. Ia dikeroyok tiga orang sakti yang tubuhnya dapat menyala." Kata Sekar Arum.

"Aji Alas Kobar. Tentu Dyah Tumambong bersama saudara seperguruannya, Soma Gedeg. Tapi yang satunya lagi siapa ?" Tanya Narotama.

"Aku tidak tahu tuan. Tapi ketiganya memiliki ilmu yang sama." Jawab Sekar Arum.

"Marilah kita lihat." Ajak Senopati Narotama.

Mereka bertiga lantas melangkahkan kaki dengan tergesa-gesa mengikuti petunjuk Sekar Arum. Ketiganya menyusup hutan perdu di sekitar pohon beringin berbentuk kerucut itu. Sebentar saja mereka bisa mendengarkan teriakan-teriakan orang yang sedang bertempur.

Dengan mata menyala karena marah dihatinya yang menggelegak, senopati Narotama berdiri tegak sambil memandang pertempuran yang sengit di depannya. Namun di dalam panasnya hati terselip rasa kagum atas kemampuan Sembada. Betapa tinggi ilmu kanuragan pemuda itu, ditunjang oleh sebuah aji yang tiada bandingnya. Tepat sekali pilihan pangeran Erlangga mengangkatnya sebagai senopati daerah selatan dengan gelar Naga Wulung.

"Tutup telinga kalian, aku akan menghentikan pertempuran mereka dengan ajiku Guntur Sewu." Kata Senopati Narotama.

Senopati Manggala dan Sekar Arum segera menutup dua lubang telinga mereka dengan kedua ujung telunjuknya. Mereka belum pernah mendengar nama Aji Guntur Sewu, tentu itu jenis ajian yang dilontarkan lewat suara. Seperti aji yang dimiliki Bonge Kalungkung dan Gagak Arga, Gelap Ngampar.

Senopati Narotama maju beberapa langkah ke depan. Ia berdiri tegak dan memusatkan ciptanya. Kemudian menghirup udara dengan nafas panjang, dan mengangkat kedua telapak tangan di sisi mulut. Sebentar kemudian ia berteriak dengan kerasnya, suaranya menggelegar seperti seribu guntur yang bersama-sama meledak diangkasa.

"Berhenti kalian !! Jangan kau teruskan pertempuran.!!!" Teriaknya.

Suara teriakan Senopati Narotama yang dilambari Aji Guntur Sewu seperti suara ledakan dahsyat di sekitar arena pertempuran. Sembada dengan sigap melontarkan tubuhnya menghindari dari penjuru serangan suara itu. Ia menutup kedua telinganya dengan melingkarkan lengannya di kepala.

Beberapa saat ia berjongkok sambil memusatkan getaran aji Tapak Naga Angkasa mengalir kegendang telinganya. Meski denging gendangnya masih terasa namun sama sekali tak berbahaya bagi kesehatan telinganya.

Meski Aji Guntur Sewu tak seluruhnya membebaskan semua orang yang berada di dekatnya, namun aji itu bisa diarahkan kepada orang yang ditujunya sebagai sasaran. Aji itu rupanya digunakan untuk menyerang lawan Sembada. Akibat dari serangan itu alangkah hebatnya.

Dyah Tumambong, Soma Gedeg dan Aki Tangkis Baya tiba-tiba terlontar tubuhnya beberapa tombak dari arena pertempuran. Mereka menjerit kesakitan karena gendang telinganya seperti pecah. Ketiganya bergulingan sesaat ditanah, senjata-senjata mereka terlepas berhamburan. Dengan kedua tangan mereka menutup telinga.

Senopati Narotama melangkahkan kakinya menghampiri mereka yang baru bertempur. Di belakangnya Senopati Manggala dan Sekar Arum mengikutinya, meski gendang telinga mereka masih terasa berdenging.

"Kau tidak apa-apa Sembada ?" Tanya senopati Narotama.

"Tidak Tuan. Hanya masih sedikit berdenging." Jawab Sembada.

Senopati Narotama mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum. Ia lantas melanjutkan langkah menghampiri tiga lelaki yang mengeroyok Sembada. Terlihat mereka masih berjongkok sambil menutup telinga mereka dengan tangan. Ketika tahu ada orang menghampiri, mereka mencoba untuk berdiri, namun segera saja sempoyongan seperti tengah kehilangan keseimbangan.

"Bisakah kau mendengar suaraku Dyah Tumambong ?" Tanya Senopati Narotama.

"Saya mendengarnya senopati, tapi lirih sekali." Jawab Dyah Tumambong.

"Syukurlah. Jika aku gunakan seluruh kekuatan untuk melontarkan Aji Guntur Sewuku, tidak hanya gendang telingamu yang pecah. Tapi jantungmu akan berhenti berdetak." Kata Senopati Narotama.

"Apa maksudmu menghadang Sembada, dan mengeroyoknya bersama saudara seperguruanmu ?"

"Kami hanya ingin mengadu ilmu saja tuan." Jawab Dyah Tumambong.

"Benarkah, hanya ingin mengadu ilmu ? Tidak menginginkan hal yang lain ?" Tanya senopati Narotama lagi.

"Benar tuan, hanya ingin mengadu ilmu saja." 

"Ternyata kau pembohong Dyah Tumambong. Aku kecewa Adinda Pangeran mengangkatmu jadi punggawa dalam istana. Ternyata kau jenis orang yang tak dapat dipercaya."

"Sumpah tuan, kami hanya ingin mengadu ilmu."

Senopati melemparkan lontar ke muka Dyah Tumambong.

"Bukankah itu surat tantanganmu kepada Sembada ? Jika kau menang akan membawa Sekar Arum sebagai barang taruhan ?" Tanya senopati Narotama.

Dyah Tumambong bungkam tak bisa membuka mulutnya lagi. Kepalanya menunduk, matanya menatap tanah di depannya. Demikian juga dua lelaki di sampingnya.

"Lantas barang apa yang kau pertaruhkan jika kau kalah dalam pertarungan ?" Tanya senopati Narotama.

"Kami belum kalah tuan..."jawab Aki Tangkis Baya. Senopati Narotama menoleh kepada lelaki tua berjenggot panjang itu.

"Siapa kau ?"

"Saya sahabat Soma Gedeg tuan. Nama saya Aki Tangkis Baya" Jawab lelaki itu.

"Tangkis Baya ? Bukankah kau abdi setia Maha Dewi Panida dari Lhodoyong ? Kenapa kau kemari, mematai-matai Giriwana ?" Tanya senopati Narotama.

"Tidak tuan. Kami hanya ingin bertemu dengan adi Soma Gedeg."

"Seperti mulut Dyah Tumambong, ucapanmu juga tak dapat aku percaya." Kata Senopati Narotama. Lelaki itupun diam tak berani bersuara lagi. Orang yang dihadapinya memiliki perbawa yang sangat besar, nyalinya tak mampu menggerakkan kepalanya untuk mendongak.

"Kalian bertiga telah melakukan kesalahan yang besar, telah berani berusaha mencelakai calon senopati kepercayaan Adinda Pangeran Erlangga. Untunglah ilmu kalian masih dangkal, meski kalian memiliki Aji Alas Kobar. Ajian sesat kalian tak akan mampu mengungguli aji pemuda itu, Tapak Naga Angkasa."

"Kami belum kalah tuan." Kata Soma Gedeg.

"Itu karena kalian mengeroyoknya. Apalagi ia tak berniat membunuh kalian bertiga, hanya karena tahu Dyah Tumambong salah satu abdi di Giriwana. Jika dia tak mempertimbangkan itu, tubuh kalian akan hancur berkeping-keping karena cambuknya." Kata Senopati Narotama.

"Saya tidak percaya tuan. Meski cambuknya berulang kali mengenai tubuh kami, terbukti kami tidak mengalami cedera." Kata Aki Tangkis Baya.

"Kalian berani bertaruh ? Bahwa dia mampu mengalahkan kalian. Jika berani aku jadi saksi kalian mengadu ilmu puncak kalian. Berapa kalian diupah oleh Dyah Tumambong ? Jawab !!!"

"Tiga puluh keping emas tuan, jika kami mampu membunuh Sembada dan merebut gadisnya." Jawab Soma Gedeg Spontan.

"Besar juga harga nyawa pemuda itu. Dari mana kau peroleh uang sebesar itu Tumambong ?" Tanya senopati Narotama.

Dyah Tumambong tidak berani menjawab. Kepalanya semakin menunduk ke bawah. Senopati Narotama menunggu jawabannya sesaat, namun satu katapun tak keluar dari mulutnya.

"Jika demikian baiklah. Tiga puluh keping emas jadi taruhan kalian mengadu ilmu. Tapi caranya aku yang menentukan. Kalian aku tunggu di dekat pohon beringin itu, siapa yang mampu menghancurkan dua batu hitam di dekat pohon itu dialah yang menang." Kata Senopati Narotama. Priyagung istana Giriwana itu lantas membalikkan badan dan berjalan meninggalkan tiga orang itu.

Senopati Manggala, Sembada dan Sekar Arum mengikutinya di belakang. Mereka berjalan dalam diam tak sepatah katapun keluar dari mulut mereka.

Baru setelah sampai di bawah beringin contong itu Senopati Manggala tak mampu menahan hatinya untuk bertanya.

"Apakah akan berhasil cara yang tuan gunakan ? Tanyanya kepada Senopati Narotama.

"Apakah paman belum pernah melihat akibat ilmu puncak Sembada ?" Senopati balik bertanya.

"Belum tuan." Jawab Senopati Manggala, ayah Sembada.

Senopati Narotama tertawa. Ia lantas mengangguk-anggukkan kepala. Hatinya semakin mantab pada penilaiannya atas watak pemuda itu. Ia tak pernah pamer ilmu dihadapan siapapun. Ketinggian ilmunya akan ia keluarkan jika dianggap perlu, hanya untuk menjaga hal-hal yang dianggap penting.

"Betapa jeli kakek Kidang Gumelar memilih pemuda yang akan dijadikan pewaris ilmunya." Katanya dalam hati.

Ketika orang bekas lawan Sembada itu telah datang, dengan tudingan tangan Senopati Narotama menunjuk dua batu hitam berukuran sebesar gajah bertengger ditanah dekat pohon beringin itu.

"Agar tak ada korban diantara kalian, adu ilmu kalian dengan memecah batu itu. Siapa yang mampu menghancurkannya dengan sekali pukulan, aku anggap sebagai pemenang. Nah kalian bertiga bisa mencobanya lebih dulu." Kata senopati Narotama.

"Baik tuan. Kami akan melakukan. Jika kami menang kami bisa menentukan sendiri apa taruhannya." Kata Dyah Tumambong.

"Tentu kau akan memilih gadis itu. Umurmu sudah tua Tumambong, masihkah kau bertahan dengan sifat bandotmu itu. Memalukan." Jawab Senopati.

Dyah Tumambong diam, ia dan dua temannya lantas melangkahkan kaki mereka mendekati batu hitam yang besar itu. Bersama-sama mereka buang senjata mereka, dengan tangan telanjang mereka ingin mencoba memecah batu itu.

Ketiganya mengambil jarak beberapa langkah dari batu hitam itu. Mereka merentangkan tangan kiri kesamping dan mengangkat tangan kanan keatas kepala dengan jari-jari terbuka. Ketiganya siap memukul batu itu dengan sisi telapak tangan.

Terdengar teriakkan yang keras dari mulut tiga orang itu. Lantas mereka melompat dan menghantam batu itu. Sungguh akibatnya cukup mengagumkan, meski batu hitam itu tidak pecah berhamburan, namun ujung atas batu itu nampak retak, dan bengkah sebesar kepala orang. Gumpalan itu lantas menggelinding jatuh ke tanah.

"Hahaha ternyata gabungan ilmu kalian bertiga hanya mampu mencuwil sebagian kecil dari batu itu. Aku semakin yakin kalian akan dapat dirobohkan pemuda itu jika dia berniat membunuh kalian." Kata Senopati Narotama.

"Dia belum membuktikan ilmunya tuan."kata Dyah Tumambong.

"Baiklah. Sembada, sekarang giliranmu. Kau bisa menggunakan cambukmu. Tunjukkan kepada mereka bahwa ilmumu tak bisa diremehkan." Kata Senopati Narotama.

Sembada mengurai cambuknya. Ia lantas melangkah kearah dua batu hitam yang berdiri berjajar itu. Sekitar sepuluh tombak dari batu itu ia berhenti. Ia ingin menghancurkan batu itu dari suatu jarak yang tak terjangkau ujung cambuknya.

Senopati Manggala, ayah Sembada, dan Sekar Arum berdebar-debar hatinya. Mereka belum pernah melihat Sembada menggunakan puncak ilmunya pada sebuah batu hitam yang besar. Kabar yang ia dengar Sembada membunuh Gagak Arga dan Bonge Kalungkung dengan lecutan cambuk, hingga tubuh dua tokoh sakti itu hancur berkeping-keping. Namun mereka tidak menyaksikan itu sendiri.

Kini mereka akan melihat sendiri bagaimana Sembada memecah batu itu dengan cambuk, pada jarak yang sangat jauh dari jangkauan panjang cambuknya. Hati mereka berdebar menantikannya.

Namun sejenak kemudian mereka melihat Sembada telah memutar cambuknya. Setelah itu ia berteriak dengan keras sambil melecutkan ujung cambuk itu mendatar. Nampak sebuah cahaya putih kebiruan melesat seperti kilat dan beruntun menghamtam dua batu hitam sebesar gajah itu. Akibatnya sungguh mencengangkan.

"Blaarrr. Blaaarrr." 

Dua ledakan dahsyat terdengar berurutan. Ketika cahaya putih kebiruan itu menerjang dua batu hitam itu, ledakkan yang ditimbulkannya menggetarkan seluruh pepohonan disekitarnya. Daun-daun pohon-pohon itu rontok jatuh ketanah seperti hujan. Sementara dua batu itu hancur seperti tepung yang berhamburan di udara.

"Hebattt....." tak terasa mulut Aki Tambak Baya terbuka dan mengeluarkan kata pujian itu.

Mulut Senopati Manggala mengangga, sungguh ia tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Bahwa cambuk anaknya mampu mengeluarkan energi yang sangat dahsyat, yang dapat menghancurkan dua batu hitam sebesar gajah itu menjadi tepung yang berhamburan.

Lebih-lebih Sekar Arum. Ia menjerit tinggi setelah melihat betapa dahsyatnya ilmu yang dimiliki Sembada. Tanpa sadar ia berlari dan merangkul pemuda itu dan menciuminya tanpa sedikitpun malu dilihat beberapa mata di sekitarnya.

Dyah Tumambong melengoskan mukanya melihat peristiwa itu.

"Nah Soma Gedeg telah kau saksikan sendiri siapa yang mampu menghancurkan batu itu. Kau tidak berhak membawa tiga puluh keping emas milik Dyah Tumambong. Berikan barang taruhan itu kepada gadis kekasih Sembada." Kata Senopati Narotama.

Soma Gedeg tak berani menolak ucapan Senopati. Ia ambil kampil atau kantong sutra dari sakunya. Kemudian ia melemparkan kantong sutra berisi tiga puluh keping emas itu kepada Sekar Arum. Gadis itu menangkap benda yang melayang kearahnya, dan mendekapnya dengan hati gembira.

(Bersambung).

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun