Sebentar kemudian telah terjadi pertempuran kembali, lebih sengit dan seru. Sembada dengan gesit menyusup dan melontarkan tubuhnya untuk menghindari serangan lawan. Berulang kali cambuknya bergerak memberi serangan balik yang tidak kalah berbahayanya.
Ketiga lawan merasa jengkel dengan kecepatan gerak Sembada. Mereka telah mengepung pemuda itu dan menyerangnya bergantian kemanapun pemuda itu bergerak. Namun masih juga dapat meloloskan diri. Jika ia kepepet cambuknya meledak menghantam bola-bola api yang terbang kearahnya.
Sekar Arum terpesona dengan kelincahan dan kegesitan Sembada. Betapa ia dengan mudah menyusup diantara serangan bertubi-tubi dari lawannya, dan melenting dengan ringan menghindari kerubutan. Mengingatkan dirinya saat bermain tali bersama kakaknya dimasa kecil.
Tapi Sekar Arum tak ingin terpaku menyaksikan pertempuran itu. Ia teringat dengan kedua pedangnya yang jatuh entah di mana. Maka ia segera menyusup di antara pohon-pohon perdu di tempat itu, untuk menuju tempat di mana pertama kali ia nimbrung dalam kancah pertempuran Sembada dengan tiga lawannya.
Ketika sampai di tempat itu ia melihat kedua pedangnya menggeletak di atas tanah. Segera ia menghampirinya, dan membungkukkan badan untuk memungut pedang-pedang itu. Namun setelah berdiri tegak ia kaget dua orang telah berdiri di depannya.
"Senopati Narotama dan Paman Wirapati. Darimana tuan tahu kami di sini ?" Kata Sekar Arum.
"Kami menemukan surat tantangan Dyah Tumambong kepada Sembada di biliknya. Segera kami bergegas kesini. Untunglah kalian masih selamat." Kata Senopati Manggala.
"Tapi kakang Sembada kini masih bertempur paman. Ia dikeroyok tiga orang sakti yang tubuhnya dapat menyala." Kata Sekar Arum.
"Aji Alas Kobar. Tentu Dyah Tumambong bersama saudara seperguruannya, Soma Gedeg. Tapi yang satunya lagi siapa ?" Tanya Narotama.
"Aku tidak tahu tuan. Tapi ketiganya memiliki ilmu yang sama." Jawab Sekar Arum.
"Marilah kita lihat." Ajak Senopati Narotama.