"Apakah akan berhasil cara yang tuan gunakan ? Tanyanya kepada Senopati Narotama.
"Apakah paman belum pernah melihat akibat ilmu puncak Sembada ?" Senopati balik bertanya.
"Belum tuan." Jawab Senopati Manggala, ayah Sembada.
Senopati Narotama tertawa. Ia lantas mengangguk-anggukkan kepala. Hatinya semakin mantab pada penilaiannya atas watak pemuda itu. Ia tak pernah pamer ilmu dihadapan siapapun. Ketinggian ilmunya akan ia keluarkan jika dianggap perlu, hanya untuk menjaga hal-hal yang dianggap penting.
"Betapa jeli kakek Kidang Gumelar memilih pemuda yang akan dijadikan pewaris ilmunya." Katanya dalam hati.
Ketika orang bekas lawan Sembada itu telah datang, dengan tudingan tangan Senopati Narotama menunjuk dua batu hitam berukuran sebesar gajah bertengger ditanah dekat pohon beringin itu.
"Agar tak ada korban diantara kalian, adu ilmu kalian dengan memecah batu itu. Siapa yang mampu menghancurkannya dengan sekali pukulan, aku anggap sebagai pemenang. Nah kalian bertiga bisa mencobanya lebih dulu." Kata senopati Narotama.
"Baik tuan. Kami akan melakukan. Jika kami menang kami bisa menentukan sendiri apa taruhannya." Kata Dyah Tumambong.
"Tentu kau akan memilih gadis itu. Umurmu sudah tua Tumambong, masihkah kau bertahan dengan sifat bandotmu itu. Memalukan." Jawab Senopati.
Dyah Tumambong diam, ia dan dua temannya lantas melangkahkan kaki mereka mendekati batu hitam yang besar itu. Bersama-sama mereka buang senjata mereka, dengan tangan telanjang mereka ingin mencoba memecah batu itu.
Ketiganya mengambil jarak beberapa langkah dari batu hitam itu. Mereka merentangkan tangan kiri kesamping dan mengangkat tangan kanan keatas kepala dengan jari-jari terbuka. Ketiganya siap memukul batu itu dengan sisi telapak tangan.