Mereka bertiga lantas melangkahkan kaki dengan tergesa-gesa mengikuti petunjuk Sekar Arum. Ketiganya menyusup hutan perdu di sekitar pohon beringin berbentuk kerucut itu. Sebentar saja mereka bisa mendengarkan teriakan-teriakan orang yang sedang bertempur.
Dengan mata menyala karena marah dihatinya yang menggelegak, senopati Narotama berdiri tegak sambil memandang pertempuran yang sengit di depannya. Namun di dalam panasnya hati terselip rasa kagum atas kemampuan Sembada. Betapa tinggi ilmu kanuragan pemuda itu, ditunjang oleh sebuah aji yang tiada bandingnya. Tepat sekali pilihan pangeran Erlangga mengangkatnya sebagai senopati daerah selatan dengan gelar Naga Wulung.
"Tutup telinga kalian, aku akan menghentikan pertempuran mereka dengan ajiku Guntur Sewu." Kata Senopati Narotama.
Senopati Manggala dan Sekar Arum segera menutup dua lubang telinga mereka dengan kedua ujung telunjuknya. Mereka belum pernah mendengar nama Aji Guntur Sewu, tentu itu jenis ajian yang dilontarkan lewat suara. Seperti aji yang dimiliki Bonge Kalungkung dan Gagak Arga, Gelap Ngampar.
Senopati Narotama maju beberapa langkah ke depan. Ia berdiri tegak dan memusatkan ciptanya. Kemudian menghirup udara dengan nafas panjang, dan mengangkat kedua telapak tangan di sisi mulut. Sebentar kemudian ia berteriak dengan kerasnya, suaranya menggelegar seperti seribu guntur yang bersama-sama meledak diangkasa.
"Berhenti kalian !! Jangan kau teruskan pertempuran.!!!" Teriaknya.
Suara teriakan Senopati Narotama yang dilambari Aji Guntur Sewu seperti suara ledakan dahsyat di sekitar arena pertempuran. Sembada dengan sigap melontarkan tubuhnya menghindari dari penjuru serangan suara itu. Ia menutup kedua telinganya dengan melingkarkan lengannya di kepala.
Beberapa saat ia berjongkok sambil memusatkan getaran aji Tapak Naga Angkasa mengalir kegendang telinganya. Meski denging gendangnya masih terasa namun sama sekali tak berbahaya bagi kesehatan telinganya.
Meski Aji Guntur Sewu tak seluruhnya membebaskan semua orang yang berada di dekatnya, namun aji itu bisa diarahkan kepada orang yang ditujunya sebagai sasaran. Aji itu rupanya digunakan untuk menyerang lawan Sembada. Akibat dari serangan itu alangkah hebatnya.
Dyah Tumambong, Soma Gedeg dan Aki Tangkis Baya tiba-tiba terlontar tubuhnya beberapa tombak dari arena pertempuran. Mereka menjerit kesakitan karena gendang telinganya seperti pecah. Ketiganya bergulingan sesaat ditanah, senjata-senjata mereka terlepas berhamburan. Dengan kedua tangan mereka menutup telinga.
Senopati Narotama melangkahkan kakinya menghampiri mereka yang baru bertempur. Di belakangnya Senopati Manggala dan Sekar Arum mengikutinya, meski gendang telinga mereka masih terasa berdenging.