Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 52. Pertempuran di Jungabang

18 September 2024   14:17 Diperbarui: 18 September 2024   16:07 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERTEMPURAN DI JUNGABANG

Oleh : Wahyudi Nugroho

Hari kelima di istana Giriwana, Sembada merasa tidak kerasan lagi. Tidak ada yang bisa dilakukannya di sini. Kecuali mengikuti kegiatan senopati Wira Manggala Pati, atau diajak Gusti Narotama ke suatu tempat. Kadang menghadiri undangan Pangeran Erlangga untuk menemaninya sarapan pagi.

"Ayah, esok hari aku dan Sekar Arum akan pulang ke kademangan Maja Dhuwur. Rasanya aku nggak kerasan tinggal di sini berlama-lama, tak ada yang bisa aku kerjakan." Kata Sembada kepada ayahnya.

Senopati Wira Manggala Pati tertawa. Ia mengangguk-anggukkan kepala. Lelaki itu bisa memahami perasaan anaknya. Lama tinggal di desa hatinya tentu telah terikat oleh kebiasaan sehari-hari di sana.

"Apakah kau sudah punya gambaran, rencana apa yang akan kau kerjakan untuk mengawali tugasmu ?" Kata ayahnya.

"Aku akan berembug dulu dengan ki demang, di mana sebaiknya tempat yang tepat untuk mendirikan barak-barak calon prajurit yang akan kami himpun." Jawab Sembada.

"Bagus. Persiapkan dulu tempat itu, calon penghuninya nanti kami akan bantu. Pemuda dan pemudi dari desa-desa sekitar sini bisa dihimpun di barakmu. Kami bisa mengirim prajurit untuk mempersiapkan tempat itu." Kata senopati.

"Baik ayah." Jawab Sembada.

"Kemana Sekar Arum ? Biasanya ia datang ke sini bersamamu ?" Tanya senopati.

"Ke taman sari keputren ayah. Diundang Gusti Ayu Galuh Sekar untuk menemuinya, sekaligus mohon pamit besok kami pulang ke kademangan." Jawab Sembada.

"Jangan lupa mintalah ijin jika ingin pulang besok kepada Pangeran Erlangga dan Senopati Narotama." Saran ayahnya.

"Baik ayah, nanti sore kami akan menghadap." Jawab Sembada.

Sementara itu Sekar Arum tengah berbincang dengan Gusti Ayu Galuh Sekar. Mereka mengenang kembali masa-masa kebersamaan mereka di Istana Galuh, saat Medang Kamulan masih Jaya. Keduanya sama-sama masih remaja saat itu, dan sering berlatih menari bersama di keraton.

"Aku sering memimpikan masa-masa indah kita di keraton Medang,# Arum. Entah mengapa ? Meski di sinipun aku tidak kekurangan apa-apa." Kata Putri Galuh Sekar.

"Itu hal yang wajar Gusti Ayu. Akupun sering bermimpi sedang bermain-main dengan Mbok Ayu Sekar Sari dan kakang Sembada di halaman dalem Katumenggungan. Mungkin karena kita pernah mengalami itu sehingga pikiran kita merekamnya. Saat sedang tenang atau tidur ia kembali membayang, dalam bentuk lamunan atau mimpi." Jawab Sekar Arum.

"Bisa jadi benar katamu, meski tidak kita sadari, apa yang pernah kita alami tentu membekas dalam pikiran. Sewaktu-waktu bisa muncul kembali. 

Andai engkau masih lama di sini, mungkin kau bisa melatih Kilisuci menari, tentu aku akan senang." Kata Galuh Sekar.

"Aku sudah lama meninggalkan selendang tari Gusti Ayu. Tentu sudah banyak yang aku lupakan gerakan-gerakan tari itu." Jawab Sekar Arum.

"Oh ya, aku dengar kau berguru kepada seorang pendekar ternama dari sebuah padepokan di lereng gunung Arjuna." Tanya Galuh Sekar.

"Benar Gusti Ayu, nama guruku Nyai Rukmini. Sebagai pendekar beliau dijuluki Si Walet Putih Bersayap Pedang. Itulah sebabnya selendang tari sudah aku tinggalkan, berganti sepasang pedang."

"Kau pantas menyandang sepasang pedang itu Sekar. Tentu kau telah menyaksikan tempat-tempat jauh saat mengembara bersama gurumu."

"Benar Gusti, hampir pulau Jawa ini telah kami jelajahi, tanah pasundan di barat sana, dan bumi banyuwangi di timur."

"Aku iri denganmu, bebas seperti burung, terbang kemana kau suka."

"Kita punya garis nasib sendiri-sendiri Gusti Ayu, saat tertentu akupun merasa jenuh berkelana, dan berangan-angan bisa hidup tenang dalam sebuah keluarga. Seperti Gusti Ayu sekarang ini, punya suami yang dicintai dan seorang anak yang disayang."

"Hahaha ternyata kita saling iri kehidupan orang lain. Perasaan yang sebenarnya hanya selintas saja."

"Benar Gusti Ayu, kita nikmati saja hidup kita sekarang, agar bisa lebih bahagia."

Sekar Arum sampai siang di taman sari keputren istana Giriwana. Iapun sempat bermain-main dengan Kilisuci, putri sulung Pangeran Erlangga. Gadis itu sangat cerdas, ia sempat minta diajari beberapa jurus ilmu kanuragan.

"Kau pingin jadi penari apa pendekar, Suci ?" Tanya ibunya, Gusti Ayu Galuh Sekar.

"Kedua-duanya bunda. Aku ingin jadi penari yang memiliki ilmu kanuragan, seperti Bibi Sekar Arum." Kata Kilisuci.

"Tapi bibimu tidak bisa tinggal terus di istana ini, ia mendapat tugas yang berat dari ayahandamu." Kata ibunya.

"Benarkah bibi ? " tanya Kilisuci agak kecewa.

"Benar putri, nanti saja jika putri sudah cukup besar, aku akan sering datang untuk melatih putri." Jawab Sekar Arum.

"Janji ?" Tanyanya

"Ya putri aku berjanji." Jawab Sekar Arum.

Dalam kesempatan itu Sekar Arum segera memberitahukan bahwa dia dan Sembada besok akan pulang ke kademangan Maja Dhuwur. Bertemu kembali dengan ayah bundanya dan saudaranya Sekar Sari. 

"Salamku untuk Paman Gajah Alit dan ibumu Sekar. Juga untuk kakakmu, ingin juga aku bertemu dengannya." Kata Galuh Sekar.

Saat hendak pulang Gusti Ayu Galuh Sekar memberi dua buah kotak kecil terbuat dari kayu cendana kepada Sekar Arum. Gadis itu menerimanya dengan tangan agak gemetar.

"Hadiahku untukmu dan kakakmu. Kenakan kelak saat kalian menikah." Kata Gusti Ayu Galuh Sekar.

"Terima kasih Gusti Ayu." Katanya pelan.

Sekar Arum segera bergegas kembali ke barak prajurit.  Sepasang mata selalu mengawasinya sejak gadis itu keluar dari keputren. Detak jantung lelaki itu berdegup memandang tubuh wanita putri tumenggung itu.

"Sebentar lagi ia jadi milikku." katanya dalam hati.

Sekar terus melangkah menuju ruang pimpinan prajurit. Sembada dan senopati masih berbincang di sana. Keduanya melihat dua kotak kecil berbau wangi di tangan gadis itu.

"Apa yang kau bawa itu ?" Tanya Sembada.

"Hadiah Gusti Ayu Galuh Sekar. Aku belum tahu isinya." Kata Sekar Arum.

Gadis itu lantas membuka salah satu kotak itu. Mereka bertiga terperangah. Di dalam kotak itu terdapat sebuah kalung emas dengan bandul yang sangat cantik berbentuk bunga teratai yang indah. Di tengah bandul itu terdapat beberapa batu permata sebagai kelopak bunganya. Permata itu berwarna merah keunguan.

Sekar Arum membuka lagi kotak yang satunya, ternyata isinya kalung juga dengan bandul yang sama.

"Pasti itu diberikan untukmu dan Sekar Sari."

"Benar paman. Ini hadiah untuk kami berdua, agar kami kenakan saat menikah nanti." Kata Sekar tersenyum senang.

*****

Saat matahari sepenggalah esoknya, Sembada dan Sekar Arum telah memacu kudanya dalam perjalanan pulang ke kademangan Maja Dhuwur. Keduanya mengenakan kembali pakaian pendekar, celana dan baju hitam. Bahkan ikat kepala Sembadapun berwarna hitam.

Keduanya memacu kuda dengan kecepatan tinggi. Harapan mereka tengah malam sudah sampai di kademangan. Tak ada keinginan bagi mereka menginap di perjalanan.

Meski keduanya masih ingat tentang surat tantangan dari  Dyah Tumambong, namun mereka tidak membicarakannya. Jika benar punggawa baru istana itu mencegat mereka, keduanya tidak akan mengelak. Dalam hati Sembada bertekad untuk menghentikan keinginan ganjil Dyah Tumambong, merebut cinta Sekar Arum.

Dalam waktu singkat keduanya telah sampai di dusun Jungabang. Dusun itu nampak sepi sekali, meski tak ada tanda-tanda keanehan yang menarik perhatian sepasang muda-mudi itu. Meski demikian keduanya heran, di siang hari semua pintu rumah penduduk dalam keadaan tertutup.

Keduanya tidak mempedulikan suasana itu. Mereka terus memacu kuda dengan cepat. Saat mereka sampai pertigaan jalan yang terletak di luar dusun itu keduanya belok ke kiri. Di depan mereka dalam jarak beberapa ratus tombak hutan lebat telah terlihat. 

"Apakah kita tidak mencari jalan lain saja kakang ? Tak perlu meladeni punggawa istana yang gila itu ?" Kata Sekar Arum.

"Kita terus saja Arum. Akan aku hadapi semua aral yang melintang di jalanku." Jawab Sembada.

"Tapi dia punggawa istana Kang, yang telah diangkat sebagai pemimpin punggawa dalam di istana Giriwana. Sementara kita orang baru dari barisan kepercayaan Pangeran Erlangga." Kata Sekar Arum.

"Apakah kau meragukan kemampuanku menghadapinya ?" Tanya Sembada.

"Aku percaya ilmumu tinggi Kang. Tapi aku juga cemas, orang-orang Bhairawa Tantra konon tidak bisa disepelekan. Apalagi jika yang mencegat kita tidak hanya seorang." Jawab Sekar Arum.

"Jangan takut. Kita telah melewati beberapa ujian yang berat." Kata Sembada. 

Mereka terus memacu kudanya. Tak berapa lama keduanya memasuki hutan lebat di selatan dusun Junabang itu. Hingga telah jauh mereka melewati lorong jalan yang terpayungi dedaunan itu belum juga mereka bertemu seseorang.  Apakah Dyah Tumambong membatalkan rencananya ?

Keduanya merasa heran. Mereka tak bisa mengerti maksud Dyah Tumambong mengirim surat tantangan dengan anak panah. Namun saat ia dan Sekar Arum telah sampai di hutan itu, tak seorangpun ada yang menghadang mereka berdua.

"Apakah mereka membatalkan rencana Kakang ? " tanya Sekar Arum.

"Entahlah, aku kira tidak. Tentu mereka mencari tempat yang longgar untuk menghadapi kita seandainya melawan. Dan kita akan melawan." Jawab Sembada.

Namun sebentar kemudian mereka tak lagi berteka-teki. Di bawah pohon beringin yang rindang, dengan dedaunan menjulang seperti conthong, mereka melihat dua lelaki gagah berdiri berjajar di tengah jalan. Keduanya membawa senjata yang hampir mirip, canggah dan trisula bertangkai panjang.

"Kami kira kalian tak bakal lewat jalan ini. Untuk menghindari tatangan yang tuan Tumambong kirim. Ternyata nyali kalian besar juga." Kata salah seorang penghadang itu.

"Di mana Dyah Tumambong ?" Tanya Sembada.

"Untuk menangkapmu tak perlu tuan Tumambong turun tangan. Cukup kami berdua yang menghadapi kalian." Kata pemuda satunya.

Sembada dan Sekar Arum turun dari kuda. Mereka mengikat dua hewan itu pada pohon perdu di pinggir jalan. Keduanya lantas berjalan menghampiri dua orang penghadangnya.

"Biarlah dua orang ini aku hadapi kakang. Pasti tidak hanya mereka berdua yang menghadang kita." Kata Sekar Arum. Sembada menganggukkan kepala.

"Kau tak perlu melawan kami gadis, lebih baik kau istirahat sambil duduk-duduk yang nyaman. Aku hanya perlu dengan calon senopati wilayah selatan itu. Seberapa tinggi ilmunya." Kata salah satu pemuda penghadangnya.

"Jika kau melawannya, beberapa kedipan mata kau pasti terjungkal memeluk tanah. Lebih baik melawanku, kalian akan mati dengan terhormat." Jawab Sekar Arum.

"Kau hanya seorang perempuan, melawan kami berdua ibarat timun melawan durian. Betapa sayangnya kulitmu yang halus jika tergores ujung trisulaku." Kata salah satu pemuda itu.

"Sudahlah Blungki dan Bongol, tangkap gadis itu. Kami yang akan membunuh temannya." Tiba-tiba muncul dua lelaki dari balik batu yang sangat besar.

Sembada menoleh memandang dua lelaki yang baru muncul itu. Keduanya bersenjata sepasang penggada berduri tajam. Sembadapun melangkah maju menghadapinya. Tanpa diketahui kedua calon lawannya telah terpegang sebuah cambuk panjang di tangannya.

"Cambuk Nagageni. Jika yang menggunakan senjata itu gurumu, Ki Kidang Gumelar, aku akan berpikir panjang untuk menghadang. Namun karena kau pemuda bau kencur yang membawanya, semenir hatiku tak kawatir." Kata lelaki yang paling tua.

Sembada tersenyum. Tiba-tiba ia menghentakkan cambuknya, dengan sabetan sendal pancing. Terdengarlah bunyi ledakan yang sangat dahsyat. "Blaaar". Dua orang pemuda yang menghadapi Sekar Arum terkejut. Telinganya berdengung seperti baru mendengar guntur yang dahsyat meledak di langit.

"Syetan..." keduanya berucap hampir bersamaan.

"Hahahaha..... jangan jumawa anak muda. Lebih baik kau menggembalakan kambing daripada jadi senopati. Ilmumu masih terlalu dangkal. Tak sedalam tapak itik di rawa-rawa. Suara lecutan cambukmu tak menggetarkan jantungku." Kata lelaki tertua bersenjata penggada berduri itu.

"Siapakah kalian ? Apa hubungan kalian dengan Dyah Tumambong ?" Tanya Sembada.

"Bukan sanak bukan kadang, tapi kalau mukti kami ikut merasakan. Hahaha...kami orang-orang Bhairawa Tantra, tidak rela ada kekuatan di luar kelompok kami di daerah selatan." Kata lelaki tua satunya lagi.

"Kelompok penganut Bhairawa Tantra ?" Kata Sembada.

"Iya. Namaku Aki Tangkis Baya, dari Lhodoyong. Abdi terpercaya Baginda Mahadewi Panida, ratu kami di Lhodoyong, Tulung Agung. Ini temanku Sumo Gedeg sahabat baik Dyah Tumambong. Kami diminta untuk menangkapmu, nanti Dyah Tumambong sendiri yang akan membunuhmu." 

"Aku bukan cacing yang gampang kalian injak. " jawab Sembada.

Aki Tangkis Baya dan Soma Gedeg segera mengepung Sembada dari dua arah. Sepasang penggada berduri di tangan mereka telah berputar. Suaranya berdengung-dengung menyakitkan telinga.

Ketika lelaki tua dari Lhodoyong itu melompat dan memukulkan penggadanya dengan cepat dan keras, Sembada menggeser kaki kirinya dan mencondongkan badannya. Tapi tiba-tiba lelaki itu menggerakkan senjata di tangan kirinya mendatar kesamping. Sembadapun melompat dengan ringannya menjauh.

Baru sejenak kaki Sembada mendarat di tanah, Soma Gedeg menyerangnya dengan pukulan melintang. Sembada menggerakkan kakinya melingkar, kemudian melontarkan tubuhnya ke belakang.

Ketika dua orang itu mengejar bersama-sama dan menyerangnya, Sembada menggerakkan cambuknya mendatar menghadang gerak mereka. Sebuah goresan melintang tergambar pada perut dan dada lelaki pengeroyoknya. Sebuah umpatan dan makian keluar dari mulut dua orang itu, baju merekapun robek karena karah baja diujung cambuk sembada.

"Setan alas, cucu demit. Kau robek bajuku."

"Hati-hatilah, sebentar lagi perutmu yang aku belah."

Demikianlah pertempuran itu semakin lama semakin sengit. Dua orang bersenjata sepasang penggada itu tak mampu mengurung Sembada dalam kepungan. Pemuda itu dengan gesit lincah dan ringannya menggerakkan badan untuk keluar dari garis serang musuh-musuhnya. Hingga berpuluh-puluh jurus keduanya tak dapat mendaratkan senjatanya ke tubuh lawan.

Sementara di lingkaran lain Sekar Sari bergerak dengan cepat melayang-layang seperti terbang mengitari kedua lawannya. Dua orang pemuda itu sedikit kebingungan melawan gadis cantik itu. Ternyata ilmunya sangat tinggi sekali. Tenaganyapun sangat besar, dan mampu membenturkan pedangnya dengan senjata dua pemuda itu.

"Gadis kuntilanak, cucu iblis." Salah seorang pemuda itu mengumpat.

Sekar Arum terus mengitari lawannya dengan gerak yang sangat cepat, sekali-sekali mengirim serangan beruntun yang membingungkan lawan. Sepasang pedangnya berdesing-desing mendirikan bulu roma.

Belum lama mereka bertempur mendadak mereka mendengar beberapa kaki kuda berderap menuju tempat mereka bersabung nyawa. Sembada dan Sekar Arum sadar, lawannya akan bertambah. Mereka tentu Dyah Tumambong dan anak buahnya.

Sebentar kemudian datanglah sekelompok prajurit berkuda, di pimpin oleh lelaki tegap kekar berkumis dan berjenggot lebat. Dialah Dyah Tumambong.

"Kalian belum mampu merangket dua orang ini ?" Kata Dyah Tumambong.

"Ternyata ilmunya lumayan tinggi adi Tumambong." Jawab Soma Gedeg.

Dyah Tumambong menengokkan kepala, melihat bagaimana Sekar Arum dengan gigih melawan musuh-musuhnya. Dua pemuda murid Aki Tangkis Baya itu sama sekali tak berkutik melawan gadis cantik itu.

"Tak aku sangka gadis itu memiliki ilmu yang ganas. Memilikinya seperti memelihara seekor harimau liar yang buas. Jika tidak waspada nyawakulah yang akan melayang." Bisiknya dalam hati.

"Keroyok dia, jika tak dapat ditangkap bunuh saja." Perintahnya kepada enam orang pengikutnya. Keenam orang itu segera bergerak mengelilingi Sekar Arum dan membantu dua pemuda lawan gadis itu.

Sementara Dyah Tumambong melangkah mendekati lingkaran pertempuran antara Aki Tangkis Baya dan Soma Gedeg melawan Sembada. Ia segera menghunus pedangnya dan menjeburkan diri dalam pertempuran yang sengit.

Ketika ia melompat dengan kecepatan yang tinggi sambil menusukkan ujung pedangnya, cambuk di tangan Sembada meledak. Ujungnya menghantam dada Dyah Tumambong. Ketika ujung cambuk ditarik menyentak, karah baja tajam menyangkut pada bajunya. Akibatnya baju itu sobek jadi dua, separo masih melekat di tubuh Dyah Tumambong, separo lagi terbawa ujung cambuk Sembada.

Betapa marah Dyah Tumambong, baru saja ia memasuki arena sudah dipermalukan Sembada. Segera ia putar pedangnya dan terus menyerang lawannya dengan tusukan-tusukan berbahaya. Dua orang kawannya juga melakukan hal yang sama, kemanapun Sembada melontarkan diri, penggada berduri selalu mengancam nyawanya.

Sembada tak punya pilihan, ia tidak bisa menahan diri menghadapi tiga lawannya yang brutal. Hawa sakti Aji Tapak Naga Angkasa segera ia alirkan keseluruh tubuh, untuk mendukung setiap geraknya memberikan perlawanan.

Tak berbeda dengan apa yang telah dilakukan Sembada, Sekar Arumpun mengambil keputusan yang sama. Ia bangkitkan Aji Garuda sakti dalam dirinya. Getaran gaib yang keluar dari jantung itu menyebar keseluruh tubuh, memberi daya dukung atas tenaga dalam dan ilmu kanuragannya.

Sebentar saja Sekar Arum telah berubah semua bentuk dan pola perlawanannya. Geraknya cepat seperti kilat, tenaganya besar sekuat garuda. Seperti terbang diantara anak-anak srigala, garuda itu menyambar dan menukik menerkam mangsanya.

Sebentar saja korban berjatuhan. Delapan lawannya hanya tinggal empat orang yang masih melakukan perlawanan. Empat orang yang lain menggeletak tak berdaya karena luka-luka yang menganga di tubuhnya.

Dua pedang tipis Sekar Arum sudah berlumuran darah. Bilah kedua pedang itu kini berwarna merah, dari ujungnya terus menetes darah lawan yang terbelah oleh pedangnya.

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun