Namun sebentar kemudian mereka tak lagi berteka-teki. Di bawah pohon beringin yang rindang, dengan dedaunan menjulang seperti conthong, mereka melihat dua lelaki gagah berdiri berjajar di tengah jalan. Keduanya membawa senjata yang hampir mirip, canggah dan trisula bertangkai panjang.
"Kami kira kalian tak bakal lewat jalan ini. Untuk menghindari tatangan yang tuan Tumambong kirim. Ternyata nyali kalian besar juga." Kata salah seorang penghadang itu.
"Di mana Dyah Tumambong ?" Tanya Sembada.
"Untuk menangkapmu tak perlu tuan Tumambong turun tangan. Cukup kami berdua yang menghadapi kalian." Kata pemuda satunya.
Sembada dan Sekar Arum turun dari kuda. Mereka mengikat dua hewan itu pada pohon perdu di pinggir jalan. Keduanya lantas berjalan menghampiri dua orang penghadangnya.
"Biarlah dua orang ini aku hadapi kakang. Pasti tidak hanya mereka berdua yang menghadang kita." Kata Sekar Arum. Sembada menganggukkan kepala.
"Kau tak perlu melawan kami gadis, lebih baik kau istirahat sambil duduk-duduk yang nyaman. Aku hanya perlu dengan calon senopati wilayah selatan itu. Seberapa tinggi ilmunya." Kata salah satu pemuda penghadangnya.
"Jika kau melawannya, beberapa kedipan mata kau pasti terjungkal memeluk tanah. Lebih baik melawanku, kalian akan mati dengan terhormat." Jawab Sekar Arum.
"Kau hanya seorang perempuan, melawan kami berdua ibarat timun melawan durian. Betapa sayangnya kulitmu yang halus jika tergores ujung trisulaku." Kata salah satu pemuda itu.
"Sudahlah Blungki dan Bongol, tangkap gadis itu. Kami yang akan membunuh temannya." Tiba-tiba muncul dua lelaki dari balik batu yang sangat besar.
Sembada menoleh memandang dua lelaki yang baru muncul itu. Keduanya bersenjata sepasang penggada berduri tajam. Sembadapun melangkah maju menghadapinya. Tanpa diketahui kedua calon lawannya telah terpegang sebuah cambuk panjang di tangannya.