Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Bab 35. Luka Dalam (Cersil STN)

5 Juli 2024   15:13 Diperbarui: 6 Juli 2024   22:31 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar dokpri

Pagi itu suasana padepokan Lodhaya dilanda kepanikan. Para cantrik yang tidur lelap semalam suntuk, karena pengaruh sirep Sembada yang diperkuat oleh Mang Ogel, satu persatu mulai bangun. 

Sebagian cantrik malam itu ada yang tertidur di gardu jaga, di dapur dekat perapian, di bawah pohon, bahkan di tempat-tempat lain yang tidak biasa mereka jadikan tempat tidur; seperti di dekat sumur, bahkan di tempat buang air besar, kini mulai membuka matanya.

Cantrik-cantrik itu merasa heran, tidak biasanya mereka melakukan hal seperti itu. Bahkan mereka tidak pernah saat menjalankan tugas mereka tertidur.  Apalagi tertidur saat buang air besar.

"Aneh. Semalam mataku rasanya lengket, tak dapat aku buka. Rasa kantuk menyerangku dengan kuat sekali. Sambil buang air besar aku tertidur sampai pagi. Bukankah itu hal yang aneh ?" Kata seorang cantrik kepada temannya.

"Akupun juga begitu. Tak pernah aku tidur pulas saat bertugas jaga regol." Jawab temannya.

"Lihat ini kain panjangku, terbakar api. Semalam di dapur aku tertidur di dekat tungku perapian." Kata yang lain.

Demikianlah para cantrik membicarakan keanehan yang mereka alami semalam. 

Belum selesai mereka membicarakan keanehan yang mereka alami bersama, mendadak mereka mendengar teriakan-teriakan dari luar pagar padepokan. 

Dua orang cantrik yang baru pulang dari gardu jaga di luar padepokan menemukan seseorang yang menggeletak di jalan. Setelah diamati orang itu mengenakan pakaian kulit dan topeng kepala singa.

"Guru. Ya, guru pingsan. Toloong, tolooong." Teriaknya.

Beberapa cantrik segera lari keluar padepokan, menuju tempat dari mana suara teriakan-teriakan itu terdengar. Sebentar saja banyak cantrik yang mengerumuni guru mereka yang sedang pingsan. 

Cantrik yang paling tua segera memerintahkan cantrik-cantrik lain untuk menggotong guru mereka ke balai padepokan. Beberapa cantrik segera melakukan perintah itu. Tubuh ki Singa Lodhaya yang basah kuyub karena air hujan semalam itupun segera digotong cantrik-cantriknya menuju balai utama padepokan itu.

Setelah sampai segera tubuh yang tinggi besar dan gagah itu diletakkan di atas amben besar dari kayu yang berada di tengah balai utama. 

Cantrik tertua itu segera melepas topeng dan pakaian singa yang dikenakan gurunya. Setelah bagian tubuh atasnya terbuka cantrik itu agak terkejut, ia melihat bagian dada gurunya nampak jalur hitam seperti gosong bekas terbakar.

"Panggil Jaya Usada kemari, guru membutuhkan perawatannya segera." Kata cantrik tertua itu.

Seorang cantrik segera lari menuju salah satu gubug di antara puluhan gubug yang mengelilingi balai besar padepokan itu. Ia tahu orang yang akan dipanggilnya adalah tabib satu-satunya yang ada di padepokan lodhaya.

Ketika sampai pintu gubug tabib itu masih tertutup. Cantrik itu segera menggedornya dengan keras. Lelaki yang berada di dalam gubug itu merasa tidur nyenyaknya terganggu. Iapun berteriak kasar kepada penggedor pintunya.

"Anak setan. Kenapa kau gedor pintu gubugku. Aku belah kepalamu dengan kapak tahu rasa kamu." Katanya marah.

"Kang Jaya Usada, guru pingsan. Aku diperintah kakang Sona Wana memanggilmu. Segera !!"

Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang lelaki tinggi kurus berjenggot panjang menjengukkan kepala keluar pintu.

"Apa kau bilang ? Guru terluka ? " katanya.

"Pingsan. Dadanya memar hitam, seperti bekas terbakar. Kakang Jaya Usada diperintah kakang  Sona Wana  mengobatinya."

"Baiklah. Tunggu aku ganti pakaian. Maaf aku tadi marah padamu. Aku lagi nyenyak tidur kau bangunkan."

"Semua cantrik semalam tidur nyenyak. Bahkan mereka yang bertugas jaga." Kata cantrik itu.

"Sirep. Pasti Sirep !! Ada yang membuat kita terlena."

Namun mereka tak melanjutkan pembicaraan tentang sirep yang membuat semua isi padepokan kehilangan kewaspadaan semalam. Hati mereka lebih tertuju pada kekawatiran terhadap guru mereka yang masih pingsan.

Setelah tabib itu ganti pakaian, dan meraih kotak kayu wadah obat-obatan, ia segera keluar gubugnya.  Mereka bergegas mengayunkan langkah kakinya ke balai utama padepokan. Semua cantrik yang berkerumun mengelilingi Ki Singa Lodhaya menyibak, memberi kesempatan Jaya Usada tabib padepokan itu memeriksa keadaan ki Singa Maruta. 

Tabib itu tercengang saat menyaksikan jalur hitam pada dada gurunya. Kulit yang gosong bekas terbakar itu segera ia balur dengan minyak yang ia bawa. 

"Kulit ini tidak apa-apa, meski nampak hitam seperti baru terbakar. Setelah berulang kali aku olesi minyak kura-kura ini tentu kulit beliau akan segera pulih."

"Jika tidak apa-apa kenapa beliau pingsan ?" Salah seorang cantrik bertanya. Cantrik-cantrik lainnya mengangguk-angguk ikut penasaran ingin tahu.

"Lihat bekas usapan warna merah yang samar-samar membayang di sekitar mulutnya.  Tentu beliau berulang kali muntah darah, lantas beliau usap dengan lengannya. Berarti guru mengalami luka di bagian dalam dadanya."

Sona Wana mengamati raut wajah gurunya. Di sekitar mulutnya nampak warna semburat merah bekas darah yang diusap. Ia mengangguk- anggukkan kepala.

"Luka dalam ? Pasti guru baru saja bertempur. Lawannya lebih sakti dari beliau. Terbukti dia sampai pingsan karena luka dalam." Kata Sona Wana.

Jaya Usada kembali mengamati dada gurunya. Jalur hitam di kulit dada itu mirip luka Gagak Ijo dan Klabang Ireng yang pernah pula ia obati. Namun luka mereka nampak lebih parah penampakannya, karena seperti sebuah goresan yang menyobek kulit. Mereka tidak mengalami luka dalam seperti gurunya.

"Dadanya seperti kena sabetan benda lentur. Tapi dilambari ilmu yang tinggi.  Bukan permukaannya yang nampak terbuka seperti bekas sayatan pedang, sebagaimana aku lihat pada dada dan perut  Gagak Ijo dan Klabang Ireng. Tapi bagian dalamnya yang remuk." Kata Jaya Usada.

"Pasti itu bekas Cambuk  Nagageni dari orang Majadhuwur yang dulu kita cari." Kata cantrik tertua itu lagi.

"Pasti bukan. Mungkin ini gurunya, yang berilmu lebih dahsyat."

Setelah merenunginya beberapa saat Jaya Usada segera meminta agar semua cantrik yang mengerumuni gurunya bubar.

"Sudahlah. Beri guru ruangan yang longgar, agar mendapat udara yang segar. Jangan terus mengerumuninya. Agar akupun juga leluasa merawatnya." kata Jaya Usada.

Para cantrik segera meninggalkan tempat itu, agar sang tabib bisa lebih leluasa merawatnya dengan baik.

Demikianlah Singa Lodhaya sejak saat itu dalam perawatan Jaya Usada, tabib padepokan yang mereka andalkan ilmu pengobatannya.

Macan Belang jantan dan betina, menantu dan anak wanita Ki Singa Lodhaya,  kebetulan sedang pergi menjalankan tugas. Menghimpun kekuatan dari padepokan-padepokan kecil lain yang kelak akan mereka ajak menggempur kembali kademangan Majadhuwur. 

Jadi mereka tidak tahu orang tuanya kini sedang sekarat, dadanya terluka di bagian dalam karena sabetan cambuk yang dilambari Aji Tapak Naga Angkasa yang dikerahkan sampai puncak. 

Sementara itu Sembada dan kawan-kawannya telah meninggalkan goa persembunyian.  Enam orang itu berjalan bersamaan menuju desa Wates. Mereka berniat mampir ke rumah ki Wangsa Jaya, saudagar kaya di desa itu. 

Sembada, Sawung kuning dan gurunya hendak mengambil kuda  yang mereka titipkan. Sekaligus mencarikan kuda untuk  Sekar Arum, Ki Ardi dan Nyai Rukmini.

Demikian juga para prajurit sandi yang bertugas  mengamati padepokan singa  garang  di tengah hutan Lodhaya, mereka telah meninggalkan desa Balitar.  

Sepuluh prajurit itu memacu kuda mereka untuk segera menghindar dari kemungkinan amukan cantrik Lodhaya. Mereka telah mendengar bahwa Sembada telah menciderai singa galak itu dalam sebuah perang tanding di bawah guyuran hujan deras.

Sementara saat matahari akan tenggelam di balik gunung, enam orang rombongan Sembada telah tiba di rumah Ki Wangsa Jaya. Lelaki tinggi besar berjambang dan berjenggot panjang itu segera menyambutnya.

Ki Wangsa Jaya tersenyum melihat Sembada membawa payung bertangkai panjang di pundaknya.

"Kau telah berhasil mengambil payung keramat itu, Sembada ?" kata Ki Wangsa Jaya.

"Pangestu Ki Wangsa Jaya, kami bersama bisa mengambil tiga pusaka yang ternyata ada di sana."

"Tiga pusaka yang dicuri Singa Lodhaya ?"

"Benar Ki Wangsa Jaya. Payung Tunggul Naga, Keris Jalak Saleksa dan Tombak Naga Kumala."

Ki Wangsa Jaya mengangguk-anggukkan kepala. Ia ikut bangga atas keberhasilan Sembada menunaikan tugas.

Namun mereka tidak lama tinggal di rumah saudagar kaya raya itu. Setelah makan malam bersama mereka segera pamit.

Dengan bekal pemberian Senopati Narotama, Sembada membeli tiga ekor kuda untuk Sekar Arum, Nyai Rukmini, dan Ki Ardi. Pada hari itu juga mereka berpisah jalan. 

Ki menjangan Gumringsing bersama Sawung Kuning pergi ke barat, pulang ke padepokan Cemara Sewu. Ki Ardi dan Nyai Rukmini pergi ke timur menuju padepokan Gunung Arjuna. Sementara Sembada dan Sekar Arum pulang Ke kademangan Majadhuwur.

Demikianlah mereka berpisah sejak dari halaman rumah ki Wangsa Jaya saudagar kaya raya dari desa Wates itu. Ki Wangsa melepas mereka dengan lambaian tangan dan senyum di bibirnya. Namun ada sepasang mata yang juga menyaksikan kepergian mereka di balik pintu. 

"Kenapa kau tak menemui Sembada tadi, tapi saat pulang kau mengintipnya" tegur Ki Wangsa saat masuk rumah lagi.

"Tidak ayah aku ingin melihat gadis berpedang itu."

"Namanya Sekar Arum. Murid nenek yang bawa tongkat kemana-mana itu, Nyai Rukmini, pendekar wanita dari lereng Gunung Arjuna."

"Kenapa dia tidak ikut gurunya pulang ke padepokannya. Tapi mengikuti kakang Sembada  ?"

"Apa pedulimu dia ikut atau tidak. Kau tidak punya hak melarang dia. Bukankah kau sudah anggap Sembada sebagai kakakmu ?"

"Aku hanya ingin tahu saja ayah."

"Ohhh. Namanya Sekar Arum. Dia dulu momongan Nyai Kenanga, ibunya Sembada. Saat masih menjadi emban di katumenggungan Gajah Alit. Punya saudara kembar bernama Sekar Sari, pendekar pula. Kini tinggal di Maja Dhuwur. Mereka terpisah karena perang besar di Medang Kamulan. Sekar Arum ditemukan Ki Menjangan Gumringsing guru Sembada, dan dibawa ke padepokan Cemara Sewu. Ia belajar silat di sana, jadi adik seperguruan Sembada. Sebelum diambil murid Nyai Rukmini, dan dibawa ke lereng gunung Arjuna. Sedangkan Sekar Sari ditemukan demang Majadhuwur, yang saudara tua ibunya Sekar Arum. Kini jadi calon menantu ki demamg Sentika. Tujuh tahun lebih mereka terpisah, wajar jika hatinya terlilit kerinduan. Makanya ia ingin sekali bertemu saudara kembarnya itu." Ki Wangsa menjelaskannya.

"Ohh begitu ceritanya ayah."

"Kelihatannya kau tak rela ada gadis dekat dengan Sembada ? Kau tak yakin bahwa sebenarnya hatimu terpikat oleh Sembada ? Sebagimana ayah sejak pertama bertemu, kepingin menjadikannya menantu ayah."

"Entahlah ayah, aku tak tahu persis suasana hatiku. Memang terus terang aku sedikit cemburu padanya. Melihat sikapnya yang agak manja kepada kakang Sembada."

"Hahaha. Lebih baik relakan dia Gendis. Mungkin dia sudah takdirnya jadi jodoh Sembada. Sejak kecil mereka telah bersahabat. Kini keduanya sama-sama pendekar hebat. Gurunya dulu terkenal dengan julukan Si Walet Putih Bersayap Pedang. Semua ilmunya mungkin telah diwariskan padanya, sehingga mereka berhasil tunaikan tugas, mengambil kembali pusaka yang telah hilang. Beranikah kamu bersaing mengambil hati Sembada ? Katanya kamu memilih bisa hidup tenang kelak saat berrumah tangga ?"

"Baiklah ayah. Sepertinya aku memang harus mengalah."

"Syukurlah jika kau bisa merelakan kepergiannya."

Demikianlah akhirnya Ki Wangsa Jaya tahu bagaimana perasaan hati  Gendhis Manis yang sebenarnya kepada Sembada. Namun lebih baik ia merelakannya. Karena jika ia melukai hati gadis pendekar itu resikonya terlalu berat. Gendhis Manis, anak gadisnya, tak punya bekal untuk menghadapinya.

Iapun harus berdamai dengan hatinya. Dialah yang tertarik lebih dulu ingin mengambil Sembada jadi menantu. Namun kini pemuda itu nampak akrab dengan gadis lain yang memiliki kegemaran dan kemampuan kanuragan yang sama.

"Semoga mereka mendapat kemudahan jalan jika memang berjodoh" doanya dalam hati.

Sementara itu Sembada dan Sekar Arum sudah keluar dari wilayah desa Wates. Mereka pacu kuda mereka dengan kecepatan yang tinggi. Ketika malam telah larut mereka memasuki hutan yang cukup rapat.

"Masih jauh kakang letak kademangan Majadhuwur ?"

"Sebelum tengah malam besok, jika tidak ada halangan di tengah jalan, kita pasti sudah sampai di kademangan itu."

"Apakah kita langsung masuk kademangan dengan membawa pusaka-pusaka ini ?"

"Sebaiknya nanti kita sembunyikan dulu. Aku tahu di sana ada sebuah goa yang sering aku jadikan tempat berlatih. Ada ruang tersembunyi yang bisa kita pakai sebagai tempat untuk menyembunyikan pusaka-pusaka ini sementara waktu."

"Sementara waktu ?"

"Yah, sebelum kita serahkan kepada Pangeran Erlangga. Sampai sekarang aku belum tahu di mana pesanggrahan beliau."

Sekar Arum mengangguk-anggukkan kepala, sambil terus memacu kudanya.

"Setelah itu apakah kita bisa langsung ketemu kakang mbok Sekar Sari ?"

"Lebih baik kita istirahat dulu sehari. Aku punya ibu angkat di dusun Majalegi, masih wilayah kademangan Majadhuwur pula. Namanya Mbok Darmi. Janda tua yang hidup sendirian"

"Baiklah. Aku ikut rencana kakang saja. Meski rasa rinduku kepada kakakku sudah sulit aku tahan."

Sembada tertawa. Ia bisa memaklumi perasaan Sekar Arum. Terhadap dirinya saja yang hanya tiga tahun tidak bertemu, perasaan Arum tak bisa ditahan. Bahkan tanpa malu kepada siapun yang melihatnya ia menciuminya sedemikian rupa. Sebagaimana yang terjadi saat mereka bertemu di desa Balitar. 

Baru pertama kali itulah Sembada merasakan lembutnya ciuman bibir seorang gadis. Hingga hari ini hatinya sering kali bertanya, bagaimana perasaan Sekar Arum kepadanya. 

Apakah ia menganggap masih seperti dulu, saat mereka sama-sama masih kecil ? Menganggap dirinya hanya sebagai sahabat saja ?  Atau merasakan hal yang sama dengan yang ia rasakan sekarang ini ? Ah entahlah.

Sampai sekarang ia masih menganggap Sekar Sari dan Sekar Arum adalah junjungannya. Dia harus menempatkan diri sebagai abdi saat bersikap dan berbicara dengannya. Itulah yang ditanamkan kepadanya berkali-kali oleh orang tuanya.

Dulu ia tidak berani hanya memanggil namanya saja. Jika ketahuan kedua orang tuanya ia pasti mendapatkan amarah. Dianggapnya tidak punya adab, atau sopan santun terhadap junjungan.

Namun kedua gadis itu yang selalu meminta agar ia tidak memanggilnya dengan embel-embel sebutan tuan puteri. Cukup panggil Sari atau Arum saja.

Ketika ia mengutarakan bahwa dirinya takut kepada kedua orang tuanya, menyebut keduanya hanya namanya saja. Mereka justru meminta kepada ayah dan ibunya agar tidak memarahinya. Karena itu kehendak mereka berdua. Tapi kedua orang tuanya tetap teguh, adab tak boleh dilanggar.

Akhirnya mereka sepakat ambil jalan tengah. Ia boleh memanggil keduanya dengan embel-embel tuan puteri jika sedang berdekatan dengan orang tuanya. Di tempat lain cukup Arum atau Sari saja.

Tiba-tiba lamunan Sembada berhenti karena suara panah sendaren yang meraung keras. Dua panah itu mengagetkan pula kuda-kuda yang ditungganginya. Kedua kuda itu mendadak berhenti dan mengangkat kedua kakinya, sambil meringkik keras. Dua panah sendaren melayang dan jatuh menancap di atas  tanah di depan mereka.

"Jika kalian melarikan terus kuda-kuda itu, beberapa panah tajam akan melubangi tubuh kalian."

Sebuah ancaman meluncur dari mulut salah satu orang yang menghadang mereka. Terpaksa keduanya mengekang kudanya agar berhenti. Merekapun ingin tahu siapa yang  menghadang jalan mereka di tengah hutan itu.

Beberapa orang bersenjata tajam keluar dari gerumbul-gerumbul perdu di pinggir hutan. Mereka segera mengepung keduanya agar tidak terus memacu kuda untuk melanjutkan perjalanan. Tangan mereka mengacung-acungkan senjata tajam dengan sikap beringas.

Saat itu bintang bertaburan di langit menyaksikan mereka yang tengah berhadapan di jalan tengah hutan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun