"Luka dalam ? Pasti guru baru saja bertempur. Lawannya lebih sakti dari beliau. Terbukti dia sampai pingsan karena luka dalam." Kata Sona Wana.
Jaya Usada kembali mengamati dada gurunya. Jalur hitam di kulit dada itu mirip luka Gagak Ijo dan Klabang Ireng yang pernah pula ia obati. Namun luka mereka nampak lebih parah penampakannya, karena seperti sebuah goresan yang menyobek kulit. Mereka tidak mengalami luka dalam seperti gurunya.
"Dadanya seperti kena sabetan benda lentur. Tapi dilambari ilmu yang tinggi.  Bukan permukaannya yang nampak terbuka seperti bekas sayatan pedang, sebagaimana aku lihat pada dada dan perut  Gagak Ijo dan Klabang Ireng. Tapi bagian dalamnya yang remuk." Kata Jaya Usada.
"Pasti itu bekas Cambuk  Nagageni dari orang Majadhuwur yang dulu kita cari." Kata cantrik tertua itu lagi.
"Pasti bukan. Mungkin ini gurunya, yang berilmu lebih dahsyat."
Setelah merenunginya beberapa saat Jaya Usada segera meminta agar semua cantrik yang mengerumuni gurunya bubar.
"Sudahlah. Beri guru ruangan yang longgar, agar mendapat udara yang segar. Jangan terus mengerumuninya. Agar akupun juga leluasa merawatnya." kata Jaya Usada.
Para cantrik segera meninggalkan tempat itu, agar sang tabib bisa lebih leluasa merawatnya dengan baik.
Demikianlah Singa Lodhaya sejak saat itu dalam perawatan Jaya Usada, tabib padepokan yang mereka andalkan ilmu pengobatannya.
Macan Belang jantan dan betina, menantu dan anak wanita Ki Singa Lodhaya, Â kebetulan sedang pergi menjalankan tugas. Menghimpun kekuatan dari padepokan-padepokan kecil lain yang kelak akan mereka ajak menggempur kembali kademangan Majadhuwur.Â
Jadi mereka tidak tahu orang tuanya kini sedang sekarat, dadanya terluka di bagian dalam karena sabetan cambuk yang dilambari Aji Tapak Naga Angkasa yang dikerahkan sampai puncak.Â