"Ohh begitu ceritanya ayah."
"Kelihatannya kau tak rela ada gadis dekat dengan Sembada ? Kau tak yakin bahwa sebenarnya hatimu terpikat oleh Sembada ? Sebagimana ayah sejak pertama bertemu, kepingin menjadikannya menantu ayah."
"Entahlah ayah, aku tak tahu persis suasana hatiku. Memang terus terang aku sedikit cemburu padanya. Melihat sikapnya yang agak manja kepada kakang Sembada."
"Hahaha. Lebih baik relakan dia Gendis. Mungkin dia sudah takdirnya jadi jodoh Sembada. Sejak kecil mereka telah bersahabat. Kini keduanya sama-sama pendekar hebat. Gurunya dulu terkenal dengan julukan Si Walet Putih Bersayap Pedang. Semua ilmunya mungkin telah diwariskan padanya, sehingga mereka berhasil tunaikan tugas, mengambil kembali pusaka yang telah hilang. Beranikah kamu bersaing mengambil hati Sembada ? Katanya kamu memilih bisa hidup tenang kelak saat berrumah tangga ?"
"Baiklah ayah. Sepertinya aku memang harus mengalah."
"Syukurlah jika kau bisa merelakan kepergiannya."
Demikianlah akhirnya Ki Wangsa Jaya tahu bagaimana perasaan hati Gendhis Manis yang sebenarnya kepada Sembada. Namun lebih baik ia merelakannya. Karena jika ia melukai hati gadis pendekar itu resikonya terlalu berat. Gendhis Manis, anak gadisnya, tak punya bekal untuk menghadapinya.
Iapun harus berdamai dengan hatinya. Dialah yang tertarik lebih dulu ingin mengambil Sembada jadi menantu. Namun kini pemuda itu nampak akrab dengan gadis lain yang memiliki kegemaran dan kemampuan kanuragan yang sama.
"Semoga mereka mendapat kemudahan jalan jika memang berjodoh" doanya dalam hati.
Sementara itu Sembada dan Sekar Arum sudah keluar dari wilayah desa Wates. Mereka pacu kuda mereka dengan kecepatan yang tinggi. Ketika malam telah larut mereka memasuki hutan yang cukup rapat.
"Masih jauh kakang letak kademangan Majadhuwur ?"