Berbeda dengan Sembada, Singa Lodhaya tubuhnya terlempar jauh setelah puncak ilmunya membentur aji anak muda itu. Ia tak lagi dengan gesit dan lincah memutar tubuhnya saat melayang di udara. Seperti buah nangka yang jatuh dari pohonnya, ia tak mampu mengatur posisi tubuhnya saat jatuh di tanah.
Kini Singa Lodhaya masih telentang, bokongnya terasa sakit membentur batu padas. Namun segera ia berusaha bangkit kembali, meski iapun kemudian sempyongan pula. Ia menggeram sebentar, kemudian batuk-batuk. Saat meludah ia rasakan sesuatu yang asin.Â
"Keparat. Anak itu mampu meremukkan isi dadaku." Bisiknya.
Pendekar tua itu menekam dadanya, seraya membalikkan badannya dan berusaha meninggalkan gelanggang. Â Kemudian berjalan tersuruk-suruk masuk rimbunnya hutan yang hitam pekat tertutup malam.
Sekar Arum hendak mengejar hantu hutan Lodhaya itu. Namun gurunya segera mencegahnya.
"Akan pergi kemana kamu, Arum ?"
"Mengejar hantu itu guru. Aku ingin menghabisinya." Kata Arum.
"Aku tak pernah mengajarimu demikian. Menghabisi orang dalam keadaan tidak berdaya. Itu tindakan tidak ksatria."
"Ia lari karena tahu guru dan kakek Ardi di sini. Pasti ia takut kita keroyok."
"Tidak Arum. Ia mengalami luka dalam di dadanya. Kau sendiri menyaksikan tadi, setelah bangun dari jatuh ia menekam dadanya, batuk-batuk dan meludah. Lantas ia tersuruk-suruk meninggalkan gelanggang. Itu semua tanda bahwa ia mengalami cedera. Besar kemungkinan dadanya terluka bagian dalam." Kata Ki Ardi.
"Benar nduk. Tak elok kau mengejar dan menghabisi orang tak berdaya. Etak mah eunteuk bageur." kata Mang Ogel dengan bahasa Sundanya.