Meski hujan deras laksana tumpah dari langit. Kilat menyambar-nyambar tak ada hentinya. Suara petir bergemuruh memekakkan telinga. Dua tokoh sakti yang tengah bertarung itu sama sekali tidak memperdulikannya.
Perhatian mereka terpusat pada upaya masing-masing untuk menjatuhkan lawan. Singa Lodhaya mengaum-aum dengan garangnya, tangannya terbuka dengan kuku-kuku tajam pada jari-jarinya. Siap menerkam dan merobek-robek kulit lawannya.
Tetapi pendekar cebol dari Pasundan itu memang tak dapat diremehkan. Tubuh dan anggota badannya yang serba pendek sama sekali tak menghambat geraknya yang lincah dan gesit. Meski berulang kali ia menghadapi serangan yang sangat berbahaya dari manusia singa yang garang itu, selalu ia dapat mengelakkan diri. Bahkan mampu membalas dengan serangan yang dahsyat pula.
Suatu saat dengan disertai geraman yang keras Singa Lodhaya melompat dengan cepat, secepat kilat yang menyambar di langit. Kuku-kukunya yang bersalut baja yang runcing itu siap merobek-robek kulit musuhnya. Sebentar lagi Bajang Pasundan itu pasti tinggal seonggok daging tanpa bentuk.
Namun pendekar cebol itu tak kalah gesit, ia merundukkan tubuhnya yang kecil menyusup di bawah tubuh Singa Lodhaya yang melayang hendak menerkamnya. Ketika telah lepas, tubuh pendek kekar itu berbalik, dan meloncat dengan cepat menghantamkan sisi telapak tangannya ke tengkuk Singa Lodhaya.Â
"Hiyatt mampus kau macan galak !!!" Teriak Mang Ogel sambil menghantamkan sisi telapak tangannya.
"Dyaaaar"
Terdengar sebuah ledakan yang dahsyat ketika sisi telapak tangan itu membentur tengkuk Singa Lodhaya. Sisi tangan pendekar cebol yang telah dilambari puncak ilmu Sigar Bumi itu menghantam tubuh Singa Lodhaya yang juga terbalut Aji Macan Liwung. Suara benturan itu menggetarkan benda-benda di sekitarnya.
Singa itu menggeliatkan tubuhnya sambil mengaum keras sekali. Badannya terlempar jauh beberapa puluh depa. Semua menyangka badan singa itu akan ngelumpruk ketika sampai di tanah. Tulang lehernya pasti patah tak akan mampu menyangga kepalanya lagi.
Tapi semua yang melihatnya melongo keheranan. Singa Lodhaya melipat tubuhnya ketika melayang di udara. Saat jatuh di tanah pada punggungnya, tubuh yang terbalut kulit singa itu lantas menggelinding, kemudian melejit dengan ringannya dan berdiri dengan kedua kakinya.
Sambil bertolak pinggang lelaki besar tinggi dan gagah itu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, ilmu saktimu tak mampu mematahkan leherku, bajang kerdil." Kata Singa Lodhaya sambil tertawa.
"Daya tahanmu memang luar biasa kakang Singa Lodhaya. Sigar bumiku tak mampu mematahkan lehermu. Namun sepuluh kali pukulan di tempat lain akan meremukkan bagian dalam tubuhmu." Jawab Mang Ogel.
"Itu kalau kau punya kesempatan."
Mang Ogel segera menyiapkan diri menghadapi serangan ganas Singa Lodhaya lagi. Namun ia terkejut saat hendak melangkah menghampiri lawannya, sebuah suara masuk ke telinga batinnya.
"Mang Ogel, lepaskan lawanmu. Biar muridku mencoba menghadapinya. Ia perlu pengalaman untuk mematangkan ilmu yang telah aku wariskan padanya." Kata seseorang yang kini bersembunyi di balik sebuah pohon.
"Apakah ini suara kakang Kidang Gumelar ? Apakah kau yakin kakang, melepaskan muridmu menghadapi singa galak ini ?"
"Aku yakin dia mampu. Bukankah kita di sini ? Bisa mencegah kemungkinan bahaya melandanya ?"
"Baiklah, aku lepaskan singa galak itu." Kata Mang Ogel dengan bisikan batin pula.Â
Mang Ogel kemudian menoleh kepada Sembada.
"Sembada, apakah kamu ingin mencoba ilmu Singa Lodhaya ?"
Dengan spontan Sembada menjawab tawaran Mang Ogel.
"Ya tuan. Aku ingin mencobanya. Itu kalau tuan berkenan aku menggantikan tuan."
"Hati-hatilah dengan singa galak itu. Aji Macan Liwungnya sangat menggetarkan. Aji Sigar Bumiku tak mempan menghancurkan tubuhnya. Hadapi langsung dengan aji yang telah kau miliki. Terapkan pada puncak tertinggi sejak awal." Pesan Mang Ogel.
Sembada maklum dengan sikap pendekar Pasundan itu. Dua kali ia telah ditolong Mang Ogel. Tentu ia menganggap dirinya masih belum saatnya beradu ilmu dengan tokoh-tokoh tua sekelas Bonge Kalungkung dan Singa Lodhaya. Sehingga pendekar cebol itu mengkawatirkan keselamatannya.
"Kakang Lodhaya. Murid temanku ingin mencoba menghadapimu. Perkenankan aku mundur dari gelanggang." Kata Mang Ogel seraya melangkah menghampiri Sembada.
Sembada segera mengulurkan payung keramat Tunggul Naga kepada pendekar cebol itu. Kemudian ia melangkah untuk menghadapi pendekar sakti berpakaian singa itu. Tak lupa ia mengurai cambuk nagageni yang melingkar di pinggangnya.
Melihat cambuk itu Singa Lodhaya menggeram.
"Cambuk Nagageni. Berarti kau yang menghadang Macan Belang muridku dan kawan-kawannya saat menyerang kademangan Majadhuwur. Pantas, Bajang Pasundan bersembunyi di balik cambukmu yang menakutkan anak-anakku."
"Aku sekedar membantu para pengawal kebanjiran lawan saat perang di kademangan Majadhuwur."
"Jangan kau besar kepala mampu mengusir mereka. Berhadapan dengan Kidang Gumelar, gurumu, aku perlu berpikir dua kali. Namun kau pemuda bau kencur hendak menjadi perisai bajang cebol yang keparat itu, apakah nyawamu rangkap sepuluh ?"
Sembada diam saja tidak menanggapi ucapan Singa Lodhaya yang meremehkan dirinya. Bahkan ia mencoba mengelabuhi pendekar sakti itu dengan sebuah lecutan cambuk yang ia gerakkan dengan seluruh tenaga wantahnya. Terdengar ledakan yang dahsyat memecah udara malam yang diguyur hujan deras itu.
Singa Lodhaya tertawa terbahak-bahak.
"Dengan lecutan cambuk semacam itu kau akan menghadapiku ? Lebih baik kau pulang saja anak muda, untuk menggembalakan kambing di kampungmu. Aku kira dengan kuatnya aji sirep yang kau miliki, hingga seluruh cantrikku tertidur, membuktikan bahwa pencuri pusakaku orang berilmu tinggi. Ternyata aku tertipu. Tentu sirepmu telah ditopang gendam Bajang dengan tebaran udara wangi di padepokanku. Karena itulah segera aku menemukanmu di sini."
Sembada baru menyadari, bahwa upayanya menyebar sirep adalah suatu kesalahan. Andai ia masuk goa itu dari pintu belakang, Singa Lodhaya tak akan curiga. Karena pintu depan goa itu masih tertutup seperti biasanya.
Justru karena anak buahnya semua tertidur ia jadi tahu, bahwa ada hal yang tidak beres di padepokannya. Â Tentu singa itu berpikir, satu-satunya kemungkinan tujuan penyebar sirep adalah hendak mengambil pusakanya. Tapi pintu goa masih tertutup. Maka iapun bergegas lari menuju pintu belakang goa rahasianya.
Dari jauh pendekar bertopeng singa itu sudah melihat bayangan dua orang yang baru keluar dari pintu belakang goa itu. Ia tertarik untuk mengikutinya. Namun dua orang itu ternyata berteduh di bawah sebuah pohon. Tak sabar menanti hujan reda, dan ingin mengambil lagi pusaka-pusaka itu kembali, ia putuskan segera menyerang Sembada.
"Nah bersiaplah. Kau memang pantas mendapatkan hukuman. Kau telah meremehkan Singa Lodhaya penguasa padepokan ini. Bayi kemarin sore berani mengambil pusaka yang aku simpan"
Singa Maruta penguasa hutan Lodhaya itu segera mengaum keras sekali, kemudian menggetarkan tubuhnya dengan dahsyat. Pertanda ia tengah membangkitkan aji Macan Liwungnya. Pelan ia melangkahkan kakinya kearah Sembada, seperti perilaku singa yang tengah merunduk mangsanya.
Sembada mengawasinya dengan penuh waspada. Seluruh ilmunya telah ia siapkan pada tataran puncak. Ia tak ingin sekali terkam, dirinya tak lagi mampu melawan.
Ia pegang tangkai cambuk di tangan kanan, tangan kirinya memegang ujung cambuknya. Jika lawannya melompat hendak menerkamnya, ia akan hantamkan cambuknya sekuat tenaga. Namun sengaja ia ingin mengelabuhi singa itu, agar ia mengira tingkat ilmunya benar-benar rendah. Tenaga yang akan digunakan hanyalah tenaga dalamnya saja.
Ketika Singa lodhaya benar-benar melompat menerkamnya, Sembada melompat menghindar ke kiri. Sebuah lecutan yang keras menghantam tubuh singa itu. Namun ia hanya menggeram, sama sekali tidak merasakan sakit pada badannya.
Singa Lodhaya mendesak terus Sembada dengan serangan-serangan yang berbahaya. Mencakar dan menerkam dengan kuku-kukunya yang sangat runcing pada semua jari-jari di kedua tangannya. Tapi Sembada selalu dapat menghindarinya, sekaligus mengirim lecutan cambuk ke tubuh pendekar tua itu.
Itulah salah satu kelebihan Sembada di banding Mang Ogel, ia membawa cambuk yang panjang. Sehingga memberi kemudahan baginya untuk menjangkau tubuh Singa Lodhaya dengan lecutan-lecutan cambuk  berulang kali.
Demikianlah Sembada terus menghujani lecutan-lecutan dengan tenaga dalamnya saja. Sambil menghindari setiap serangan Singa Lodhaya. Meskipun demikian ia sangat heran terhadap daya tahan kulit hewan  yang dikenakan pendekar itu. Jika batu dan kayu saja sudah hancur dengan lecutannya, kenapa kulit itu robekpun tidak. Pasti semua karena daya sakti aji Macan Liwung Singa Lodhaya.
Hantu Lodhaya itu merangsek kemanapun Sembada bergerak. Aumannya semakin sering dan keras. Nampaknya iapun telah dihinggapi rasa marah yang besar. Karena sekalipun ia belum mampu menyentuh tubuh lawannya.
Sebagaimana Mang Ogel yang mengandalkan ilmu peringan tubuh yang telah sempurna, Sembada juga menerapkan ilmu yang sama menghadapi serangan-serangan berbahaya Singa Lodhaya. Tubuhnya seolah seringan kapuk, dan selincah belalang. Ia mampu melenting kesana kemari menghindari serangan. Bahkan seolah seperti terbang ia mengitari di manapun posisi singa ganas itu berada.Â
Tak lupa cambuknya berulang kali ia lecutkan menghantam punggung, dada, perut bahkan kadang paha dan kaki. Namun betapa mengherankan, lecutan-lecutan itu betapapun kerasnya seolah sama sekali tidak menyakitkan. Singa itu tetap ganas dan merangsek dengan serangan-serangan berbahaya.
Ketika Singa Lodhaya menerkamnya Sembada melontarkan tubuhnya mundur beberapa depa. Namun malang baginya ia mendarat di tanah yang licin. Ketika bergerak kakinya terpeleset, tubuhnya jatuh terjengkang. Kesempatan itu dimamfaatkan Singa Lodhaya, ia melompat dengan kecepatan tinggi menerkam Sembada.
"Kakaaaaang awas !!!" Sekar Arum berteriak mengingatkan. Mang Ogel menahan nafas. Sementara Ki Ardi dan Nyai Rukmini mendadak keluar dari persembunyian.
Namun semua bernafas lega saat melihat Sembada mampu mengatasi kesulitan. Pemuda itu tetap bertahan pada posisinya, ia tidur telentang. Namun ketika tahu Singa Lodhaya menerkamnya dengan cepat ia tekuk kedua kakinya. Saat Singa itu melayangkan tubuhnya hendak menindih dan merobek-robek dirinya, Sembada menendangkan kedua kakinya ke arah perut lawan. Dengan meminjam tenaga musuh  dan mempertimbangkan arah penjuru serangan Sembada melontarkan tubuh singa itu melayang di atas tubuhnya.Â
Tubuh Singa Lodhaya terlempar jauh. Â Namun dengan luwesnya ia berjumpalitan memutar tubuhnya. Hingga ia mampu mendaratkan kedua kakinya dengan mudah.Â
Sejenak lelaki itu berdiri diam. Kedua tangannya bertolak pinggang. Terdengar suara geraman yang panjang dari mulutnya.Â
Sementara Sembada  telah melentingkan badannya untuk menghindar dari tempat licin itu. Untuk bersiap kembali menghadapi lawan yang sangat berbahaya.
Sebagaimana Singa Lodhaya, sejenak Sembada berdiri diam. Ia menanti serangan Singa Lodhaya, pendekar sakti yang setiap gerak dan perilakunya meniru binatang buas itu. Kini otak Sembada mulai berputar, mencari titik lemah ilmu lawannya.
Dalam pikiran Sembada, singa adalah binatang yang mengandalkan kuku-kukunya yang tajam, serta gigi dan taringnya untuk merobek kulit lawan. Tapi Singa Lodhaya tak bergigi dan taring sekuat raja hutan itu. Ia mengandalkan jari-jari yang tersalut logam baja yang diruncingkan, untuk menerkam dan mencakar.
Di tengah hutan tempat hidupnya binatang itu menundukkan lawan dengan merunduknya, kemudian dengan gerakan kejut yang cepat ia menerkam tengkuk lawan. Jika mangsanya mampu menghindar dan lari ia terus mengejar. Kala mangsanya terantuk kakinya atau terperosok lubang, ia bergegas menerkam, dan menggigit leher tepat pada pembuluh darahnya. Meski mangsanya meronta-ronta ia tak akan melepas gigitannya, sampai mangsa lemas kehabisan darah atau kelelahan.
Jarang sekali ia menerkam mangsa dari depan. Jika ia nekat, seekor kijang yang kecil dan lemah tapi bertanduk tajam bisa mengakhiri hidupnya. Perut atau dada singa itu bisa tertembus oleh tanduk binatang lemah itu. Dengan sekuat tenaga si kijang akan menyerudukkan tanduk agar menembus kulitnya, dan mengakhiri hidup pemangsanya.
Mendapat pemikiran semacam itu akhirnya Sembada memutuskan, untuk mengubah cara mengakhiri perlawanan Singa Lodhaya. Ia tidak akan menghindar saat pendekar itu menerkam. Namun menunggunya untuk menghantam sekuat tenaga bagian tubuhnya yang terbuka. Kalau perlu ia akan gunakan puncak Aji Tapak Naga Angkasa miliknya.
"Apa boleh buat, aku harus mengakhiri pertempuran ini." Bisiknya dalam hati.
Demikianlah, ketika hujan yang deras itu reda, keduanya bersiap kembali melanjutkan pertempuran. Tangan kanan Sembada  menggenggam tangkai cambuk dengan erat, tangan kiri dengan telapak terbuka ia letakkan di dada. Pertanda ia telah bangkitkan getaran Aji Tapak Naga Angkasa yang berpusat di jantungnya.
Ketika matanya menangkap bayangan yang melompat tinggi hendak menerkamnya, dengan teriakkan yang keras sekeras auman Singa Lodhaya, Sembada melompot pula menjemput bayangan itu.
Tangannya bergerak cepat menghantamkan ujung cambuknya dengan sepenuh tenaga yang sudah dilambari aji miliknya, Tapak Naga Angkasa. Ketika aji itu berbenturan dengan aji Macan Liwung terdengar sebuah ledakan yang dahsyat. Getaran ledakan itu telah merontokkan dedaunan berbagai pohon di sekitarnya.
Sembada merasakan tenaganya sendiri sebagian berbalik menghantam dirinya, sehingga tubuhnya sempoyongan ke belakang, bahkan iapun jatuh terduduk. Nafasnya sedikit terengah-engah, karena merasakan jalan nafasnya sedikit tersumbat. Segera ia angkat kedua tangan ke atas kepalanya sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya. Sebentar saja keadaannya semakin membaik seperti sedia kala.
Semua yang mengerumuninya bernafas lega. Terutama Sekar Arum yang sangat cemas melihat akibat benturan ilmu itu. Kini iapun kembali bisa tersenyum lagi.
Berbeda dengan Sembada, Singa Lodhaya tubuhnya terlempar jauh setelah puncak ilmunya membentur aji anak muda itu. Ia tak lagi dengan gesit dan lincah memutar tubuhnya saat melayang di udara. Seperti buah nangka yang jatuh dari pohonnya, ia tak mampu mengatur posisi tubuhnya saat jatuh di tanah.
Kini Singa Lodhaya masih telentang, bokongnya terasa sakit membentur batu padas. Namun segera ia berusaha bangkit kembali, meski iapun kemudian sempyongan pula. Ia menggeram sebentar, kemudian batuk-batuk. Saat meludah ia rasakan sesuatu yang asin.Â
"Keparat. Anak itu mampu meremukkan isi dadaku." Bisiknya.
Pendekar tua itu menekam dadanya, seraya membalikkan badannya dan berusaha meninggalkan gelanggang. Â Kemudian berjalan tersuruk-suruk masuk rimbunnya hutan yang hitam pekat tertutup malam.
Sekar Arum hendak mengejar hantu hutan Lodhaya itu. Namun gurunya segera mencegahnya.
"Akan pergi kemana kamu, Arum ?"
"Mengejar hantu itu guru. Aku ingin menghabisinya." Kata Arum.
"Aku tak pernah mengajarimu demikian. Menghabisi orang dalam keadaan tidak berdaya. Itu tindakan tidak ksatria."
"Ia lari karena tahu guru dan kakek Ardi di sini. Pasti ia takut kita keroyok."
"Tidak Arum. Ia mengalami luka dalam di dadanya. Kau sendiri menyaksikan tadi, setelah bangun dari jatuh ia menekam dadanya, batuk-batuk dan meludah. Lantas ia tersuruk-suruk meninggalkan gelanggang. Itu semua tanda bahwa ia mengalami cedera. Besar kemungkinan dadanya terluka bagian dalam." Kata Ki Ardi.
"Benar nduk. Tak elok kau mengejar dan menghabisi orang tak berdaya. Etak mah eunteuk bageur." kata Mang Ogel dengan bahasa Sundanya.
Sekar Arum menundukkan kepala. Ia merasa malu hampir saja ia melanggar adab para pendekar sejati yang harus menjunjung tinggi sikap ksatria.
Ia lantas berbalik menghadap Sembada. Kelihatan keadaan tubuh pemuda itu telah membaik.
Ketika melihat kondisi tubuh Sembada yang sudak membaik itu, segera Mang Ogel mengembalikan payung keramat tunggul naga yang dibawanya. Sembada menerimanya dengan bibir tersenyum.
"Terima kasih Mang Ogel sekali lagi telah berusaha menolong kami." Kata Sembada.
"Jangan kau ucapkan itu. Terbukti kau lebih mampu mengusir singa galak itu daripada aku. Sebaliknya akulah yang harus minta maaf. Â Selama ini aku meremehkanmu. Aku lihat usiamu masih sangat muda, aku kira ilmumupun masih cethek. Tidak tahunya kau raksasa yang tak terjangkau."
"Ah, Mang Ogel terlalu menyanjungku." Jawab Sembada.
"Haha aku tidak menyanjungmu. Karena itulah kenyataannya." Jawab Mang Ogel. Kemudian pendekar cebol itu memandang Ki Ardi "Kakang, aku ikut bangga. Kakang menemukan mustika yang berharga. Tunas muda yang memberi harapan masa depan."
Ki Ardi hanya tertawa kecil. Sembada yang merasa dipuji hanya menundukkan kepala saja.
Pendekar cebol itu lantas pamit hendak pulang ke Pasundan. Ia berjanji akan ke Majadhuwur bersama beberapa murid terpilihnya.
"Kita sambut golongan hitam sehangat mungkin kelak di Majadhuwur."
"Kaupun tahu rencana Singa Lodhaya ? Bahwa mereka bersama hendak menyerbu kademangan itu untuk dijadikan landasan perjuangannya ?" Tanya ki Ardi.
"Iyalah, aku tahu. Â Ketika tokoh-tokoh itu setengah mabuk, mereka tak menyadari aku mengintipnya dari atas atap." kata Mang Ogel.
"Pasti kau juga mengintip saat mereka bersenang-senang dengan wanita-wanita cantik itu" ki Ardi bergurau.
"Hehe andai kau di sana, aku pasti mengajakmu mengintip mereka." Jawab Mang Ogel sambil tertawa.
Pendekar cebol itupun segera pamit, dan sekejab kemudian melompat di kelamnya rimba yang mengelilingi padepokan Singa Lodhaya. Sementara Sembada dan kawan-kawannya melanjutkan perjalanan menuju goa persembunyian.
Esok harinya mereka sepakat untuk kembali. Sekar Arum memilih menemani Sembada pulang ke Kademangan Majadhuwur, dengan alasan ingin segera bertemu dengan saudara satu-satunya di sana. Sekar Sari.
"Ah, aku kira bukan itu saja pertimbanganmu." Kata gurunya.
"Aku sudah lama nggak ketemu Mbakyu Sekarsari, guru"
"Itu hanya alasan." Kata gurunya sambil melirik Sembada.
"Ahhh, guru selalu menggodaku." Kata Arum sambil mencubit lengan gurunya. Pipinya merona merah karena sedikit malu.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H