Dengan spontan Sembada menjawab tawaran Mang Ogel.
"Ya tuan. Aku ingin mencobanya. Itu kalau tuan berkenan aku menggantikan tuan."
"Hati-hatilah dengan singa galak itu. Aji Macan Liwungnya sangat menggetarkan. Aji Sigar Bumiku tak mempan menghancurkan tubuhnya. Hadapi langsung dengan aji yang telah kau miliki. Terapkan pada puncak tertinggi sejak awal." Pesan Mang Ogel.
Sembada maklum dengan sikap pendekar Pasundan itu. Dua kali ia telah ditolong Mang Ogel. Tentu ia menganggap dirinya masih belum saatnya beradu ilmu dengan tokoh-tokoh tua sekelas Bonge Kalungkung dan Singa Lodhaya. Sehingga pendekar cebol itu mengkawatirkan keselamatannya.
"Kakang Lodhaya. Murid temanku ingin mencoba menghadapimu. Perkenankan aku mundur dari gelanggang." Kata Mang Ogel seraya melangkah menghampiri Sembada.
Sembada segera mengulurkan payung keramat Tunggul Naga kepada pendekar cebol itu. Kemudian ia melangkah untuk menghadapi pendekar sakti berpakaian singa itu. Tak lupa ia mengurai cambuk nagageni yang melingkar di pinggangnya.
Melihat cambuk itu Singa Lodhaya menggeram.
"Cambuk Nagageni. Berarti kau yang menghadang Macan Belang muridku dan kawan-kawannya saat menyerang kademangan Majadhuwur. Pantas, Bajang Pasundan bersembunyi di balik cambukmu yang menakutkan anak-anakku."
"Aku sekedar membantu para pengawal kebanjiran lawan saat perang di kademangan Majadhuwur."
"Jangan kau besar kepala mampu mengusir mereka. Berhadapan dengan Kidang Gumelar, gurumu, aku perlu berpikir dua kali. Namun kau pemuda bau kencur hendak menjadi perisai bajang cebol yang keparat itu, apakah nyawamu rangkap sepuluh ?"
Sembada diam saja tidak menanggapi ucapan Singa Lodhaya yang meremehkan dirinya. Bahkan ia mencoba mengelabuhi pendekar sakti itu dengan sebuah lecutan cambuk yang ia gerakkan dengan seluruh tenaga wantahnya. Terdengar ledakan yang dahsyat memecah udara malam yang diguyur hujan deras itu.