Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 31. Gudang Pusaka (Cersil STN)

20 Juni 2024   16:00 Diperbarui: 21 Juni 2024   22:13 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu tak ada yang dikerjakan Sembada dan kawan-kawannya di goa persembunyian. Mereka menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang. Sembada menceritak)an pertemuannya dengan Bonge Kalungkung dan Mang Ogel.

"Mereka berdua bertempur dengan sengit. Hampir setengah hari namun belum ada yang menang. Akhirnya justru Bonge Kalungkung yang meninggalkan gelanggang." Kata Sembada.

"Bonge Kalungkung mungkin kawatir kalian ikut terjun ke gelanggang. Dalam pertempuran yang seimbang, kehadiran seorang dari kalian akan mempengaruhi keadaan." Saut Ki Ardi.

"Kami tak berani memasuki medan, tanpa Mang Ogel memintanya. Takut beliau tersinggung."

"Dia tentu memilih perang tanding sampai akhir. Entahlah apa sebenarnya persoalan di antara mereka, sejak dulu Mang Ogel selalu memburu pendekar pincang itu."

"Ya. Bahkan ia membuntutinya sejak dari padepokan Bonge Kalungkung di lereng Semeru. Ia sebut padepokan lelaki pincang itu sudung, sarang babi hutan."

Ki Ardi dan Nyai Rukmini tertawa.

"Kami juga telah menemukan kemungkinan tempat disembunyikannya payung keramat Tunggul Naga, Ki"

"Benarkah ?"

"Yah. Di sebelah utara bangunan utama padepokan Lodhaya terdapat gumuk yang dijaga ketat oleh beberapa cantrik. Gunung kecil yang kemungkinan dari batu karang itu bisa jadi berlubang bagian bawahnya.  Kami menduga tempat itulah yang digunakan sebagai gudang, untuk menyimpan senjata-senjata atau pusaka keramat yang mereka curi."

Ki Ardi dan Nyai Rukmini mengangguk-angguk. Mereka saling berpandangan sejenak, kemudian wanita tua guru Sekar Arum itu berkata.

"Kami juga telah melihat tempat itu dari kejauhan. Namun tak pernah berpikir kemungkinan itu. Tapi kalau dijaga banyak cantrik, dan mereka semua membawa busur setiap saat, memang besar kemungkinan dugaanmu benar. Tapi masih harus dibuktikan pendapatmu itu. Ini yang jadi persoalan. Kita kesulitan menerobos masuk ke sana tanpa ketahuan."

"Jika sekedar membuktikan kebenaran bahwa pusaka keramat itu di sana aku punya cara Nyai."

"Bagaimana caramu ?" Hampir berbareng Nyai Rukmini dan Ki Ardi bertanya.

"Dengan pisah raga dan sukma. Ragaku aku tinggal di sini, sukmaku yang akan menyelidiki kebenaran dugaanku"

Mendengar jawaban itu Ki Ardi dan Nyai Rukmini tersenyum bersama. Mereka mengangguk angguk.

"Yah, benar. Aku tak pernah berpikir tentang cara itu." Kata Ki Ardi.

"Akupun demikian. Sebenarnya perkara mudah bagi kita, namun kenapa lama sekali kita bingung berpikir mencari cara lain." Nyai Rukmini menimpali. 

"Mungkin kita berharap begitu bisa masuk langsung bisa bawa benda itu. Sementara kita belum tahu pasti di mana pusaka itu disimpan" kata ki Ardi.@

"Saat purnama naik, saya akan melakukannya. Saat itu bertepatan dengan puncak acara yang diselenggarakan di padepokan. Kita juga bisa menguping pembicaraan para sakti di balai utama." Kata Sembada.

"Aku setuju. Namun jangan sendirian. Sekar Arum bisa menemanimu." Kata Nyai Rukmini.

"Apakah dia juga mampu pisah raga dan sukma ?"

"Tentu. Untuk memperoleh sepasang pedang itu syaratnya sama dengan cara kamu mendapatkan cambuk nagageni." Kata guru Sekar Arum.

Sembada memandang Sekar Arum yang duduk di sebelah gurunya. Ia tidak mengira tingkat ilmu gadis itu benar-benar sudah tinggi. Ia menyangka baru tuntas belajar ilmu pedang.

"Apakah hanya kau saja yang bisa pisah raga dan sukma, kakang? Akupun bisa. Jadi aku bisa mengikutimu membuktikan dugaanmu. Biarlah Ki Ardi dan guru yang menjaga raga kita."

"Orang-orang tua hanya kau pekerjakan saja, Sekar ?" Celetuk gurunya.

Sembada dan Ki Ardi tersenyum.

"Aku benar benar tak menduga, gadis centil yang dulu kutinggalkan ternyata mampu menggapai puncak ilmu tertinggi."

"Siapa dulu gurunya" Nyai Rukmini menimpali. Semua isi goa persembunyian  itu tertawa. 

Demikianlah para penghuni goa persembunyian itu telah sepakat membuktikan kebenaran dugaan mereka dengan cara yang paling aman.  Sembada dan Sekar Arum akan memasuki padepokan bukan dengan badan wadag, atau jasmani, tetapi memakai badan sukma. Dengan begitu semua penghuni padepokan tak akan bisa melihat mereka, termasuk tokoh tokoh sakti yang berkumpul di sana.

Kepada Branjangan, Sembada berpendapat kegiatan prajurit telik sandi semua dihentikan, mengingat bahaya yang dihadapi terlalu besar. Jika mereka tertangkap belum tentu Sembada dan kawan kawannya tahu dan bisa menolongnya. Keselamatan Branjangan di waktu yang lalu adalah kebetulan Sembada melihatnya.

"Baik Sembada. Teman-teman akan aku hubungi dan aku beri tahu, pengawasan padepokan akan kau lakukan. Kami akan menunggu beritanya jika kau telah berhasil mengambil pusaka itu"

Pagi harinya Brajangan pamit meninggalkan goa. Ia pergi ke desa Balitar di mana teman-temannya menginap. Salah seorang pembantu kedai di ujung desa Balitar adalah penghubungnya. Branjangan memberi tahu sandinya jika bertemu penghubung itu. 

Sementara itu tiga hari menjelang purnama naik padepokan Lodhaya benar benar ramai sekali. Pagi dan sore hari telah diselenggarakan adu kesaktian para cantrik. Acara ini adalah babak penyisihan. Mereka yang menang akan bertanding pada acara puncak saat purnama naik nanti. Meski demikian acara saat ini sungguh seru sekali.

Ternyata banyak pula pedagang yang menjajakan dagangan mereka di pinggir lapangan.  Makanan dan minuman kesukaan para cantrik; jadah, wajik, tuak, serbat kelapa, dan lain-lain.

Mereka wanita-wanita penghuni padepokan juga. Rata-rata usianya sudah tua. Wanita-wanita ini bekas penghuni harem Singa Lodhaya yang pernah tinggal di bangsal madu branta.

Para sakti belum kelihatan batang hidungnya pada keramaian itu. Di balai utama juga nampak sepi tidak ada kegiatan apapun.

Saat matahari turun dari puncaknya, nampak dua orang memanjat sebuah pohon di sisi selatan agak jauh dari padepokan. Dua orang guru dan murid itu tengah mengawasi isi padepokan.

"Tentu kakakmu Sembada kesulitan memasuki padepokan. Penjagaan di sana ketat sekali. Jika tokoh-tokoh berkumpul di sana, ilmu sireppun tidak akan berguna. Hanya cantrik-cantriknya yang akan tertidur. Para gembongnya justru semakin waspada."

"Yah guru. Apakah tidak sebaiknya kita mencari hubungan dengan kakang Sembada lebih dulu guru ? Agar kita tahu apa rencana mereka ?"

"Yah benar. Kita harus bertemu mereka. Kita cari tempat yang aman untuk meditasi sebentar, kirim pesan kepadanya bahwa kita telah hadir"

Merekapun melangkah agak jauh lagi dari padepokan. Di suatu tempat dekat batu yang besar mereka berhenti. Gurunya lantas duduk sebentar dan meditasi. Selang sesaat nampak badannya bergetar.

"Aku telah sampai. Sekarang di sisi selatan padepokan." Dengan ucapan batin ia sampaikan pesan.

"Yah guru. Lebih baik kita berkumpul. Kami di sebelah barat padepokan. Dekat pohon randu alas yang besar dan tinggi, ada sebuah goa. Di sana kami sembunyi."

Guru itu mengakhiri semedinya.

"Mereka bersembunyi di goa yang terletak di barat padepokan dekat pohon randu alas."

"Baiklah aku akan melihatnya dulu guru."

Pemuda yang bersamanya segera memanjat pohon lagi. Ia melihat kearah matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Iapun melihat sebuah pohon besar dan menjulang tinggi di arah sana. Pohon itu paling tinggi di antara pohon pohon sekitarnya.

"Tidak terlalu jauh guru. Jika kita berjalan biasa saja, menjelang matahari tenggelam kita akan sampai di sana"

"Baiklah kita segera ke sana."

Demikianlah dua orang itu segera pergi. Dengan melewati sela-sela pepohonan yang tumbuh rapat dan rumpun belukar yang padat, berbekal pedang di tangan, sepecak demi sepecak mereka mendekati tempat yang mereka tuju. 

Lewat beberapa saat setelah matahari tenggelam mereka telah sampai. Keduanya disambut empat orang sambil berdiri di depan goa.

"Aku kawatir kalian diterkam singa galak, lama kami menunggu di sini. Sampai aku merasa bosan."

"Tak nampak singa itu muncul di keramaian padepokan. Jika muncul tentu pakaian khususnya gampang di kenal. Ia sering mengenakan baju kulit singa. Bahkan saat-saat tertentu ia kenakan topeng binatang mengerikan itu."

"Marilah masuk ke goa persembunyian kami."

"Baik kakang"

Setelah membalas salam keempat orang yang menyambutnya, guru dan murid itu lantas ikut masuk ke dalam goa. Sembada bergegas menyalakan obor kecil dalam goa tersebut, sehingga ruangan itupun tidak terlalu gelap. 

Guru dan murid itu adalah Menjangan Gumringsing dan Sawung Kuning. Mereka datang memenuhi janjinya membantu Sembada untuk mengambil payung keramat Tunggul Naga.

Kedatangan dua orang itu mengubah rencana mereka.  Ada dua pekerjaan yang harus mereka lakukan bersamaan, yakni mencari keberadaan payung keramat Tunggul Naga, dan menguping musyawarah para sakti di padepokan Lodhaya.

Mencari tempat keberadaan payung pusaka itu tugas Sembada dan Sekar Arum. Sedangkan ki Ardi dan Nyai Rukmini akan mengintip dan menguping pembicaraan Singa Maruta dan kawan-kawannya. Tugas menjaga raga mereka diserahkan Ki Menjangan Gumringsing dan Sawung Kuning.

Hari yang ditunggupun tiba. Empat orang yang akan menjalankan tugas telah menyucikan diri. Hari itupun mereka berpuasa. Setelah matahari tenggelam di ufuk barat keempatnya masuk goa lebih dalam. Di ruang yang cukup longgar dan bersih, udaranyapun tidak pengap, mereka segera duduk bersila.

Sepuluh langkah dari mereka, Sawung Kuning duduk pula pada sebuah batu besar, menunggu raga keempat orang itu. Sementara Menjangan Gumringsing sibuk di depan perapian di depan goa, menyiapkan ketela dan ubi bakar untuk makan malam mereka berdua.

Sementara di padepokan Lodhaya suasana begitu meriah. Semua cantrik berkumpul di halaman, hendak menyaksikan pertunjukan yang mereka tunggu-tunggu. Malam itu adalah malam puncak, saat rembulan muncul di angkasa dan menerangi seluruh isi padepokan, akan diselenggarakan pertandingan babak akhir untuk merebut juara. 

Sebelum acara itu dimulai, aneka seni taripun akan dipertontonkan. Para penari adalah wanita-wanita cantik penghuni harem padepokan. Seperti biasa mereka akan berpakaian dan melakukan gerakan gerakan tari yang dapat memanaskan nafsu para cantrik.

Bunyi gamelan telah lama bertalu. Mengiringi gending-gending yang dinyanyikan para sinden yang sering mereka undang dalam acara-acara seperti itu.

Sementara di balai utama telah duduk empat tokoh utama golongan hitam. Aneka makanan telah dihidangkan di hadapan mereka, lengkap dengan minuman yang memabukkan. Masing masing didampingi wanita cantik yang meladeni semua kebutuhan para sakti itu.

Dalam situasi demikianlah, empat sukma hadir ke padepokan itu. Sejenak mereka menyaksikan pertunjukan tari yang seronok. Mereka hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Sebentar kemudian mereka berpisah untuk melaksanakan tugas yang telah direncanakan. Sembada dan Sekar Arum menuju gumuk karang, Ki Ardi dan Nyai Rukmini masuk balai utama padepokan.

Ternyata benar di bawah gumuk karang itu terdapat lorong yang cukup besar. Manusia bisa masuk tanpa menundukkan kepala. Pada dinding-dindingnya terdapat beberapa obor yang menyala. Sembada dan Sekar Arumpun segera masuk.

Namun beberapa ratus depa dari pintu lorong tertutup batu yang sudah dipipihkan. Dengan badan sukma keduanya tentu tak dapat membuka pintu itu. Namun bukan berarti mereka tak dapat masuk. Terdapat lubang kecil yang bisa dilewati lebah di antara daun pintu dan dinding lorong. Lewat lubang itulah keduanya masuk.

Mereka tercengang ketika sudah berada di ruang rahasia padepokan itu. Aneka perhiasan terbuat dari logam mulia, emas dan perak, bertumpuk-tumpuk di sana. Diangkut lima puluh pedatipun belum tentu habis.

Sembada dan Sekar Arum terus masuk ke dalam. Terdapat ceruk yang agak dalam di dinding goa itu. Mereka melihat sebuah payung berwarna emas berdiri dalam plangkan yang terletak diujung ceruk. 

Di bawah plangkan terdapat bokor kuningan tempat bunga sesaji. Di sisinya beberapa batang dupa tertancap dalam pasir yang terwadahi bokor juga. Nampak dupa itu masih mengepulkan asap wanginya.

Keduanya segera melakukan sembah grana. Karena itulah Songsong Tunggul Naga yang hilang dari gedung pusaka Medang, yang bentuk dan warnanya telah dijelaskan Ki Ardi.

Namun mata Sekar Arum tertarik pada pusaka lain dipojok ceruk yang lain. Iapun berdiri dalam sebuah plangkan. Bentuknya sebuah tombak bertangkai pendek. Gadis itu segera mendekati benda itu.

Sekar Arum masih ingat saat kecil pernah bahkan sering melihat tombak, yang wujudnya seperti itu. Ia selalu berada di kamar tidur ayahnya, dekat sisi tempat tidurnya. Tombak itu pernah ayahnya sebut bernama Naga Kumala.

Karena penasaran Sekar Arum mendekatinya. Saat ia meraba dengan tangan sukma terasa ada getaran masuk dalam dirinya. Ia sedikit terkejud. Beberapa saat ia mengamati. Ternyata pada landean tombak tertulis nama ayahnya 'Gajah Alit'. Jadi benar bahwa tombak itu milik ayahnya.

"Kau mengamati apa Sekar"

"Ini kakang, tombak ini persis milik ayahku. Saat masih kecil aku sering melihatnya. Pada kayu yang jadi tangkainya terdapat guratan nama ayah Gajah Alit"

Sembada tertarik ikut mengamatinya. Iapun lantas mengangguk-angguk. 

"Benar Sekar. Kemungkinan besar ini senjata ayahmu."

"Kalau begitu sekalian aku bawa tombak itu nanti. Bersama payung keramat Tunggul Naga, harus kembali kepada pemiliknya."

Sembada mengangguk membenarkannya.

"Ternyata kerja kita tidak sia-sia, kakang. Dua buah pusaka kita temukan di sini. Ayah tentu senang saat aku kembalikan tombak itu padanya."

Mereka bergegas keluar ceruk, untuk melanjutkan menelusuri lorong itu. Namun pada lorong berikutnya tak ada obor penerang pada dinding-dindingnya. 

Tetapi bagi keduanya gelap dan terang tak menjadi masalah bagi penglihatan sukmanya. Mereka lantas melanjutkan langkahnya menelusuri lorong goa itu hingga beberapa ribu langkah.

Pada ujung lorong itu Sembada dan Arum melihat pancaran cahaya rembulan. Berarti di sana ada lubang yang terbuka. Setelah sampai ternyata lubang itu terpalang beberapa batang kayu. Sembada mencoba menerobos lubang sempit diantara palang kayu -palang kayu penghalang pintu itu. 

Sembada akhirnya melompat keluar, diikuti oleh Sekar Arum. Dua orang itu lantas mengamati lingkungan sekitar. Ternyata daerah itu merupakan tepian sungai yang tertutup semak belukar.

Rupanya goa itu kecuali gudang Senjata juga jalan rahasia penyelamatan diri bila padepokan diserang musuh yang kuat. Dan pintu ini bisa jadi jalan masuk baginya mengambil pusaka keramat milik kerajaan Medang, Songsong Tunggul Naga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun