"Dengan pangestu guru akan kami jalankan pesan guru. Terima kasih atas semua ilmu yang guru curahkan untukku."
"Terima kasihlah kepada Hyang Widi, selesaikan samadimu sampai pagi."
"Baik guru."
Sembada melanjutkan semadinya. Sementara gurunya keluar sanggar pamujan, tidak kembali ke Dalem Agung, namun berjalan jalan di tengah malam buta itu keluar padepokan. Ia menuju sungai yang di musim kemarau airnya gemiricik mengalir kecil. Batu-batu besar nampak banyak sekali di sana. Ki Menjangan Gumringsing meloncat loncat antara satu batu ke batu yang lain. Ketika sampai ke sebuah batu besar ia berhenti dan duduk bersila di sana.
Ia sedakepkan tangannya, tundukkan kepalanya dan pejamkan mata. Setelah mengatur nafasnya sebentar ia panggil lewat bisikan hati.
"Sembada hentikan semedimu. Â Datanglah kemari. Aku di Batu Gajah. Aku ingin menyaksikan ilmu Tapak Naga Angkasa."
Di sanggar Sembada semula merasakan tiba-tiba tubuhnya bergetar, namun setelah tenang ia mendengar suara gurunya dalam batinnya.
"Baik guru, aku akan kesana."
Sembada menyelesaikan semadinya, kemudian keluar sanggar. Dengan ilmu peringan tubuhnya ia melesat cepat menuju letak Watu Gajah yang keberadaannya sudah diketahui.
Gurunya heran menyaksikan kecepatan gerak muridnya. Ternyata Sembada menguasai pula ilmu peringan tubuh. Sebagai guru ia merasa ilmunya telah kalah jauh dibanding muridnya. Tapi dia bangga telah ikut andil membentuk watak dan karakter Sembada menjadi pemuda yang baik.
"Saya datang guru."