Sembada telah bertekad mempelajari Aji Pameling. Sebagaimana pesan Ki Ardi alias Ki Kidang Gumelar, ia harus menambah perbendaraan ilmu. Juga memenuhi pesan gurunya, agar bisa saling berhubungan dengan kawan seperjuangan merebut kembali payung keramat Tunggul Naga.
Sebagai mahar ilmu itu ia harus puasa tiga hari. Tapi tidak perlu pati geni seperti saat memperoleh ilmu sirep dari ki Demang  Sentika.
Maka meski ia tengah puasa, Sembada bisa mengajak Sawung Kuning untuk berlatih bersama. Badannya masih kuat tak terasa melemah meski keringatnya bercucuran saat menempa Sawung Kuning dengan bertanding langsung di antara mereka. Â Malah Sawung Kuning yang tenaganya cepat susut menghadapi kakak seperguruannya.
"Daya tahan kakang luar biasa. Aku tahu kakang sedang puasa, namun tenaga kakang tidak susut sama sekali."
"Semuanya hasil menempa diri. Meski kita telah berhasil menguasai semua jurus, tetap kita harus melatihnya rutin. Agar kecepatan, kemantapan dan daya tahan kita terus bertambah."
"Baik kakang nasehatmu akan aku laksanakan."
Sejak saat itu setiap hari mereka berlatih bersama. Banyak hal yang didapat Sawung Kuning. Â Ternyata jurus olah kanuragan diperguruannya tidak sebatas yang ia tuntaskan diperguruan, namun masih banyak yang tidak ia ketahui.Â
Bahkan ia mulai mendapat tuntunan untuk menguasai ilmu meringakan tubuh dari Sembada. Bagi adik seperguruannya Sembada telah jadi kitab ilmu yang berjalan, yang dapat diserap setiap ada kesempatan.
Sembada sendiri merasa wajib untuk meningkatkan ilmu adik seperguruannya. Ia mengharap Sawung Kuning kelak yang menggantikan gurunya. Sementara dirinya akan mengabdikan diri lewat jalur lain. Â Seperti melaksanakan tugas sebagaimana diperintahkan Senopati Narotama.
Dalam pikirannya Pangeran Airlangga tidak mungkin berhenti berjuang untuk mengembalikan kejayaan Medang Kamulan. Tentu beliau sudah menyusun kekuatan tersembunyi yang setiap waktu akan digerakkan untuk membalas serangan kerajaan Wora wari. Negeri itu telah ditinggalkan sekutunya, bala tentara Sriwijaya telah ditarik pulang ke negerinya. Kekuatannya tentu jauh susut.
Sembada berniat untuk ikut membantu upaya Pangeran Erlangga. Oleh karena itu tugas awal yang diembankan kepadanya akan ia upayakan sekuat tenaga bisa berhasil. Mengembalikan Songsong Tunggul Naga kembali ke pewarisnya. Meski nyawa jadi taruhannya.
Seluruh ilmu yang dapat mendukung upayanya itu akan ia tampung. Sebagaimana pesan ki Ardi, selalu menambah perbendaraan ilmu tanpa henti. Â Termasuk Aji Pameling yang akan diwariskan gurunya, ki Menjangan Gumringsing.
Sembada telah menyelesaikan puasanya. Di hari ketiga menjelang matahari tenggelam ia mencuci rambutnya yang panjang dengan abu merang padi ketan hitam. Sawung Kuninglah yang mencarikan merang atau batang padi ketan hitam yang telah kering itu.
Termasuk ubarampe sesaji sebagai pelengkap syarat pewarisan ilmu lainnya. Antara lain bunga tiga warna atau kembang telon, kinangan, setangkap pisang raja, dan dupa terbaik.
Saat sirep bocah, anak-anak kecil mulai tidur, semua sesaji telah tertata di sanggar pamujan. Sembada telah berada disana sesuai perintah gurunya. Sejak matahari tenggelam ia melakukan samadi.
Saat tengah malam, setelah sirep wong dan kekayon, gurunya masuk sanggar. Ia tersenyum melihat Sembada masih khusyuk samadi. Untuk menghentikannya ia berdehem tiga kali.
Sembada menghentikan semadinya. Sebentar kemudian acara pewarisan Aji Pameling dimulai. Dupa dinyalakan, mereka berdua melakukan puja bersama. Dengan dua tangan terkuncup di atas kepala mereka melakukan sembah mustaka, sembah untuk Hyang Widhi. Â Dengan doa mohon kelancaran dan tanpa gangguan dalam proses pewarisan ilmu mereka.
Setelah berdoa barulah mereka berhadapan. Ki Menjangan Gumringsing memberi wejangan kepada Sembada agar semua ilmu yang ia wariskan dipergunakan untuk tujuan tujuan yang baik dan mulia, dan dibenarkan oleh ajaran yang menjadi keyakinan mereka.
Barulah setelah itu mantra aji pameling dibisikkan ke telinga kanan Sembada tiga kali. Sembada yang pernah pisah raga dan sukma, daya ingatnya sangat kuat dan tajam. Maka mantra itu segera dapat diserap dan diingatnya dengan kuat, bahkan kata demi kata seolah telah menempel di dinding hatinya.
Setelah selesai gurunya mencium kening Sembada.
"Pangestuku untukmu anakku. Gunakan ilmumu sebaik-baiknya. Tegakkan kebenaran dan keadilan di muka bumi ini"
"Dengan pangestu guru akan kami jalankan pesan guru. Terima kasih atas semua ilmu yang guru curahkan untukku."
"Terima kasihlah kepada Hyang Widi, selesaikan samadimu sampai pagi."
"Baik guru."
Sembada melanjutkan semadinya. Sementara gurunya keluar sanggar pamujan, tidak kembali ke Dalem Agung, namun berjalan jalan di tengah malam buta itu keluar padepokan. Ia menuju sungai yang di musim kemarau airnya gemiricik mengalir kecil. Batu-batu besar nampak banyak sekali di sana. Ki Menjangan Gumringsing meloncat loncat antara satu batu ke batu yang lain. Ketika sampai ke sebuah batu besar ia berhenti dan duduk bersila di sana.
Ia sedakepkan tangannya, tundukkan kepalanya dan pejamkan mata. Setelah mengatur nafasnya sebentar ia panggil lewat bisikan hati.
"Sembada hentikan semedimu. Â Datanglah kemari. Aku di Batu Gajah. Aku ingin menyaksikan ilmu Tapak Naga Angkasa."
Di sanggar Sembada semula merasakan tiba-tiba tubuhnya bergetar, namun setelah tenang ia mendengar suara gurunya dalam batinnya.
"Baik guru, aku akan kesana."
Sembada menyelesaikan semadinya, kemudian keluar sanggar. Dengan ilmu peringan tubuhnya ia melesat cepat menuju letak Watu Gajah yang keberadaannya sudah diketahui.
Gurunya heran menyaksikan kecepatan gerak muridnya. Ternyata Sembada menguasai pula ilmu peringan tubuh. Sebagai guru ia merasa ilmunya telah kalah jauh dibanding muridnya. Tapi dia bangga telah ikut andil membentuk watak dan karakter Sembada menjadi pemuda yang baik.
"Saya datang guru."
"Peringan tubuhmu mendekati sempurna. Benar-benar kau bayangan kakang Kidang Gumelar. Nah sekarang aku ingin menyaksikan Aji Tapak Naga Angkasa yang kau peroleh saat meraga sukma"
"Baik guru."
Sembada lantas mengambil cambuknya. Dengan memainkan cambuknya sambil melompat-lompat berjumpalitan di atas satu batu ke batu yang lain, memainkan semua jurus ilmu padepokan cemara sewu dan jurus jurus yang ia peroleh di goa.Â
Gurunya melongo menyaksikan, betapa lengkap dan cepatnya jurus jurus Sembada.
Setelah beberapa lama ia memperagakan gerak gabungan jurus cemara Sewu dan jurus Goa Kitab Ilmu, Sembada segera bersikap untuk membangkitkan tenaga sakti Aji Tapak Naga Angksa.
Sebentar saja sebuah getaran mengalir dari pusat jantungnya merambat ke tangannya. Ketika cambuk digerakkan melesatlah cahaya biru keputihan menghantam batu hitam sebesar kepala gajah di lereng sungai. Terdengar suara ledakan dahsyat, disusul debu berhamburan ke atas. Setelah debu itu hilang jatuh ke tanah, batu hitam sebesar kepala gajah di lereng sungai juga lenyap. Tinggal sebuah lubang menganga di sana.
"Dahsyat.!!! Dengan aji itu kau akan mampu menghadapi aji Macan Liwung milik Singa Lodhaya, Sembada."
"Pangestu guru semoga aku mampu menghadapinya."
"Aku yakin kau sudah siap. Mudah-mudahan tidak hadir tokoh hitam lain ke sana. Teman Singa Lodhaya cukup banyak, memiliki ilmu yang sejajar, yang dulu ikut dalam perang besar menghancurkan Medang."
"Doakan guru saya mampu menghadapi mereka."
"Jika mereka bersama tentu berat bagimu. Dibutuhkan beberapa teman dari kita. Semoga Nyai Rukmini dan Sekar Arum serta uwakmu Ki Kidang Gumelar juga di sana. Sewaktu waktu bisa kita undang lewat aji pameling."
"Semoga demikian guru."
"Akupun akan menyusulmu bersama Sawung Kuning."
Ketika matahari telah nampak hendak terbit di timur, mereka berdua bergegas pulang. Sembada kemudian nimbrung ikut adik adik seperguruannya membersihkan setiap halaman dan ruang ruang sanggar padepokan.
Mereka melakukan kerja dengan senang hati. Apalagi dikawani oleh aneka swara burung yang hinggap di dahan dahan pohon yang banyak tumbuh di padepokan.
Sebelum berangkat menunaikan tugas yang diembannya Sembada sengaja menyempatkan waktu untuk menempa Sawung Kuning. Latihan latihan yang sangat keras ia perintahkan kepada adik seperguruannya.
Bahkan ia menyediakan diri sebagai lawan bertanding bagi Sawung Kuning. Itulah sebabnya dalam waktu singkat pemuda berbadan kekar itu telah banyak menyerap ilmu dari Sembada.
Sembadapun tidak pelit dengan ilmunya. Sawung Kuning telah diajari ilmu meringankan tubuh. Pemuda itu setiap pagi selalu berada di sungai, memperagakan ilmu peringan tubuhnya pada batu batu muntahan gunung wilis itu. Melompat-lompat pada bebatuan dan berjumpalitan di udara dengan ringannya.
Saat mereka beristirahat, Sembada menyatakan hendak berangkat tunaikan tugas.
"Sudah saatnya aku berangkat menunaikan tugas. Tinggal satu kewajibanku untukmu, menata urat syaraf dan nadimu. Jika bisa sediakan jeruk pecel untuk keperluan itu. Â Nanti malam dibilikmu kita lakukan"
"Iya kang. Kebetulan jeruk pecel yang kita tanam dulu kini banyak berbuah."Â
"Carilah secukupnya. Untuk melemaskan otot-ototmu yang tegang karena beberapa hari berlatih keras."
"Siap kakang."
Ketika malam telah tiba, dibilik Sawung Kuning menjalankan kewajibannya untuk menambah kemampuan ilmu kepada adik seperguruannya. Â Ia mengurut dan memijat tubuh Sawung Kuning dan melemaskan otot ototnya dengan air jeruk pecel. Setelah selesai mereka duduk bersila, Sembada di belakang Sawung Kuning.
Telapak kedua tangan Sembada menempel di punggung Sawung Kuning. Sejenak kemudian hawa hangat dari Aji Tapak Naga Angkasa mengalir ke tubuh Sawung Kuning. Setelah beberapa kali aliran itu bebas tanpa hambatan di bagian bagian tubuh tertentu, Sembada Segera menghentikannya.
"Cukup Adi Sawung Kuning, urat nadi dan syarafmu sudah tertata. Semoga tak ada hambatan kau menyalurkan tenaga dalam "
"Terima kasih kakang. Â Apa balasanku untuk budi baik kakang"
"Jangan berkata begitu. Ini kewajibanku membantu guru meningkatkan ilmumu. Aku tidak sedang menanam budi baik, tapi menjalankan kewajiban. Sebagaimana kau melatih jurus kepada adik adikmu murid padepokan ini."
"Baik. Walaupun bagaimana aku berterima kasih, kakang."
"Baiklah istirahatlah. Esok pagi kau rasakan bedanya sebelum dan sesudah nadimu tertata."
"Baik kakang."
Sembada lantas keluar dari bilik Sawung Kuning. Â Malam itu iapun masuk ke biliknya untuk istirahat, karena kerja menata urat syaraf dan nadi menguras tenaga dalamnya.
Pagi harinya setelah sarapan ketela rebus bersama gurunya ia pamit melihat Sawung Kuning berlatih. Tapi gurunya tertarik untuk melihat pula. Mereka berdua lantas pergi bersama ke sungai. Dengan sembunyi sembunyi keduanya menyaksikan Sawung Kuning dengan gesit dan lincahnya meloncat dan berjumpalitan di atas bebatuan di lembah wilis. Tubuhnya yang kekar seolah tak berbobot, ringan seperti kapas dan gesit seperti burung sikatan.
"Semalam uraf syaraf dan nadinya telah aku tata guru. Geraknya sekarang lebih mantap daripada kemarin."
"Pantas. Betapa lincah dan gesit ia bergerak. Aku semakin mantap mengajaknya untuk membantumu."
"Tidakkah akan membahayakan dirinya."
"Agar lebih lengkap ajari menyalurkan tenaga dalam ke telapak tangannya. Jika ia cerdas bisa melatihnya melakukan serangan tanpa sentuhan wadag lawannya."
"Baik guru."
Esoknya Sembada melaksanakan perintah gurunya. Menambah bekal adik seperguruannya ilmu serangan. Â Ia suruh Sawung Kuning melakukan gerak tertentu berulang-ulang sambil menyalurkan tenaga dalam. Sebelah beberapa kali ulangan ia hentikan.
"Apa yang kamu rasakan ?" Tanyanya kepada Sawung Kuning.
"Ada getaran lembut keluar dari jantungku kakang." Jawab Sawung Kuning.
"Jika demikian mari kita ke sungai."
Mereka berdua berjalan beriringan ke sungai. Mencari tempat yang paling banyak bebatuannya.
"Coba kau lakukan lagi gerak tadi dengan konsentrasi lebih dalam. Jika muncul getaran salurkan ke telapak tangan, dan hantamkan pada batu yang paling besar itu."
"Baik kakang"
Sawung kuning lantas menjalankan perintah kakak seperguruannya. Â Saat muncul getaran dari jantung, segera ia salurkan ke tangannya. Kemudian dengan penuh konsentrasi ia hantamkan tangannya ke sebuah batu terbesar di tempat itu. Terdengar sebuah ledakan. Batu itu pecah dan ambyar menjadi sekepal sekepal tangan.
Sawung Kuning heran dan takjub. Sama sekali tak terasa tangannya sakit. Namun dari tangan itu seolah keluar palu godam yang bisa menhancurkan batu keras dan besar di dekatnya.
"Sekarang niatkan melontarkan getaran itu ke arah batu itu"
"Baik kakang"
Sawung Kuning jalankan perintah kakaknya. Dan ternyata dengan lontaran ilmu jarak jauh iapun dapat memecahkan batu.
"Nah, kau dapat melatihnya lebih keras lagi. Agar pecahan batunya tidak berbongkah bongkah seperti itu, tapi lembut seperti tepung"
"Bisakah itu ?"
"Bisa. Lihat !"
Sembada berdiri. Sekejap saja tangannya telah bergerak melontarkan daya sakti aji Tapak Naga Angkasa. Batu yang dikenainya hancur menjadi debu.
Sawung  Kuning benar benar melongo menyaksikan kedahsyatan ilmu kakak seperguruannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H