Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 18: Perang di Padang Ilalang (Cersil STN)

29 Maret 2024   08:05 Diperbarui: 2 Juni 2024   22:45 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terdengar dengung suara panah sendaren membelah langit kademangan Majaduwur dua kali berturut turut.  Itu pertanda bahwa pasukan musuh sudah bergerak hendak menghancurkan kademangan itu. Isyarat itu dikirim dari para telik sandi yang bertugas mengamati pergerakan pasukan lawan.

Sebentar kemudian seekor kuda melesat lari menuju induk kademangan.  Di atas punggung kuda itu seorang lelaki membungkukkan badannya, hingga menempel punggung binatang itu.  Kaki dan tangannya yang bercambuk memukul mukul perut dan paha kuda, agar binatang itu meningkatkan larinya lebih kencang lagi.

"Hayo kenapa kau jadi malas, lambat sekali. Hiya hiya hiya"

Lelaki di punggung kuda itu adalah penghubung yang bertugas menyampaikan berita dari para telik sandi yang mengamati pasukan lawan dengan para pimpinan di induk kademangan. Ia rupanya tidak telaten dengan kecepatan lari kudanya, seolah olah kuda yang telah melesat cepat itu masih lamban larinya.

"Hiya hiya hiya"

Penghubung itu terus berusaha mempercepat lari kudanya, binatang itupun berlari demikian pesatnya.  Seolah seperti bayangan tak kasat mata membelah gelapnya malam.

"Hiya hiya hiyaaa"

Suara kaki kuda itu berdentang dentang memecah sepinya malam. Setiap melewati gardu perondan ia selalu berpesan sambil tetap melarikan kudanya seperti angin.

"Bersiaplah musuh sebentar lagi datang"

"Kami sudah siap" demikian jawaban setiap pengawal di semua gardu perondan.

Penghubung itu terus memacu kudanya.  Sebentar kemudian ia telah sampai di depan regol balai kademangan.  Ia membelokkan kudanya memasuki regol itu dan melarikannya terus membelah alun alun halaman kademangan. Nampak bayangan hitam berdiri berderet berjajar di balai kademangan, membelakangi beberapa obor yang menyala terang.

Orang orang yang berdiri berjajar itu adalah para pimpinan pasukan pengawal kademangan Majaduwur.  Setelah mereka mendengar derap kaki seekor kuda segera mereka keluar dari pendapa dan berdiri berjajar di depan pendapa itu untuk menjemput berita apa yang telah berkembang.

Penghubung itu segera menarik tali kekang kudanya.  Kuda itu mendadak berdiri mengangkat kedua kaki depannya.  Setelah kaki itu kembali ketanah penghubung itu meloncat turun. Seorang pengawal bergegas meminta tali kuda itu, dan menyilahkan penghubung itu segera melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya.  Lelaki itu bergegas menghadap pimpinan pengawal.

"Panggah, berita apa yang kau bawa. Segera katakan "

"Baik ki demang.  Pasukan lawan telah keluar dari regol desa Sambirame. Saya kebetulan melihat langsung bersama telik sandi beberapa langkah dari regol itu"

"Seberapa besar kekuatan mereka."

"Jauh lebih besar dari pasukan yang dulu pernah menyerang kita, kira kira lima kali lebih besar. Ki Demang" jawab penghubung itu.

"Gila. Gagakijo memang gila.  Rupanya ia memang ingin merebut kademangan kita." Desah ki demang.

"Ketika kau kemari, sudahkah pasukan itu dipecah ? Sayap sayapnya sudah berpisah dengan induk pasukan ?." Tanya Sambaya pemimpin pengawal dusun Majalegi.

"Belum Sambaya.  Aku yakin mereka tidak akan memecah pasukan mereka. Pasukan itu bersama-ama akan masuk dusun Wanaasri. Melibas dusun itu dan memakainya sebagai pangkalan.  Barulah jika Wanaasri dapat direbut mereka akan menghadapi induk pasukan kita dari beberapa penjuru."

"Siapakah pimpinan pengawal yang bertugas di sana?" Tanya ki demang.

"Kakak beradik Palguna dan Palgunadi ayah. Mereka hanya membawa seratus pengawal." Kata Handaka.

"Kalau begitu kita hadang pasukan musuh di bulak panjang sebelah barat dusun Wanaasri.  Di sana ada lapangan ilalang yang akan kita jadikan medan."

"Kami setuju ki demang, kita bisa mendahului sampai di padang itu" kata Sambaya.

"Jika demikian sisakan sepertiga dari masing masing kelompok pasukan sebagai cadangan. Mereka harus menjaga kademangan induk, dan segera siap maju ke medan jika dibutuhkan" kata ki demang.

"Baik ki demang" hampir berbareng semua pimpinan pengawal menjawab.

Sebentar kemudian terdengar suara genderang dan terompet ramai dibunyikan, iramanya menggelora penuh semangat. Suara itu seperti menghipnotis pasukan yang lain, masing masing pengawal dalam pasukan itu darahnya seperti deras mengalir.  Tiba tiba mereka menegakkan badan dan membusungkan dada, dan berjalan tegap dan serempak dengan gagahnya.

Seperti seekor naga yang berjalan dengan marah, rombongan pasukan itu berbaris panjang, berjalan membelah persawahan menuju dusun Wanaasri.

Kala itu Sembada tetap tinggal di kademangan. Dia termasuk dalam kelompok pengawal cadangan.  Kini ia ditugaskan dalam gardu peronda di ujung selatan.

"Bolehkah aku permisi pulang dulu, menengok simbokku." Tanya Sembada kepada pemimpin regunya.

"Boleh asal jangan sampai hingga tengah malam kau baru kembali."

"Tentu tidaklah kawan, kecuali ada halangan yang tak dapat aku tanggulangi."

"Ya sudah sana pergi sana"

Sembada bergegas pergi.  Namun itu semua hanya alasan bagaimana agar dirinya bisa lepas dari pengamatan kawannya. Karena ia justru ingin melihat medan di mana bakal terjadi pertempuran di barat dusun Wanaasri.

Setelah berganti pakaian hitam hitam dan menutup mukanya dengan ikat kepalanya, Sembada segera berlari dengan ilmu peringan tubuhnya ke dusun Wanaasri.

Di tanah lapang yang ditumbuhi ilalang di barat dusun Wanaasri telah berhadapan dua pasukan. Di sebelah timur pasukan pengawal kademangan Majaduwur telah menyusun formasi barisan dengan gelar Garuda Nglayang.  Paruh garudanya adalah ki demang Sentika, yang juga memimpin induk pasukan.  Sayap kanan Handaka dan Sekarsari jadi senapatinya.  Sedangkan di sayap kiri di bawah pimpinan Sambaya dibantu Kartika.

Di sebelah barat pasukan Gagakijo sama sekali tak peduli dengan gelar perang.  Mereka bergerombol gerombol menurut asal desa mereka.  Sudah lajim bagi mereka bertempur tanpa aturan.  Masing masing dapat berbuat sekehendak hati mereka.

Sembada menyaksikan dua pasukan yang berhadapan itu di atas sebuah pohon.  Matanya yang tajam sudah dapat melihat bahwa terdapat selisih jumlah yang besar antara kedua pasukan.  Jika seluruh pasukan kademangan dibawa baru keadaan mereka seimbang.

Namun Sembada yakin perbedaan jumlah itu tidak begitu menentukan kemenangan.  Sembada tahu kemampuan pengawal kademangan, mereka tidak kalah dengan anak buah Gagakijo.

Beberapa obor menerangi medan.  Kedua pasukan telah mempersiapkan alat penerang itu dengan baik.  Tentu mereka tidak ingin senjata mereka justru melukai kawan sendiri.

Pasukan Gagakijo merangsek maju, ketika jaraknya sudah dekat seseorang mengangkat tangan sambil berteriak

"Berhenti dulu.  Aku ingin bertemu demang Sentika" ternyata orang itu adalah Gagakijo.

"Buat apa ki lurah.  Kami sudah tak sabar melibas mereka."

"Diam kau.  Kalian tinggal jalankan perintah."

Kemudian Gagakijo maju sendirian beberapa puluh langkah ke depan. Di antara pasukan lawan muncul pula orang gagah tinggi besar maju ke depan.  Ia adalah demang Sentika.

"Demang Sentika aku akan mengurungkan penyerangan ini jika kau mau menyerahkan orang yang membawa cambuk pusaka Nagageni."

"Jangan mengigau Gagakijo, kita sudah berhadapan. Tak ada orang di kademanganku yang memiliki pusaka itu. Kau jangan mengada ada, jika kau sudah merasa siap aku akan mulai."

"Syetan alas kau Sentika.  Jangan bikin kesabaranku habis.  Pasukanku jauh lebih banyak dari pasukanmu.  Dalam sekejab pasukanmu akan terlibas."

"Jangan banyak bicara, buktikan saja ucapanmu." Demang Sentika mengangkat tangan, tanda ia akan menggerakkan pasukannya.

Gagakijo buru-buru melangkah mundur dan berbalik untuk bergabung dengan pasukannya.

Sebentar kemudian terdengar sorak membahana dari mulut setiap orang dalam kedua pasukan itu.

"Serangggg, hancurkan !!!!"

Setiap orang dari kedua pasukan itu meloncat berlari dan mengacung acungkan senjata mereka di atas kepala.

"Babat habis pengawal kademangan Majaduwur."

"Musnahkan para perusuh kademangan kita, hayo maju."

Sebentar kemudian dua pasukan telah bertemu.  Dengan bernafsu mereka menggerakkan senjata  menyerang musuh. Teriakan, makian, umpatan dan jerit kesakitan berbaur jadi satu di medan yang baru saja menyala itu.

Dentang senjata beradu terdengar di mana-mana.  Demang Sentika masih berdiri di tempatnya mengawasi anak buahnya berlaga menyabung nyawa.  Kekuatan lawan cukup besar, dan ini tak bisa disepelekan.

Ia lihat pasukan di sayap kanan.  Handaka dan Sekarsari juga sudah bertempur melawan musuh berpakaian kulit harimau. Mereka agaknya juga berpasangan, Macan Belang suami isteri.

"Apakah kau mengkhawatirkan anakmu ? Ia lolos dari tanganku di hutan Waringin Soban.  Namun kali ini mereka akan dicekik Macan Belang suami isteri."  Kata Gagakijo yang ternyata sudah berdiri di dekatnya.

"Anak tunggalmu dan calon menantumu pasti mampus melawan dua macan ganas itu. Ahli warismu akan musnah, tak perlu kau pertahankan kademangan Majaduwur." teman Gagakijo menimpali.  Lelaki itulah yang dikenal banyak orang bernama Landak Abang.

Demang Sentika tersenyum. Kini ia mengalihkan perhatiannya kepada dua orang tokoh golongan hitam yang banyak ditakuti orang.  Keduanya rupanya ingin mengeroyoknya dalam pertempuran di padang ilalang ini.

"Kenapa aku repot-repot mencemaskan anak dan calon menantuku. Keduanya sudah aku bekali bagaimana menangkap dua harimau tua yang sakit-sakitan itu. Biarlah mereka berjuang sendiri, menjerat leher sepasang macan ompong yang tak berarti itu." jawab demang Sentika tenang.

"Haha jangan menutupi kecemasanmu Sentika. Suaramu terasa bergetar, pertanda hatimu dilanda rasa khawatir. Apalagi kini kami berdua akan mencincangmu di padang ilalang ini. Mayatmu akan aku tinggalkan untuk santapan anjing-anjing liar." kata Gagakijo.

"Aku bukan anak kecil yang gampang ketakutan  mendengar ancaman. Apalagi ancaman mulut gagak kerdil seperti dirimu."

"Syetan alas. Bersiaplah menjemput ajalmu. "

Demang Sentika segera mempersiapkan diri melawan dua gembong golongan hitam itu.

"Hyaaat"  sambil berteriak Gagakijo membuka serangan. Ia meloncat dan mengarahkan tendangan kakinya ke dada demang Sentika.

Demang itu menggeser kakinya kekanan sambil merunduk, kemudian meloncat membalas dengan tendangan sabit menghantam lambung Gagakijo.  Gagakijo sama sekali tidak menyangka bahwa demang yang sudah cukup tua itu masih lincah dan cekatan geraknya.

Untuk menghindari sabitan kaki itu Gagakijo justru meloncat tinggi ke depan kemudian menjatuhkan diri dengan punggungnya, lantas bergulung dan melompat bangkit.

Saat demang Sentika mengawasi Gagakijo melepaskan diri dari serangannya, Landak Abang dari samping melandanya dengan pukulan tangan.  Namun dengan gerak sederhana demang yang telah kenyang makan garam itu dapat menghindarinya.  Bahkan telapak tangannya sempat menghantam pundak Landak Abang.

"Syetan, demit thethekan kau demang Sentika." umpat Landak Abang marah.

Demang Sentika tersenyum. Ia senang lawannya terbakar amarah. Dengan demikian kewaspadaan mereka akan berkurang.

Sejenak kemudian pertempuran demang Sentika yang dikerubut Gagakijo dan Landakabang itu bertambah sengit. Lingkaran pertempuran itu kian lama kian meluas.  Para pengawal dan anak buah dua pemimpin gerombolan itu tak berani mendekati arena pertempuran mereka.

Sementara itu Handaka dan Sekarsari sedang bertempur dengan Macan Belang suami isteri.  Awalnya muda-mudi dari Majaduwur itu agak terdesak. Mereka belum menyadari bahwa jari jari tangan lawannya yang bersalut besi runcing itu sangat membahayakan mereka. Pada hakekatnya dua macan itu telah bersenjata sejak awal tertempur.

"Sari ambil pedangmu !!! Mereka melengkapi jari-jarinya dengan salutan logam runcing yang berbahaya." Teriak Handaka mengingatkan calon isterinya.  Ia sendiri segera mencabut pedang untuk melawan macan ganas itu.

Sekarsari segera mencabut pedangnya.  Mereka berdua kini dapat melakukan perlawanan dengan lebih mantap. Tidak terus mundur dan menghindar dari cakaran jari jari bersalut logam tajam dari sepasang macan ganas itu.

Bahkan dengan pedang di tangannya Sekarsari seperti seekor garuda ganas menyerang lawannya. Tenaga dan kecepatannya bergerak benar benar telah mengejutkan, tidak hanya terhadap lawan lawannya, namun juga bagi Handaka.

Namun sepasang macan itu juga tokoh- tokoh yang berilmu tinggi.  Pengalaman mereka juga sudah banyak di dunia kekerasan.  Mereka pernah menghadapi berbagai tokoh sakti. Maka menghadapi perkembangan saat itu mereka tidak berkecil hati.

"Kau kesurupan syetan dari mana anak manis.  Tandangmu benar benar mengejutkan kami." kata Macan Belang betina.

"Jangan banyak bicara, sebentar lagi kalian akan mampus"

"Benarkah ?"

Sekarsari terus menggerakkan pedangnya dengan cepat dan ganas.  Meski semua jari di kedua tangan bersalut logam, namun kedua macan itu tak berani menahan ayunan pedang. Mereka terpaksa harus menghindar jika itu mengancam mereka.

Tiba tiba terdengar suitan dari mulut Macan Belang jantan, sebentar kemudian muncul dua orang bersenjata pedang menyerang Sekarsari. Gadis itu waspada, dengan lincah dan gesitnya gadis itu melibat lawan lawannya dengan serangan yang  lebih ganas lagi.

Sementara itu di sayap kiri Sambaya dan Kartika telah menghadapi lawan yang seimbang.  Sambaya harus bertempur dengan Wadasgempal, sementara Kartika harus bekerja keras menundukkan keliaran Trembolo.  Mereka adalah anak buah terpercaya Gagakijo.

Mereka bertempur makin lama semakin sengit. Saling desak mendesak bergantian. Keempat orang itu memiliki kemampuan yang seimbang.

Ketika para pemimpin pasukan pengawal kademangan Majaduwur telah mendapatkan lawan yang seimbang, tidak demikian bagi anak buah mereka. Jumlah lawan yang berlebih memaksa mereka berhadapan dengan lebih dari seorang. Bahkan ada yang harus melawan tiga orang dari gerombolan golongan hitam yang ganas dan liar.

Di atas pohon Sembada menyaksikan itu dengan hati yang berdebar debar. Setapak demi setapak pasukan pengawal terdesak mundur, jika tidak segera dibantu pasukan cadangan keadaannya sangat berbahaya.

Sembada berpikir keras, apa yang mesti ia lakukan.  Satu satunya jalan ia harus menyamar dan melumpuhkan lawan sebanyak banyaknya.

Sejenak kemudian terdengar sorak sorai pasukan lawan di induk pasukan yang tengah seru bertempur.

"Ki demang terluka ki demang terluka.  Sebentar lagi pasti mampus"

Sembada yang pendengarannya tajam segera menyadari bahaya itu.  Ia kemudian meloncat turun, dan dengan ilmu peringan tubuhnya ia terjun ke medan pertempuran. Suara cambuknya yang meledak-ledak mengagetkan kawan dan lawan.

Apalagi bagi anak buah gerombolan yang berhadapan dengan pemuda itu, mereka merasakan hawa yang mengerikan sekali. Sekali meledak cambuk itu membawa korban. Tentu ada bagian tubuh lawannya sobek, terpental atau senjata terlepas dari tangan. 

Mereka berusaha mengurung pemuda itu dengan kepungan bersenjata.  Namun dengan ringannya pemuda itu melenting dan terlepas dari kepungan.  Sembada seperti terbang menjelajahi semua medan.  Mulai dari sayap kiri hingga sayap kanan.

Ki demang yang menyaksikannya sambil bertempur benar benar merasa heran. Kemampuan pemuda itu ternyata jauh dari perkiraannya.  Ia benar benar titisan pendekar legendaris Kidang Gumelar.  Kemampuan mereka berdua benar-benar tak dapat dijajagi lagi.

Handaka yang juga menyaksikan manusia bercambuk itu berlaga benar benar takjub.  Bermimpipun tak pernah diangankan bahwa ada orang yang dapat melontarkan diri dengan ringannya, berpindah tempat ketempat lain di medan perang dengan gampangnya. Ia terbang laksana burung di antara ribuan capung.

Orang yang paling terkejut adalah Sekarsari. Seolah olah ia melihat kembali orang yang mempermalukannya di balik gumuk kecil di perbatasan kademangan Majaduwur. Begitu melihat tingkat ilmunya kini ia benar benar malu, telah berani menyombongkan diri menantangnya berkelahi. Ternyata ilmu orang itu benar benar tak tergapai, rangkap sepuluhpun ia tidak akan menang melawannya.

Sambaya dan Kartika demikian pula.  Keduanya menyaksikan dengan mulut menganga.  Namun keduanya memiliki praduga yang sama, bahwa pemuda bercambuk itu adalah Sembada. Perawakanya sama dengan perawakan Sembada, gerak geriknya juga sama dengan gerak gerik pemuda yang ia kenal itu. Namun mereka sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda yang usianya sama dengan mereka memiliki kemampuan ilmu kanuragan yang tinggi.

Pemimpin gerombolan yang menyerang kademangan Majaduwurlah yang sangat marah.  Gagakijo merah matanya, Landakabang mengkerut-kerutkan giginya, demikian pula Macan Belang suami isteri. Mereka mengumpat-umpat dalam hati. Pendatang baru itu benar benar meresahkan hati mereka. Perlawanan berkelompok mereka tidak berarti apa apa bagi orang bercambuk itu.

Gagakijo bersuit dua kali, sepuluh orang anak buahnya datang menghadap dengan tergesa gesa.

"Tangkap dan cincang demang Sentika. Aku dan Landakabang akan menangkap syetan bercambuk itu" demikianlah perintah Gagakijo. Kemudian ia melesat pergi bersama Landakabang memburu orang bercambuk yang telah memporakporandakan anak buahnya.

Namun tidak mudah bagi dua tokoh hitam itu untuk mendekati Sembada.  Mereka  harus bersusah payah menyibak dua pasukan yang bertempur. Sementara dengan ilmu peringan tubuhnya sembada bisa berpindah-pindah dengan cepatnya.

"Syetan alas, benar benar anak demit pendekar bercambuk ini" umpat Gagakijo.  Mereka merasa dibikin kerepotan oleh pendatang tak diundang itu. 

Namun kedua orang itu tidak patah semangat, karena wajib bagi mereka untuk menangkap perusak barisan perjuangan mereka.  Jika tidak pasukannya akan berantakan dan lari kocar kacir tak terkendali.

Ketika Gagakijo dan Landakabang berhasil mendekati Sembada, dari jarak tertentu keduanya bersamaan melontarkan pisau ke arah pemuda itu saat ia melenting tinggi.

Namun Sembada waspada ada serangan padanya yang berbahaya. Desing dua pisau yang membelah udara malam itu terdengar jelas tertangkap indera pendengarannya yang tajam. Sambil berjumpalitan di udara cambuknya bergerak cepat menghalau dua pisau itu hingga terpental jauh dari arena perang.

"Iblis !!!"  unpat Landakabang karena gagal serangannya.

"Hai, manusia bercambuk hentikan aksimu, hadapi kami berdua syetan" lanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun