"Kakak beradik Palguna dan Palgunadi ayah. Mereka hanya membawa seratus pengawal." Kata Handaka.
"Kalau begitu kita hadang pasukan musuh di bulak panjang sebelah barat dusun Wanaasri. Â Di sana ada lapangan ilalang yang akan kita jadikan medan."
"Kami setuju ki demang, kita bisa mendahului sampai di padang itu" kata Sambaya.
"Jika demikian sisakan sepertiga dari masing masing kelompok pasukan sebagai cadangan. Mereka harus menjaga kademangan induk, dan segera siap maju ke medan jika dibutuhkan" kata ki demang.
"Baik ki demang" hampir berbareng semua pimpinan pengawal menjawab.
Sebentar kemudian terdengar suara genderang dan terompet ramai dibunyikan, iramanya menggelora penuh semangat. Suara itu seperti menghipnotis pasukan yang lain, masing masing pengawal dalam pasukan itu darahnya seperti deras mengalir. Â Tiba tiba mereka menegakkan badan dan membusungkan dada, dan berjalan tegap dan serempak dengan gagahnya.
Seperti seekor naga yang berjalan dengan marah, rombongan pasukan itu berbaris panjang, berjalan membelah persawahan menuju dusun Wanaasri.
Kala itu Sembada tetap tinggal di kademangan. Dia termasuk dalam kelompok pengawal cadangan. Â Kini ia ditugaskan dalam gardu peronda di ujung selatan.
"Bolehkah aku permisi pulang dulu, menengok simbokku." Tanya Sembada kepada pemimpin regunya.
"Boleh asal jangan sampai hingga tengah malam kau baru kembali."
"Tentu tidaklah kawan, kecuali ada halangan yang tak dapat aku tanggulangi."