"Ya sudah sana pergi sana"
Sembada bergegas pergi. Â Namun itu semua hanya alasan bagaimana agar dirinya bisa lepas dari pengamatan kawannya. Karena ia justru ingin melihat medan di mana bakal terjadi pertempuran di barat dusun Wanaasri.
Setelah berganti pakaian hitam hitam dan menutup mukanya dengan ikat kepalanya, Sembada segera berlari dengan ilmu peringan tubuhnya ke dusun Wanaasri.
Di tanah lapang yang ditumbuhi ilalang di barat dusun Wanaasri telah berhadapan dua pasukan. Di sebelah timur pasukan pengawal kademangan Majaduwur telah menyusun formasi barisan dengan gelar Garuda Nglayang. Â Paruh garudanya adalah ki demang Sentika, yang juga memimpin induk pasukan. Â Sayap kanan Handaka dan Sekarsari jadi senapatinya. Â Sedangkan di sayap kiri di bawah pimpinan Sambaya dibantu Kartika.
Di sebelah barat pasukan Gagakijo sama sekali tak peduli dengan gelar perang. Â Mereka bergerombol gerombol menurut asal desa mereka. Â Sudah lajim bagi mereka bertempur tanpa aturan. Â Masing masing dapat berbuat sekehendak hati mereka.
Sembada menyaksikan dua pasukan yang berhadapan itu di atas sebuah pohon. Â Matanya yang tajam sudah dapat melihat bahwa terdapat selisih jumlah yang besar antara kedua pasukan. Â Jika seluruh pasukan kademangan dibawa baru keadaan mereka seimbang.
Namun Sembada yakin perbedaan jumlah itu tidak begitu menentukan kemenangan. Â Sembada tahu kemampuan pengawal kademangan, mereka tidak kalah dengan anak buah Gagakijo.
Beberapa obor menerangi medan. Â Kedua pasukan telah mempersiapkan alat penerang itu dengan baik. Â Tentu mereka tidak ingin senjata mereka justru melukai kawan sendiri.
Pasukan Gagakijo merangsek maju, ketika jaraknya sudah dekat seseorang mengangkat tangan sambil berteriak
"Berhenti dulu. Â Aku ingin bertemu demang Sentika" ternyata orang itu adalah Gagakijo.
"Buat apa ki lurah. Â Kami sudah tak sabar melibas mereka."