"Musnahkan para perusuh kademangan kita, hayo maju."
Sebentar kemudian dua pasukan telah bertemu.  Dengan bernafsu mereka menggerakkan senjata  menyerang musuh. Teriakan, makian, umpatan dan jerit kesakitan berbaur jadi satu di medan yang baru saja menyala itu.
Dentang senjata beradu terdengar di mana-mana. Â Demang Sentika masih berdiri di tempatnya mengawasi anak buahnya berlaga menyabung nyawa. Â Kekuatan lawan cukup besar, dan ini tak bisa disepelekan.
Ia lihat pasukan di sayap kanan. Â Handaka dan Sekarsari juga sudah bertempur melawan musuh berpakaian kulit harimau. Mereka agaknya juga berpasangan, Macan Belang suami isteri.
"Apakah kau mengkhawatirkan anakmu ? Ia lolos dari tanganku di hutan Waringin Soban. Â Namun kali ini mereka akan dicekik Macan Belang suami isteri." Â Kata Gagakijo yang ternyata sudah berdiri di dekatnya.
"Anak tunggalmu dan calon menantumu pasti mampus melawan dua macan ganas itu. Ahli warismu akan musnah, tak perlu kau pertahankan kademangan Majaduwur." teman Gagakijo menimpali. Â Lelaki itulah yang dikenal banyak orang bernama Landak Abang.
Demang Sentika tersenyum. Kini ia mengalihkan perhatiannya kepada dua orang tokoh golongan hitam yang banyak ditakuti orang. Â Keduanya rupanya ingin mengeroyoknya dalam pertempuran di padang ilalang ini.
"Kenapa aku repot-repot mencemaskan anak dan calon menantuku. Keduanya sudah aku bekali bagaimana menangkap dua harimau tua yang sakit-sakitan itu. Biarlah mereka berjuang sendiri, menjerat leher sepasang macan ompong yang tak berarti itu." jawab demang Sentika tenang.
"Haha jangan menutupi kecemasanmu Sentika. Suaramu terasa bergetar, pertanda hatimu dilanda rasa khawatir. Apalagi kini kami berdua akan mencincangmu di padang ilalang ini. Mayatmu akan aku tinggalkan untuk santapan anjing-anjing liar." kata Gagakijo.
"Aku bukan anak kecil yang gampang ketakutan  mendengar ancaman. Apalagi ancaman mulut gagak kerdil seperti dirimu."
"Syetan alas. Bersiaplah menjemput ajalmu. "