"Persetan. Â Apa peduliku dengan sikap yang cengeng itu. "
Lelaki berbaju serba hitam dan bertutup wajah segera menyerang Sembada. Â Gerakannya cepat keras dan mantap. Sambaran tangannya diikuti suara angin yang menderu. Sembada segera membangkitkan tenaga dalamnya untuk melindungi tubuhnya dari setiap sambaran tangan lawannya.
Sembada masih mencoba berhati-hati  untuk melakukan perlawanan sepenuhnya.  Namun lawannya seolah sudah tidak mengekang dirinya lagi.  Ia hujani Sembada dengan serangan-serrangan dahsyat yang mematikan.
Namun beberapa lama mereka bertempur belum satupun yang berhasil mengenai lawannya. Â Sambaran tangan dan tendangan senantiasa bisa dihindari dengan baik oleh lawannya. Â Hingga keduanyapun meningkatkan tenaga cadangan mereka masing-masing.
Pertempuran kian bertambah seru. Â Keduanya bergerak seperti bayangan burung sikatan yang saling menyambar. Â Tanah di bawah mereka seperti teraduk oleh angin lesus yang mengamuk. Â Bebatuan terlontar dari tempatnya.
Hingga akhirnya bayangan serba hitam itu melontar mundur, ketika ia berdiri dengan kokohnya di atas tanah, ditangannya telah tergenggam sebilah keris yang menyala. Â Sembada termangu-mangu melihat pemandangan itu. Â Akankah ia harus mengeluarkan cambuknya ?
"Ambil senjatamu jika kau membawanya."
"Kita tidak punya persoalan apapun, kenapa kita bertempur mempertaruhkan nyawa "
"Tidak ada persoalan menurutmu. Â Menurutku ada segunung persoalan di antara kita."
Sembada mengeluarkan cambuk dari balik bajunya. Â Melihat benda itu nampak bayangan hitam itu terkejut. Â Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Â Ia akan melakukan serangan habis-habisan, untuk mengetahui seberapa tinggi ilmu pemuda itu.
Sejenak kemudian kembali terjadi pertempuran yang seru. Bahkan lebih dahsyat dari sebelumnya. Â Kini sebuah keris yang menyala-nyala bergerak-gerak dengan cepatnya di antara putaran dan ledakan cambuk yang keras seperti petir. Keduanya berganti-ganti desak mendesak.