Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 14. Jual Kayu Bakar (Cersil STN)

24 Maret 2024   17:30 Diperbarui: 3 Juni 2024   10:26 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sembada sempat mendengar simboknya bersenandung.  Ia kenal syair tembang yang dalam masyarakat Jawa dikenal sebagai pupuh Pucung.  Satu bait di antara tembang-tembang Jawa yang jumlahnya ribuan.  Ia pernah baca di kitab sastra gurunya.

Ia lantas duduk tepekur.  Sambil mendekap kedua lututnya. Sudah lama ia tinggal di rumah Mbok Darmi di dusun Majalegi. Bagian dari Kademangan Majaduwur yang ternyata wilayahnya sangat luas.  Namun satupun belum ia kenal keluarga Ki Demang.  Ia baru kenal nama demang itu, namun belum pernah melihat wajahnya.

Kedatangan Sambaya dan Kartika mengingatkan dirinya peristiwa di hutan Waringin Soban.  Tenyata rombongan orang berkuda itu datang dari Kademangan Majaduwur.  Siapakah pemuda gemuk pendek yang kurang senang terhadap campur tangannya dalam pertempuran itu ?  Ia tidak tahu.  Dan gadis itu, apakah benar ia Sekarsari yang dicarinya.  Sebagaimana perintah gurunya.

"Aku merasa pernah dekat dengan gadis itu.  Saat ia memandangku agak lama di depan kedai.  Bisa jadi iapun terusik oleh ingatannya, pernah mengenalku di suatu tempat. Jika benar ia Sekarsari, lantas bagaimana cara menyatakan diriku sebagai Sembada, anak pamomongnya dulu di katumenggungan ?"

Sembada terus berpikir dan berpikir.   Ia harus mencari cara bagaimana berhubungan dengan keluarga orang tertinggi di kademangan itu.

Ia tersenyum setelah mendapatkan akal bagimana cara ia mengenal keluarga demang Majaduwur itu.  Ia lantas bangkit dan pergi ke pakiwan.  Setelah mandi segera ia ambil bambu yang biasa ia pakai sebagai pikulan.  Sebilah parang ia ambil dalam slempitan dinding bambu dapur.   Kemudian ia pergi untuk melaksanakan rencananya.  Di kepalanya bertenger caping bambu tua dan bolong-bolong.

Ternyata Sembada pergi ke hutan mencari kayu bakar. Sebagian kayu bakar di rumah dibeli oleh tetangganya.  Baru ia ingat bahwa keluarga demangpun tentu juga membutuhkan kayu bakar pula.  Dari sanalah ia akan kenal orang-orang dapur kademangan.Ketika hendak memasuki hutan di sebelah barat desa induk kademangan Majaduwur, Sembada melihat seorang setengah tua tengah menyabit rumput.  Ia hampiri orang tua itu, dan duduk di sebuah batu dekat penyabit rumput itu.

"Ternaknya banyak Pak.  Keranjangnya besar sekali."

"Hanya buruh cari rumput, Le. "

"Untuk makanan apa Pak, sapi atau kerbau ? "

"Enam ekor kuda.  Milik majikan saya, ki demang Sentika."

"Kuda ki demang.  Banyak sekali kudanya. "

"Anaknya penggemar kuda.  Jika ia lihat ada kuda bagus, pasti ingin membelinya. Dulu sampai sepuluh ekor.  Aku sendirian mencari rumput.  Benar-benar melelahkan."

"Jika membutuhkan tenaga baru, aku mau juga jadi pekatiknya."

"Hahahaha, ya biar aku punya teman untuk merawat kuda-kuda ki demang."

"Tapi aku tidak berani menghadap beliau."

"Kenapa takut.  Datang saja dan memohon jadi pekatiknya. Biar kita bisa bergantian cari rumput.  Setiap hari tanpa libur kadang aku juga merasa tertekan. "

"Kapan-kapa saja.  Aku cari kayu bakar dulu.  Mari Pak."

"Ya, selamat kerja."

Sembada beranjak dari atas batu tempat ia duduk bercakap-cakap dengan pekatik ki demang Majaduwur.   Ia lantas masuk hutan mencari kayu-kayu yang kebetulan telah tumbang atau patah cabangnya.  Sebentar saja ia kerja sudah dua bongkok besar ia dapatkan.

Dengan pikulan dari bambu ia membawa dua bongkok kayu keluar hutan.  Pekatik ki demang ternyata sudah pulang juga.  Ia sudah tidak ada di tempatnya.  Sembada terus berjalan.

Dengan sengaja ia melewati jalan menuju induk kademangan. Ia ingin menawarkan dua bongkok kayunya kepada keluarga ki demang.

Ketika melewati sebuah bale kademangan Sembada melihat beberapa pengawal tengah berjaga-jaga di sana.  Merupakan suatu kebiasaan bahwa pusat-pusat pemerintahan selalu terjaga keamanannya.  Ia bertanya kepada seseorang yang hendak masuk ke halaman balai kademangan.

"Maaf Ki sanak.  Boleh aku bertanya sedikit.  Di mana rumah Ki Demang Majaduwur.?"

Orang itu memandang Sembada sejenak.  Ia heran, ada seorang pemuda yang tampan dan gagah memikul kayu, tidak tahu rumah ki demang.

"Kamu dari mana anak muda ? "

"Dari dusun Majalegi.  Tapi kami orang baru di sana.  Saya anak sulung Mbok Darmi."

"Mbok Darmi dari Majalegi ?  Bukankah anak lelakinya sudah meninggal ?"

"Itu adik saya.  Saya anak sulung dengan suami yang pertama."

"Wooo, ternyata Mbok Darmi pernah menikah ta, dan punya anak setampan kamu."

"Iya.  Aku anak pertamanya."

"Rumah Ki Demang itu, yang di depannya ada pohon beringin itu.  Masuk saja pintu dekat pohon beringin itu, kau sudah ada di halaman luas rumah Ki demang."

"Terima kasih ki sanak."

Sembada melanjutkan jalannya memikul dua bongkok kayu.  Orang yang ditanyai Sembada mengawasinya sejenak, hatinya masih terpana dan heran.  Pemuda setampan dan segagah dia lebih pantas jadi anggota pengawal kademangan, bisiknya dalam hati.

Ketika telah masuk pintu depan halaman rumah ki demang, Sembada melihat rumah joglo besar sekali.  Di depan bangunan berbentuk joglo, terdapat balai yang cukup luas berbentuk limasan.  Beberapa pohon buah-buahan nampak hijau dan rindang di depan rumah itu.

Sembada berjalan mengarah bangunan sebelahnya.  Pasti itu bagian dapur rumah itu.  Setelah di depan pintu bangunan itu ia berhenti.  Menurunkan bebannya di tanah, kemudian ia menawarkan kayunya.

"Kula nuwun, Mau beli kayu Nyai..."  Demikian ia berteriak berulang-ulang.

Seorang gadis berkebaya dan berjarit panjang dengan sanggul rambut di atas kepala keluar dari pintu dapur.  Lehernya yang jenjang dan kulit kuningnya nampak bersinar tertimpa cahaya matahari.  Sembada sedikit terpana.  Ia mengenali gadis itu di hutan Waringin Soban.

Sembada menarik caping bambunya ke bawah untuk menutupi wajahnya agar tidak dikenali gadis itu.

"Iya Kang.  Aku beli kayumu. "  Kata gadis itu setelah dekat.

"Tapi masih basah ini.  Belum bisa langsung dipakai sebagai kayu bakar."

"Di jemur dululah Nyai."

"Aku masih perawan, panggil aku Ni Sekar.  Namaku Sekarsari."

Sembada sedikit kaget.  Ia melirik wajah gadis itu, barulah ia ingat bahwa perasaan pernah dekat dengan gadis itu benar adanya.  Ia inilah gadis putri Ki Temenggung Gajah Alit yang diselamatkan pamannya sendiri saat perang besar terjadi.  Ki Demang adalah kakak ibunya Sekarsari.

"Berapa kau jual Kang kayumu ?"

"Sebenggol, Ni.  Murah..."

"Kayu basah minta sebenggol itu mahal Kang.   Tapi nggak apa-apa, aku bayar.  Tapi tolong angkat kayunya di belakang rumah.  Lepas sekalian talinya, agar kayu-kayu itu tertimpa sinar matahari.  Lusa pasti sudah bisa dipakai."

"Baik Ni Sekar. "  Sembada menggangguk.

Pemuda itu memikul dua bongkok kayu ke belakang rumah lewat samping dapur.  Ia mengikuti saran gadis itu untuk melepas tali dan memanaskan kayu-kayu itu di bawah sinar matahari.

Terdengar beberapa ekor telapak kaki-kaki kuda berlari menuju halaman depan.   Sebentar kemudian suara itu hilang, tentu penunggangnya sudah turun dari punggung kuda itu.  Sembada agak cemas, jika ternyata penunggangnya adalah lelaki pendek gemuk yang dulu sempat berkata sengit dengannya.

Ketika Sembada menengok pintu dapur mencari Sekarsari, ia bertatapan pandang dengan pemuda gemuk pendek itu yang sedang minum air dari kendi di dapur.  Pemuda itu nampak membeliakkan tatapannya.

"Kau,.... Mengapa kau ada di sini ? "  Pemuda itu bertanya dengan nada suara yang tinggi.

"Ia menjual kayu bakar kakang. "  Suara wanita menjawab dari belakang pemuda itu.

"Jual kayu ?  Alasan saja.  Pasti dia punya niat buruk datang ke rumah kita."

"Siapakah dia kakang ?  Dia tadi mengantarkan kayu bakar, dan menawarkannya kepadaku.  Ia baru meletakkan kayu-kayu itu di belakang.  Ini aku akan membayarnya."  Kata Sekarsari.

"Tidakkah kau ingat.  Coba suruh dia membuka capingnya. Pasti kau tidak lupa dengan lelaki lancang yang pura-pura membantu kita di hutan Waringin Soban."

Seorang lelaki datang dari pintu rumah utama menuju dapur. Rupanya ia mendengar suara anaknya berteriak-teriak dengan nada kesal.

"Ada apa Handaka ?  Siapa yang kau sebut lelaki lancang itu ?"

"Itu ayah !  Lelaki itu yang pernah aku ceritakan kepada ayah. Ketika aku dan para pengawal melewati hutan Waringin Soban. Ia datang dan nimbrung dalam pertempuran.  Anak-anak buah Gagakijo kemudian lari tunggang langgang.  Pasti itu kesengajaan, agar aku percaya ia tulus menolong kami.   Ternyata benar ia datang kes ini, untuk memata-matai kademangan kita."

"Maaf ki sanak.  Aku tidak mengerti tuduhan ki sanak.  Aku hanya menjual kayu. "

"Bohong.  Kau buktikan dulu kemampuanmu di sini.  Jika kau tidak berpura-pura bertempur dengan anak buah Gagakijo. Pasti kau mampu mengalahkan aku."

Handaka keluar dari pintu dapur.  Pedangnya telah terhunus menanti reaksi lelaki penjual kayu di depannya.

"Ayo lawan aku.  Aku ingin tahu seberapa kemampuanmu sebenarnya."

"Aku tidak ingin berselisih tuan.  Aku kesini hanya mencari nafkah untuk simbokku dengan menjual kayu."

"Kau bisa beralasan dengan seribu kebohongan.  Tapi aku tidak percaya kepadamu.  Kau tentu bersengkongkol dengan Gagakijo untuk memata-matai kademangan ini."

"Handaka jangan menuduh tanpa bukti. "Teriak Ki Demang Majaduwur.

"Tidak ayah.  Bagiku sudah cukup bukti.  Ia sebenarnya sudah tahu kami saat peristiwa di Waringin Soban.  Aku tahu ia pura-pura saja bertempur dengan anak buah berandal itu.  Biar kami percaya bahwa ia telah menjadi pahlawan keselamatan kami. Kemudian dia datang kesini untuk memata-matai."

Sembada tidak lagi bisa menjawab tuduhan Handaka di depan ki Demang Majaduwur dan gadis itu yang juga memandanginya dengan tatapan yang tajam.   Ia memang tidak memiliki kemampuan berbantah dengan kata-kata.

Namun ia juga tidak mau menjadi korban kemarahan Handaka.

Handaka selangkah demi selangkah mendekati Sembada. Sembadapun telah melepas parangnya dari sarungnya. Pemuda pendek gemuk itu segera meloncat dan menyerang Sembada seperti angin ribut.

Pedang Handaka yang mengkilap tertimpa sinar mentari itu bergerak kesana kemari mengejar Sembada yang berloncatan menghindar.  Sembada tidak mau membalas serangan itu.  Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak terkenai pedang Handaka.

Pertempuran itu kian lama kian sengit.  Ki Demang Sentika menyaksikannya dengan hati berdebar-debar.  Iapun semakin lama semakin heran.  Seorang penjual kayu bakar mampu melayani anaknya yang telah ia latih cukup lama dengan ilmu kanuragan.  Sebagai orang ayah dan guru anaknya dalam kanuragan ia tertarik, ada pemuda kebanyakan yang mampu menandinginya.

Setelah lama mereka berkelahi berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, tanpa sekalipun Sembada membalas serangan Handaka, membuat pemuda gemuk itu marah.

"Kenapa kau menghindar terus, tak mau membalas seranganku. ?"  Katanya marah.

"Aku tidak punya persoalan dengan tuan.  Tuanlah yang sembarangan menuduhku."

"Persetan.  Aku tak peduli kau bisa membalas apa tidak, pedang ini akan mengakhiri petualanganmu."

Ki Demang Sentika memperhatikan terus pertempuran itu.  Lama-lama ia mengenal gerakan-gerakan yang dimainkan oleh lawan anaknya.  Anak itu terlihat tidak sepenuh hati melayani Handaka.  Jika ia mau anaknya tentu sudah dapat dikalahkannya.

Sebagai ayah dan guru hatinya  lama-lama menghangat pula. Namun tidak ada alasan baginya untuk menggantikan Handaka melawan pemuda gagah itu.  Sebelum mendapatkan malu ia harus segera melerai pertempuran itu

"Handaka cukup.  Hentikan perkelahian.  Kau tidak punya bukti kuat menuduhnya sebagai mata-mata."

Ki Demang lantas meloncat di tengah-tengah mereka.  Kedua tangannya ia rentangkan dan jari-jarinya terbuka sebagai pertanda ia minta keduanya berhenti.

Sembada meloncat mundur.  Namun Handaka sedikit kecewa ayahnya telah menghentikan pertempuran itu.

"Kenapa ayah menghentikan pertempuran ini.  Sebentar lagi tentu dia tinggal namanya saja dikenang."

"Kau tak cukup bukti untuk menuduhnya.  Jika tuduhanmu keliru dan keluarganya tahu ia mengalami celaka di sini akan jadi persoalan yang panjang."

Akhirnya Handaka memasukkan kembali pedangnya ke dalam wrangkanya yang tergantung di pinggangnya.

"Maafkan anakku ki sanak.  Ia terlalu sembrono menuduhmu."

"Tidak apa-apa tuan.  Hanya kesalah pahaman biasa."

"Kau dari mana anak muda.  Menjual kayu bakar kesini."

"Saya dari dusun Majalegi.  Anak janda miskin tua bernama simbok Darmi."

"Belum pernah aku melihatmu sebelumnya, sebagai warga kademangan sini."

"Saya baru saja datang dari pengembaraan, dan pulang menemui simbok saya."

"Baiklah, sekali lagi aku minta maaf.  Aku sedikit tertarik kepadamu.  Seorang pemuda anak orang kebanyakan, tapi memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup tinggi.  Jika diteruskan belum tentu anakku akan menang melawanmu."

"Kalau begitu akan kami teruskan Ayah.  Siapa yang bakal menang di antara kami."

"Tidak.  Sudah cukup.  Perkelahian ini tidak ada gunanya.  Ia telah mengaku anak warga  kademangan kita.  Oh, Ya.  Siapa namamu anak muda ?"

"Sembada tuan. "  Jawab sembada.

"Sembada ?!!!"  Terdengar kata Sekarsari dengan nada agak tinggi.

Mereka yang mendengarnya memandangi gadis itu dengan heran.  Seolah menunjukkan nama pemuda itu menarik perhatian gadis itu.  Gadis itu nampak agak tersipu, namun ia melanjutkan ucapannya kepada Sembada.

"Aku pernah mengenal nama itu di dalem Katumenggungan. Nama anak emban pamomongku Nyai Kenanga, suaminya bernama Paman Wirapati adalah Peminpin pasukan pengawal katumenggungan Gajah Alit."

"Aku anak janda miskin dari Majalegi, Nini Sekarsari."
Gadis itu agak kecewa.  Ia masih menatap wajah anak muda di depannya yang tertutup caping bambu.

"Kalau begitu saya mohon pamit Ki Demang.  Maafkan saya jika karena saya terjadi keributan di sini."

"Bukan salahmu.  Anakkulah yang sembrono memulainya.  "
Ketika Sembada balik badan hendak melangkah pergi, Sekarsari memanggilnya.

"Ki sanak, harga kayumu belum aku bayar.  Ini uang untuk membeli kayumu."  Ia mengulurkan uang sambil melirik wajah di balik caping itu.  

Sembada menerimanya dengan memegangi capingnya dan menariknya ke bawah, agar wajahnya tertutup dari tatapan mata gadis itu.

Bendo, 24 Maret 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun