"Kau,.... Mengapa kau ada di sini ? " Â Pemuda itu bertanya dengan nada suara yang tinggi.
"Ia menjual kayu bakar kakang. " Â Suara wanita menjawab dari belakang pemuda itu.
"Jual kayu ? Â Alasan saja. Â Pasti dia punya niat buruk datang ke rumah kita."
"Siapakah dia kakang ? Â Dia tadi mengantarkan kayu bakar, dan menawarkannya kepadaku. Â Ia baru meletakkan kayu-kayu itu di belakang. Â Ini aku akan membayarnya." Â Kata Sekarsari.
"Tidakkah kau ingat. Â Coba suruh dia membuka capingnya. Pasti kau tidak lupa dengan lelaki lancang yang pura-pura membantu kita di hutan Waringin Soban."
Seorang lelaki datang dari pintu rumah utama menuju dapur. Rupanya ia mendengar suara anaknya berteriak-teriak dengan nada kesal.
"Ada apa Handaka ? Â Siapa yang kau sebut lelaki lancang itu ?"
"Itu ayah ! Â Lelaki itu yang pernah aku ceritakan kepada ayah. Ketika aku dan para pengawal melewati hutan Waringin Soban. Ia datang dan nimbrung dalam pertempuran. Â Anak-anak buah Gagakijo kemudian lari tunggang langgang. Â Pasti itu kesengajaan, agar aku percaya ia tulus menolong kami. Â Ternyata benar ia datang kesini, untuk memata-matai kademangan kita."
"Maaf ki sanak. Â Aku tidak mengerti tuduhan ki sanak. Â Aku hanya menjual kayu. "
"Bohong. Â Kau buktikan dulu kemampuanmu di sini. Â Jika kau tidak berpura-pura bertempur dengan anak buah Gagakijo. Pasti kau mampu mengalahkan aku."
Handaka keluar dari pintu dapur. Â Pedangnya telah terhunus menanti reaksi lelaki penjual kayu di depannya.