"Terima kasih ki sanak."
Sembada melanjutkan jalannya memikul dua bongkok kayu. Â Orang yang ditanyai Sembada mengawasinya sejenak, hatinya masih terpana dan heran. Â Pemuda setampan dan segagah dia lebih pantas jadi anggota pengawal kademangan, bisiknya dalam hati.
Ketika telah masuk pintu depan halaman rumah ki demang, Sembada melihat rumah joglo besar sekali. Â Di depan bangunan berbentuk joglo, terdapat balai yang cukup luas berbentuk limasan. Â Beberapa pohon buah-buahan nampak hijau dan rindang di depan rumah itu.
Sembada berjalan mengarah bangunan sebelahnya. Â Pasti itu bagian dapur rumah itu. Â Setelah di depan pintu bangunan itu ia berhenti. Â Menurunkan bebannya di tanah, kemudian ia menawarkan kayunya.
"Kula nuwun, Mau beli kayu Nyai..." Â Demikian ia berteriak berulang-ulang.
Seorang gadis berkebaya dan berjarit panjang dengan sanggul rambut di atas kepala keluar dari pintu dapur. Â Lehernya yang jenjang dan kulit kuningnya nampak bersinar tertimpa cahaya matahari. Â Sembada sedikit terpana. Â Ia mengenali gadis itu di hutan Waringin Soban.
Sembada menarik caping bambunya ke bawah untuk menutupi wajahnya agar tidak dikenali gadis itu.
"Iya Kang. Â Aku beli kayumu. " Â Kata gadis itu setelah dekat.
"Tapi masih basah ini. Â Belum bisa langsung dipakai sebagai kayu bakar."
"Di jemur dululah Nyai."
"Aku masih perawan, panggil aku Ni Sekar. Â Namaku Sekarsari."