"Kenapa kau menghindar terus, tak mau membalas seranganku. ?" Â Katanya marah.
"Aku tidak punya persoalan dengan tuan. Â Tuanlah yang sembarangan menuduhku."
"Persetan. Â Aku tak peduli kau bisa membalas apa tidak, pedang ini akan mengakhiri petualanganmu."
Ki Demang Sentika memperhatikan terus pertempuran itu. Â Lama-lama ia mengenal gerakan-gerakan yang dimainkan oleh lawan anaknya. Â Anak itu terlihat tidak sepenuh hati melayani Handaka. Â Jika ia mau anaknya tentu sudah dapat dikalahkannya.
Sebagai ayah dan guru hatinya  lama-lama menghangat pula. Namun tidak ada alasan baginya untuk menggantikan Handaka melawan pemuda gagah itu.  Sebelum mendapatkan malu ia harus segera melerai pertempuran itu
"Handaka cukup. Â Hentikan perkelahian. Â Kau tidak punya bukti kuat menuduhnya sebagai mata-mata."
Ki Demang lantas meloncat di tengah-tengah mereka. Â Kedua tangannya ia rentangkan dan jari-jarinya terbuka sebagai pertanda ia minta keduanya berhenti.
Sembada meloncat mundur. Â Namun Handaka sedikit kecewa ayahnya telah menghentikan pertempuran itu.
"Kenapa ayah menghentikan pertempuran ini. Â Sebentar lagi tentu dia tinggal namanya saja dikenang."
"Kau tak cukup bukti untuk menuduhnya. Â Jika tuduhanmu keliru dan keluarganya tahu ia mengalami celaka di sini akan jadi persoalan yang panjang."
Akhirnya Handaka memasukkan kembali pedangnya ke dalam wrangkanya yang tergantung di pinggangnya.