"Tapi masih basah ini. Â Belum bisa langsung dipakai sebagai kayu bakar."
"Di jemur dululah Nyai."
"Aku masih perawan, panggil aku Ni Sekar. Â Namaku Sekarsari."
Sembada sedikit kaget. Â Ia melirik wajah gadis itu, barulah ia ingat bahwa perasaan pernah dekat dengan gadis itu benar adanya. Â Ia inilah gadis putri Ki Temenggung Gajah Alit yang diselamatkan pamannya sendiri saat perang besar terjadi. Â Ki Demang adalah kakak ibunya Sekarsari.
"Berapa kau jual Kang kayumu ?"
"Sebenggol, Ni. Â Murah..."
"Kayu basah minta sebenggol itu mahal Kang. Â Tapi nggak apa-apa, aku bayar. Â Tapi tolong angkat kayunya di belakang rumah. Â Lepas sekalian talinya, agar kayu-kayu itu tertimpa sinar matahari. Â Lusa pasti sudah bisa dipakai."
"Baik Ni Sekar. " Â Sembada menggangguk.
Pemuda itu memikul dua bongkok kayu ke belakang rumah lewat samping dapur. Â Ia mengikuti saran gadis itu untuk melepas tali dan memanaskan kayu-kayu itu di bawah sinar matahari.
Terdengar beberapa ekor telapak kaki-kaki kuda berlari menuju halaman depan. Â Sebentar kemudian suara itu hilang, tentu penunggangnya sudah turun dari punggung kuda itu. Â Sembada agak cemas, jika ternyata penunggangnya adalah lelaki pendek gemuk yang dulu sempat berkata sengit dengannya.
Ketika Sembada menengok pintu dapur mencari Sekarsari, ia bertatapan pandang dengan pemuda gemuk pendek itu yang sedang minum air dari kendi di dapur. Â Pemuda itu nampak membeliakkan tatapannya.