"Ayo lawan aku. Â Aku ingin tahu seberapa kemampuanmu sebenarnya."
"Aku tidak ingin berselisih tuan. Â Aku kesini hanya mencari nafkah untuk simbokku dengan menjual kayu."
"Kau bisa beralasan dengan seribu kebohongan. Â Tapi aku tidak percaya kepadamu. Â Kau tentu bersengkongkol dengan Gagakijo untuk memata-matai kademangan ini."
"Handaka jangan menuduh tanpa bukti. "Teriak Ki Demang Majaduwur.
"Tidak ayah. Â Bagiku sudah cukup bukti. Â Ia sebenarnya sudah tahu kami saat peristiwa di Waringin Soban. Â Aku tahu ia pura-pura saja bertempur dengan anak buah berandal itu. Â Biar kami percaya bahwa ia telah menjadi pahlawan keselamatan kami. Kemudian dia datang kesini untuk memata-matai."
Sembada tidak lagi bisa menjawab tuduhan Handaka di depan ki Demang Majaduwur dan gadis itu yang juga memandanginya dengan tatapan yang tajam. Â Ia memang tidak memiliki kemampuan berbantah dengan kata-kata.
Namun ia juga tidak mau menjadi korban kemarahan Handaka.
Handaka selangkah demi selangkah mendekati Sembada. Sembadapun telah melepas parangnya dari sarungnya. Pemuda pendek gemuk itu segera meloncat dan menyerang Sembada seperti angin ribut.
Pedang Handaka yang mengkilap tertimpa sinar mentari itu bergerak kesana kemari mengejar Sembada yang berloncatan menghindar. Â Sembada tidak mau membalas serangan itu. Â Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak terkenai pedang Handaka.
Pertempuran itu kian lama kian sengit. Â Ki Demang Sentika menyaksikannya dengan hati berdebar-debar. Â Iapun semakin lama semakin heran. Â Seorang penjual kayu bakar mampu melayani anaknya yang telah ia latih cukup lama dengan ilmu kanuragan. Â Sebagai orang ayah dan guru anaknya dalam kanuragan ia tertarik, ada pemuda kebanyakan yang mampu menandinginya.
Setelah lama mereka berkelahi berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, tanpa sekalipun Sembada membalas serangan Handaka, membuat pemuda gemuk itu marah.