"Apa yang kau pikirkan ? Â Sampai berdesah semacam itu."
"Pemuda itu, "Jawab Trembolo
Gagakijo kembali memperhatikan jalan kudanya. Â Ia menyentuh perut kuda dengan kakinya, kuda itupun mempercepat larinya. Â Ia tidak mau digelisahkan oleh pikiran-pikiran serupa tentang pemuda bercambuk itu.
****
Ketika matahari menjenguk cakrawala di timur, Sembada telah menginjakkan kakinya di dusun Bendo. Â Udara masih berkabut, dinginnya juga menggigit tulang. Â Namun jalanan sudah di warnai para pejalan kaki yang menggendong dagangan mereka hendak pergi ke pasar.
Sembada kemudian mencari sungai atau sumber air di dusun itu. Â Ia menemukan sungai kecil yang mengalirkan airnya yang bening. Â Segera ia mandi dan mengganti pakaiannya yang masih bersih.
Badannya terasa segar. Â Meski semalam suntuk ia tidak tidur, namun ia tidak merasa kantuk sama sekali. Â Hanya perutnya yang sudah terasa lapar. Â Iapun mencari pasar di dusun itu, barangkali ada kedai makan. Â Ia ingin sarapan.
Nampak sekali dusun ini berbeda dengan dusun lain yang ia temui di perjalanan. Â Dusun ini lebih rapi dan bangunan-bangunan nampak indah dan bersih. Â Dari wajah-wajah orang yang ia temui di jalan, nampak sekali memancarkan keceriaan, tanpa seguratpun tanda kecemasan dan kekawatiran. Â Pasti dusun ini aman dan nyaman.
Sembada masuk ke sebuah kedai di pinggir pasar. Â Ia mengambil tempat duduk di pojok. Â Ketika pelayan kedai itu menghampirinya ia bertanya.
"Dusun apa ini nyai ?"
"Ini dusun Bendo, wilayah kademangan Majaduwur " Jawab pelayan itu.
"Angger mau makan apa ? Â Minumnya apa ""Ada nasi rames ? Â Minumnya air sere saja."