Ketika matahari tepat di tengah langit Mbok Darmi keluar dengan air wedang jahe dan pisang rebus. Â Sembada dipanggilnya untuk duduk di depan. Â Mereka menikmati bersama makanan dan minuman siang itu.
"Barangmu aku masukkan ke dalam kamar. Â Kamu bisa istirahat di sana kalau kamu capek. Sekarang habiskan dulu pisang rebus dan wedang jahenya."
"Wah keringatku bisa terperas habis, siang-siang minum air jahe."
"Tadi kau minta. Â Yaa saya buatkan."
"Ya mbok, terima kasih."
"Sudah nggak usah terima kasih sama simbok."
Sejak saat itu Sembada tinggal bersama Simbok Darmi. Wanita tua itu segera berubah kehidupannya. Â Wajahnya tidak lagi terlihat suram, merasa hidupnya tak beruntung. Â Kini Mbok Darmi semakin ceria.
Kepada tetangga-tetangganya wanita itu selalu bercerita. Bahwa anak sulungnya yang telah lama mengembara kini kembali lagi. Â Ia ingin hidup bersama simboknya untuk selamanya.
Beban hidup Mbok Darmi juga berkurang.  Kebiasaan mencari kayu bakar sendiri  telah digantikan oleh Sembada.  Setiap kayu bakar simboknya hampir habis, pemuda itu segera mencarinya di hutan.  Sore hari ia pulang membawa dua bongkok besar kayu bakar.
Tempayan wadah beraspun selalu penuh, jika tinggal sedikit segera Sembada membeli di pasar. Â Mbok Darmi tidak tahu darimana pemuda itu mendapatkan uang untuk belanja.
Halaman rumah yang rimbun dengan tanaman liarpun sudah berubah. Â Di samping kiri kanan jalan menuju rumah, ia tanami dengan sayur-sayuran dan ketela pohon. Â Pagar yang telah rusak juga telah ia perbaiki.