Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ramadan Indah untuk Renata

19 April 2023   21:17 Diperbarui: 19 April 2023   21:19 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Foto Wahyu Sapta.

Memasuki bulan ramadan tahun ini, Renata bersikeras untuk berpuasa. Padahal ia sedang hamil enam bulan, yang merupakan kehamilan pertama baginya. Renata sudah berkonsultasi dengan dokter langganan. Dokter bilang bahwa ia cukup sehat untuk berpuasa. Tentunya dengan catatan selama tidak ada keluhan. Kenapa tidak? Bukankah puasa itu wajib? Pikirnya.

Edo, suami Renata, justru mencemaskan kondisi bayi dan ibunya. Bagaimana jika nanti mereka tidak baik-baik saja? Ia merasa bertanggung jawab bila terjadi sesuatu. Apalagi ini adalah kehamilan yang ditunggu-tunggu.

"Dik, kamu boleh tidak berpuasa. Tidak wajib jika kamu merasa berat dan tidak kuat. Nanti bisa diganti dengan fidyah*)."

"Tapi Bang, aku baik-baik saja. Tidak ada keluhan. Bahkan aku merasa lebih bersemangat. Mungkin bawaan bayi," katanya sambil memperlihatkan pergelangan tangan, yang sekarang lebih berisi.

Edo tersenyum melihat ulah Renata. Dulu ia gadis cantik langsing, sekarang berubah tambun. Pipi tembem. Jadi kelihatan lucu. Tapi, biarlah, yang penting sehat, begitu batinnya.

"Kamu yakin?"

Baca juga: Cerpen | Denada

"Mengapa tidak?"

Edo tahu, selama satu tahun menikah dengan Renata, ia hafal tabiat Renata. Jika memiliki keinginan, tidak bisa digoyahkan. Sia-sia jika melarang.

"Baiklah, tapi jika merasa tak enak badan, kamu boleh berbuka."

"Siap, Bosku."

***

Hari kelima ramadan, bayi yang ada dalam kandungan Renata sedikit rewel. Ia merasa mual dan pusing. Padahal pada saat sahur tadi, cukup asupan makanan yang masuk dalam perut. Gizi juga sangat diperhatikan. Susu khusus untuk bumil juga sudah diminum. Tetapi rupanya bayi yang ada dalam kandungan tak mau diajak kompromi. 

Renata mengelus perut sambil berkata, "Nak, Bunda sayang kamu, jangan sedih ya. Baik-baik di perut Bunda." Bayi yang ada dalam perut bergerak, seperti mengerti kegundahan Renata.

Akibat pusing, pekerjaan jadi terabai. Renata memiliki usaha fotokopi, yang ia rintis sejak sebelum menikah dengan Edo. Lumayan maju. Letak kios dekat kampus, menjadikannya laris. Hampir tiap hari selalu ramai. Sudah ada empat mesin fotokopi, terjajar rapi. Jika tahun ini bisa mencapai target, ia memiliki rencana untuk menambah mesin fotokopi.

"Yun, gantikan aku dulu. Mbak mau pulang," 

"Kenapa, Mbak? Sakit? Aduh, Mbak Renata harusnya jangan puasa dulu,"

"Nggak papa, aku hanya sedikit pusing,"

Yuni menggantikan posisi Renata di meja kasir. Sudah lama ia bekerja di kios fotokopi. Sejak awal berdiri hingga sekarang. Bisa diandalkan jika Renata sedang sibuk atau ada kepentingan mendesak. Yuni sudah seperti adik sendiri. 

Yuni selalu kagum pada sosok Renata. Sejak dulu, Renata memiliki semangat positif dan membawa aura baik pada sekitar. Termasuk tempatnya bekerja. Itu sebabnya Yuni betah.

Sesampai di rumah, Renata menelpon Edo. 

"Bang, aku pusing,"

Edo cemas bukan kepalang.

"Apa aku perlu jemput kamu, Dik?"

"Nggak usah. Aku sudah di rumah. Nanti pekerjaan Abang gimana? Aku baik-baik saja, hanya butuh istirahat."

Renata bimbang, antara batal puasa atau tidak. Tetapi pusingnya tak mau juga pergi. Ia lalu mengambil gelas, diisikannya susu dan air. Mengaduknya, kemudian diteguk pelan. "Ya Allah, maafkan hamba-Mu," 

Ia berjanji akan menggantikan selama tak puasa di hari lain. Esok hari seandainya cukup sehat, ia akan berpuasa kembali. 

***

Pagi-pagi selepas subuh, Renata mempersiapkan beras dan telur. Akan dihantarkan ke rumah Bu Endang. Tujuannya adalah menyampaikan fidyah selama dua hari tidak puasa. 

Bu Endang sering membantunya saat diperlukan. Mencuci dan setrika baju milik Renata. Begitu pula saat Renata butuh bantuan lainnya. Tidak tiap hari, karena Bu Endang kadang ke pasar, sebagai buruh gendong belanjaan. 

Renata memiliki keinginan, jika ada rezeki, membuatkan kios kecil untuk Bu Endang. Kios yang menjual sembako kecil-kecilan. Bu Endang nantinya tak lagi harus ke pasar. Tetapi masih keinginan, karena rezeki belum mencukupi.

"Terimakasih, Nak Renata. Semoga Gusti Allah yang membalas kebaikan ini," 

Renata mengaminkan doa yang terucap dari mulut Bu Endang. Ia merasa lega, hutangnya lunas saat tidak puasa lalu dengan memberikan fidyah.

***

"Yun, nanti jam delapan ke rumah, ya,"

"Yang nunggu fotokopi siapa Mbak?"

"Biar ditunggu Fitri."

Yuni ragu, Fitri ceroboh. Kadangkala ia lupa mencatat. Bagaimanapun kepikiran. Tetapi karena keinginan bos, apa mau dikata. Pasti ada sesuatu yang penting. Apakah Renata sakit? Atau...

Diketuknya rumah Renata. 

"Ayuk, langsung saja. Kamu yang bawa motornya,"

Renata memberikan kunci motor pada Yuni. Ia membawa keranjang belanjaan kosong di tangan. Meskipun perut buncit, Renata tetap gesit dalam melangkah. Sebagai calon ibu, semangat Renata membuat Yuni kagum.

"Kemana?"

"Pasar."

"Tumben ke pasar. Biasanya menunggu tukang sayur lewat depan rumah,"

"Tidak usah tanya. Ikuti aku saja." 

Renata tahu kebingungan Yuni. Apalagi saat ke pasar, membeli banyak bahan makanan. Seperti untuk satu bulan saja. 

"Kok banyak, buat apa?"

"Kamu kebanyakan tanya. Nanti bantu Mbak masak," 

Yuni hanya bisa mengiyakan, daripada dibilang selalu tanya.

***

Sekarang Yuni mengerti, mengapa Renata memasak banyak. Ternyata untuk dibagikan kepada orang yang membutuhkan saat berbuka nanti. Ada saja yang dipikirkan Renata untuk berbuat kebaikan. Mungkin bagi orang lain hal itu tidak terpikirkan. Apalagi Yuni. Ia hanya memikirkan bagaimana bekerja dengan baik dan jujur, karena Renata percaya padanya. 

Yuni memandang Renata lekat, sungguh mulia hati perempuan mandiri nan baik hati. 

"Apakah aku bisa sepertinya?" tanya Yuni dalam hati.

Gema azan maghrib terdengar dari masjid. Di Jalan Sudirman banyak pejalan yang tidak sempat membeli makanan untuk berbuka puasa. Di ujung dekat jembatan, bahkan beberapa orang memang tinggal di sana.

"Alhamdulillah. Bisa berbuka bersama dengan mereka."

Beberapa orang menikmati hidangan yang dimasak Renata dan Yuni. Wajah-wajah bahagia, karena bisa merasakan masakan lebih istimewa dari hari biasa. Mata Renata berkaca-kaca. Bulir bening menetes pelan. 

"Terimakasih, nikmat-Mu Ya Allah,"

Dari kejauhan, Edo memandang penuh cinta pada istrinya. Ia merasa tak salah pilih. Ia memang bidadariku, kata hatinya.

***

Lebaran sebentar lagi. Hanya menunggu hari. Tak lepas Renata selalu mengucap syukur atas segala karunia Allah yang tertumpah deras. Rezeki kios fotokopi Renata mengalir bagai sungai. Keinginan untuk berbagi semakin menggebu. Cita-citanya membantu Bu Endang bisa terwujud.

"Tak ada kebahagiaan yang lebih, jika aku bisa berbagi. Ini baik untukku dan calon buah hatiku. Terimakasih, Ya Allah," bisik Renata mengelus perut buncitnya, di sela doa usai salat.

Ia ingin persalinan lancar dengan berbuat kebaikan dan sedekah. Tak ada yang menyuruh. Semua karena kemauan sendiri. 

Edo tak melarang. Bahkan mendukung. Seharusnya ini menjadi kewajiban Edo. Tetapi melihat Renata yang mandiri, tak tega untuk mencegahnya. Sekiranya Renata butuh bantuan, segera ia berjalan secepat kilat, tanpa hitungan menit.

"Abang, aku ingin dibikinkan susu,"

"Biasanya bikin sendiri, Dik,"

"Tapi ini bukan kemauanku,"

"Serius?"

"Iya, ini kemauan calon bayi, Bang,"

"Tapi Abang tidak tahu caranya." 

"Abang ambil gelas, isi air dan susu, lalu diaduk. Gampang, kan? Aku maunya gelas yang ini." Renata menunjuk gelas bergagang panjang di bawah yang ada di rak.

Renata tergelak melihat raut wajah Edo yang kebingungan, tetapi ditahannya. Sesekali, ia ingin bermanja. Renata tetaplah seorang perempuan yang ingin disayang.

Semarang, 19 April 2023.

*) Fidyah adalah keringanan dalam menjalankan ibadah puasa, dengan memberikan makan sebanyak hari ia tidak berpuasa kepada orang yang tidak mampu atau fakir miskin.

Penulis: Wahyu Sapta, suka menulis cerpen, kuliner, apa saja yang menjadi hobi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun