Beberapa orang menikmati hidangan yang dimasak Renata dan Yuni. Wajah-wajah bahagia, karena bisa merasakan masakan lebih istimewa dari hari biasa. Mata Renata berkaca-kaca. Bulir bening menetes pelan.Â
"Terimakasih, nikmat-Mu Ya Allah,"
Dari kejauhan, Edo memandang penuh cinta pada istrinya. Ia merasa tak salah pilih. Ia memang bidadariku, kata hatinya.
***
Lebaran sebentar lagi. Hanya menunggu hari. Tak lepas Renata selalu mengucap syukur atas segala karunia Allah yang tertumpah deras. Rezeki kios fotokopi Renata mengalir bagai sungai. Keinginan untuk berbagi semakin menggebu. Cita-citanya membantu Bu Endang bisa terwujud.
"Tak ada kebahagiaan yang lebih, jika aku bisa berbagi. Ini baik untukku dan calon buah hatiku. Terimakasih, Ya Allah," bisik Renata mengelus perut buncitnya, di sela doa usai salat.
Ia ingin persalinan lancar dengan berbuat kebaikan dan sedekah. Tak ada yang menyuruh. Semua karena kemauan sendiri.Â
Edo tak melarang. Bahkan mendukung. Seharusnya ini menjadi kewajiban Edo. Tetapi melihat Renata yang mandiri, tak tega untuk mencegahnya. Sekiranya Renata butuh bantuan, segera ia berjalan secepat kilat, tanpa hitungan menit.
"Abang, aku ingin dibikinkan susu,"
"Biasanya bikin sendiri, Dik,"
"Tapi ini bukan kemauanku,"