Memandang sawah hijau menghampar, hanya angin sepoi yang datang. Sejenak mengasyikkan. Aku ada pada sebuah lamunan. Hanya sendiri. Menikmati kesendirian, melepas penat setelah sibuk tadi siang. Sore ini ada jeda waktu, hingga menunggu magrib tiba. Malam nanti, tugas masih menunggu.Â
Aku duduk di bawah pohon randu yang rindang pinggir sawah. Daunnya lebat. Sedikit menutup panas sinar sore yang masih terik. Jadi adem. Kantuk mulai menyerang. Hoahem, aku menguap.Â
Lalu datang sebuah bayangan. Dengan t-shirt biru tosca, celana jean biru, sepatu kets putih dan bertopi merah. Terlihat tomboy, tapi sisi feminim tetap ada.Â
Wajah tirus itu, membuatku terpana pada pandangan pertama. Hanya dalam waktu hitungan detik, telah sampai di depanku. Rasa kaget ini, menghapus kantukku.Â
"Hei, apakah kita pernah bertemu sebelum ini?" tanyanya. Aku menggeleng.Â
"Belum pernah," jawabku.Â
"Oh, tapi kenapa kamu seperti tak asing bagiku?"Â
"Entahlah,"Â
"Apakah ini yang disebut reinkarnasi?" Â Â
"Mungkin," jawabku pendek.Â
"Aku tahu, kamu Reno, kan?"Â
"Kok tahu?"Â
"Tuh! Di dada sebelah kanan ada namamu."Â
Ya. Ia memang selalu begitu. Bercanda. Kali ini pura-pura tak mengenalku. Ia tertawa geli, lalu duduk di sampingku sambil membuka topi. Aku menjadi kikuk.Â
"Maaf, tadi aku nggak sempat bilang padamu. Kenapa kamu kemari?"Â
"Mencarimu."Â
"Mencariku? Apa ada masalah di posko?"Â
"Iya, Pak Heidar menanyakan dokumen tentang penyuluhan sapi. Saat mencarimu, kamu nggak ada. Lalu aku mencarimu ke sini."Â
"Kok kamu tahu kalau aku di sini?"Â
"Hei, helloooww...gimana sih, kan kamu sering cerita. Suka tempat ini, adem, sepoi angin membelai, bla bla bla... Lupa?" katanya sambil membelalakkan mata. Wajah itu, terlihat imut dan lucu.Â
Aku tersenyum. Bukan lupa, tapi aku hanya menggoda. Aku memang suka curhat padanya, tentang apa saja. Sebagai mahasiswa KKN satu desa, yang berada dalam satu team. Aku jurusan Peternakan, sedangkan ia jurusan Ilmu Politik.Â
Uuff.. Aku menarik nafas pelan. Ia menengok.Â
"Ada apa? Kenapa uuff??"Â
"Aku capek, seharian bersama mereka. Tapi aku senang, mereka antusias sekali mendengarkan apa yang aku presentasikan ke mereka."Â
"Iya, beruntung kita KKN di tempat ini. Hampir semua masyarakat sini baik dan mau menerima kita dengan tangan terbuka." Aku mengangguk.Â
"Oya, lusa ada penyuluhan lagi. Kamu bantu aku ya, sebagai moderator." pintaku.Â
"Tanpa kau minta, aku pasti bersedia. You're my brother. Bukankah sesama mahasiswa KKN dilarang mendahului?"Â
Ia tersenyum. Manis sekali. Memamerkan selarik gigi putih yang rapi. "Ah, Reni, mengapa kau selalu bilang aku your brother? Andai saja. Hem." batinku.Â
"Sudah hampir magrib, yuk pulang!" katanya sambil menggamit tanganku.Â
Aku masih mager. Ingin menikmati sore, sebentar saja.Â
"Ayolah, Mas Reno." ajaknya.Â
"Okey." Akhirnya aku menyerah, mengikuti langkahnya menuju ke posko KKN.Â
***Â
"Mas Renooo... banguuun..!" suara melengking mengagetkan mimpiku.Â
"Berisik, ada apa sih? Ini masih pagi." gerutuku sambil membuka pintu separo dan mata yang masih merem. Padahal baru saja aku bisa tertidur pukul tiga. Dan pukul lima ia sudah menggedor pintu kamar.Â
"Ada yang butuh bantuanmu, sapi bang Surya mau melahirkan. Ayolah, kasihan, sepertinya ada kelainan pada proses kelahirannya."Â
Sebenarnya ini bukan tugasku, karena untuk membantu proses kelahiran seekor sapi adalah tugas anak Kedokteran Hewan. Tapi di desa tempat KKN ini tak ada anak KH. Mereka terlanjur percaya, bahwa anak peternakan juga bisa membantu persalinan seekor sapi.Â
Baiklah, aku segera mencuci muka, salat subuh dan cabut ke rumah bang Surya. Tentu saja dengannya, yang sedari tadi sabar menunggu.Â
Di rumah bang Surya, sudah ada Pandu dan Salma. Terdengar sapi berteriak kesakitan. Kuelus kepala sapi pelan, kemudian sapi merasa agak tenang. Ia seperti tahu, akan segera dibantu proses kelahirannya. Lalu tak lama, anak sapi lahir dengan selamat.Â
Bang Surya kemudian mengucapkan terimakasih padaku dan teman lainnya karena telah membantu. Segera dibawakan pisang satu tandan sebagai tanda terimakasih. Sebenarnya ingin menolak, tapi tidak tega melihat ketulusannya. Lalu kami berpamitan.Â
Aku merasa aneh, seperti ada yang memandangku setajam belati. Aku menengok ke arahnya. Benar saja Reni sedang memandangku tak berkedip.Â
"Hei, ngapain kamu lihat aku? Naksir?" Ia kelimpungan, berusaha membantah perkataanku barusan.Â
"Aku? Naksir? Nggak lah! You're my brother. Remember?" katanya cepat. "Tapi kamu tadi hebat loh mas Reno. Aku salut. Sumpah!" lanjutnya. Kali ini berkata sambil tersenyum lebar.Â
"Sudahlah, kita pulang, yuk."Â
Kami berempat pulang ke posko. Pandu dan Salma berjalan lebih dulu, seperti memisahkan diri. Memberi kesempatan padaku untuk jalan berdua dengan Reni.Â
"Mas, besok KKN berakhir." katanya tak bersemangat.Â
"Bagus dong, kita bisa pulang. Katanya kamu sudah kangen rumah?" Ia mengangguk.Â
Sepanjang perjalanan, hanya hening hingga sampai posko. Kemudian memisahkan diri, berkutat pada kesibukan masing-masing.Â
***Â
Sudah lama aku tak bertemu Reni. Sudah dua minggu, sejak KKN berakhir. Ya, mungkin karena kesibukan masing-masing mengurus laporan. Entah kenapa, aku ingin sekali bertemu dengannya. Apakah hatiku seperti terbawa olehnya? Karena satu bulan bersama dengannya tiap hari, seolah ada sesuatu yang hilang.Â
Inikah yang namanya rindu? Lalu mengapa aku tak ke rumahnya saja? Bukankah ia sempat memberi alamat? Baiklah, nanti selepas kuliah sore ini, aku akan mampir atau lebih tepatnya berkunjung ke rumahnya. Memenuhi rinduku? Ah, aku jadi tertawa geli. Rindu? Mungkin terlalu berlebihan. Apakah ia merasakan hal yang sama? Merasakan rindu? Entahlah.Â
Sampai juga aku ke rumahnya. Aura nyaman dengan berbagai macam tanaman bunga tertata rapi. Seorang gadis sekitar kelas 6 SD, menyambutku.Â
"Dik, kak Reni ada?" tanyaku.Â
"Oh, ada. Duduk dulu, aku panggilkan ya kak." katanya.Â
Aku segera duduk di teras, menunggu Reni keluar. Dag dig dug jantungku, menunggunya. Setelah limabelas menit, seseorang keluar, aku segera berdiri.Â
"Cari siapa?" tanyanya. Lho, bukankah tadi aku bilang mencari Reni? Kenapa yang keluar seorang cowok, hampir sebaya denganku.Â
"Aku mencari Reni, mas."Â
"Ada perlu apa?" jawabnya. Waduh, ini pasti salah alamat. Kutengok nomor rumah. Benar, tidak salah. Nomor 31.Â
"Aku mencari Reni, mas." kataku menegaskan.Â
"Ooo...Reni? Kirain nyari Rendi. Reniii... ada yang nyari!" teriaknya sambil berlalu masuk rumah sambil menggerutu. Padahal kulihat tadi wajahnya seperti bangun tidur. Pasti masih kaget.Â
Lamat-lamat dari dalam rumah, seorang gadis kecil berteriak, "Sori kak, salah panggil." Lalu disambung dengan derai tawa. Reni keluar.Â
"Maaf, adikku salah panggil," katanya tersenyum lebar. Kami berdua duduk di teras. Hanya berbatas meja. Lalu hening. Perkataan yang sedari tadi kurancang, lenyap seketika. Tersapu oleh pesonanya. Ia juga terdiam, tak tahu harus bilang apa. Kuberanikan diri untuk berbicara duluan.Â
"Apa kabar?"Â
"Alhamdulillah baik."Â
Lalu hening kembali.Â
"Kok kita jadi aneh begini sih?" tanyanya sambil tertawa berderai.Â
"Aku kangen kamu, Ren. Lama nggak ketemu." Reni hanya tersenyum seraya mengangguk.Â
"Jadi, aku berkesempatan dong memiliki hatimu?" tanyaku tiba-tiba. Entah dari mana kata-kata itu datang.Â
"Nggak tahu." jawabnya.Â
"Kok nggak tahu sih? Baiklah, terimalah hatiku." kataku. Segera kubentuk bulatan hati dari kedua tanganku. Aku lempar ke arahnya. Ia menangkap bulatan hatiku dengan terkejut. Tapi tampaknya berhasil. Ia memegang erat hati itu.Â
"Lalu, akan aku kemanakan hatimu ini?"Â
"Simpanlah dalam hatimu. Kita tukeran hati saja, ya. Hatimu untukku, hatiku itu untukmu. Mau, kan?"Â
Ia masih ragu-ragu. Meski masih saja memegang hatiku.Â
"Mas Reno, memang ada jaminan kalau hatimu baik? Kalau iya, aku mau deh tukeran."Â
Aku tersenyum simpul. Dalam keadaan seperti ini, ia masih saja bisa bergurau. Oh, tapi tampaknya ia serius.Â
"Percayalah Reni, aku baik orangnya. Ayolah, kita tukeran hati ya, please..."Â
Aku menembaknya. Satu menit. Tik tok tik tok. Dua menit. Detik demi detik merayap. Tiga menit berlalu.Â
"Baiklah." jawabnya.Â
Uuff... akhirnya. Aku bernafas lega, ia menerima cintaku. Hati yang sedari tadi dipegangnya, ia masukkan dalam hatinya.Â
"Jadi, kita resmi berpacaran?"Â
"Iya, aku resmi menjadi pacarmu mas Reno."Â
"Tidak lagi sebagai your brother?"Â
"Iya, tak lagi sebagai my brother."Â
"Ciiieee... yang baru jadiaaan..." suara teriakan dari dalam rumah bagai sebuah paduan suara. Kakak dan adiknya Reni.Â
Lalu pipi Reni memerah. Tersipu. Oh, dunia. Mendadak indah sekali. Seperti setangkai mawar yang sedang mekar.Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H