"Mas Renooo... banguuun..!" suara melengking mengagetkan mimpiku.Â
"Berisik, ada apa sih? Ini masih pagi." gerutuku sambil membuka pintu separo dan mata yang masih merem. Padahal baru saja aku bisa tertidur pukul tiga. Dan pukul lima ia sudah menggedor pintu kamar.Â
"Ada yang butuh bantuanmu, sapi bang Surya mau melahirkan. Ayolah, kasihan, sepertinya ada kelainan pada proses kelahirannya."Â
Sebenarnya ini bukan tugasku, karena untuk membantu proses kelahiran seekor sapi adalah tugas anak Kedokteran Hewan. Tapi di desa tempat KKN ini tak ada anak KH. Mereka terlanjur percaya, bahwa anak peternakan juga bisa membantu persalinan seekor sapi.Â
Baiklah, aku segera mencuci muka, salat subuh dan cabut ke rumah bang Surya. Tentu saja dengannya, yang sedari tadi sabar menunggu.Â
Di rumah bang Surya, sudah ada Pandu dan Salma. Terdengar sapi berteriak kesakitan. Kuelus kepala sapi pelan, kemudian sapi merasa agak tenang. Ia seperti tahu, akan segera dibantu proses kelahirannya. Lalu tak lama, anak sapi lahir dengan selamat.Â
Bang Surya kemudian mengucapkan terimakasih padaku dan teman lainnya karena telah membantu. Segera dibawakan pisang satu tandan sebagai tanda terimakasih. Sebenarnya ingin menolak, tapi tidak tega melihat ketulusannya. Lalu kami berpamitan.Â
Aku merasa aneh, seperti ada yang memandangku setajam belati. Aku menengok ke arahnya. Benar saja Reni sedang memandangku tak berkedip.Â
"Hei, ngapain kamu lihat aku? Naksir?" Ia kelimpungan, berusaha membantah perkataanku barusan.Â
"Aku? Naksir? Nggak lah! You're my brother. Remember?" katanya cepat. "Tapi kamu tadi hebat loh mas Reno. Aku salut. Sumpah!" lanjutnya. Kali ini berkata sambil tersenyum lebar.Â
"Sudahlah, kita pulang, yuk."Â