Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sketsa Rasa dalam Setangkai Mawar

26 Februari 2020   23:28 Diperbarui: 27 Februari 2020   05:37 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dok. Wahyu Sapta

"Mas Renooo... banguuun..!" suara melengking mengagetkan mimpiku. 

"Berisik, ada apa sih? Ini masih pagi." gerutuku sambil membuka pintu separo dan mata yang masih merem. Padahal baru saja aku bisa tertidur pukul tiga. Dan pukul lima ia sudah menggedor pintu kamar. 

"Ada yang butuh bantuanmu, sapi bang Surya mau melahirkan. Ayolah, kasihan, sepertinya ada kelainan pada proses kelahirannya." 

Sebenarnya ini bukan tugasku, karena untuk membantu proses kelahiran seekor sapi adalah tugas anak Kedokteran Hewan. Tapi di desa tempat KKN ini tak ada anak KH. Mereka terlanjur percaya, bahwa anak peternakan juga bisa membantu persalinan seekor sapi. 

Baiklah, aku segera mencuci muka, salat subuh dan cabut ke rumah bang Surya. Tentu saja dengannya, yang sedari tadi sabar menunggu. 

Di rumah bang Surya, sudah ada Pandu dan Salma. Terdengar sapi berteriak kesakitan. Kuelus kepala sapi pelan, kemudian sapi merasa agak tenang. Ia seperti tahu, akan segera dibantu proses kelahirannya. Lalu tak lama, anak sapi lahir dengan selamat. 

Bang Surya kemudian mengucapkan terimakasih padaku dan teman lainnya karena telah membantu. Segera dibawakan pisang satu tandan sebagai tanda terimakasih. Sebenarnya ingin menolak, tapi tidak tega melihat ketulusannya. Lalu kami berpamitan. 

Aku merasa aneh, seperti ada yang memandangku setajam belati. Aku menengok ke arahnya. Benar saja Reni sedang memandangku tak berkedip. 

"Hei, ngapain kamu lihat aku? Naksir?" Ia kelimpungan, berusaha membantah perkataanku barusan. 

"Aku? Naksir? Nggak lah! You're my brother. Remember?" katanya cepat. "Tapi kamu tadi hebat loh mas Reno. Aku salut. Sumpah!" lanjutnya. Kali ini berkata sambil tersenyum lebar. 

"Sudahlah, kita pulang, yuk." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun