Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Aku di Sarang Penyamun

3 Januari 2016   11:06 Diperbarui: 3 Januari 2016   12:35 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendung. Nampaknya akan segera turun hujan. Lalu berangin. Angin dingin berhembus agak kencang. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Suara hujan dari atas genteng terdengar cukup keras, berarti air yang turun dari langit lumayan banyak. Untung aku telah sampai ke tempat tujuan. 

Aku memandang langit-langit ruangan ini. Ada sedikit pulau akibat air hujan. Bocorkah? Tapi tak ada air yang menetes. Mungkin hanya tempias hujan yang terkena angin yang agak keras. Aku sendiri, lebih tepatnya merasa sendiri, di antara orang-orang yang gaduh. 

Sementara itu asap rokok tak henti-hentinya mengepul, hingga agak menyesakkan pernafasanku. Benar-benar sarang penyamun, batinku. Ramai suara mereka membahas sesuatu, sedangkan aku agak tak mengerti apa yang dibicarakan oleh mereka. Kalau saja Andara tak memintaku untuk menemaninya ke tempat ini, aku sebenarnya ogah. Toko Material. Kebanyakan pembelinya adalah para cowok. Ruangannya pun tak ber AC seperti toko lainnya. 

Dan entah kenapa, aku tertinggal langkah oleh Andara. Ia menghilang entah ke mana. Mungkin di ruang belakang yang hanya kelihatan sedikit dari balik pintu itu. Papa menyuruh kami membeli semen untuk menambal dinding dekat carport yang rusak sedikit akibat tertabrak mobil. Andara adikku satu-satunya belajar memasukkan mobil ke garasi, karena kurang hati-hati, maka ketika melewati carport, menyenggol dinding. Papa tidak marah, tapi disuruhlah Andara membeli semen dan menambalnya. Ia mengajak aku. 

"Kakak, ayolah antar aku, please..." mukanya memelas itu membuat aku tidak tega. 

"Okey, tapi nanti aku minta upah ya, belikan aku es krim rasa vanila..." 

"Siaap..beres..." 

Saat sampai di toko material, Andara malah menghilang, meninggalkan aku sendirian dan kebingungan. Aha.. Ada tempat nyaman di pojok toko. Kursi dan meja kecil. Lumayanlah untuk diriku sambil menunggu adikku. Bagi cewek sepertiku, tempat ini bagai sarang penyamun, dan sangat berisik. Aku tak menyukainya, tak ada satupun perbincangan mereka yang menarik bagiku. Untung tadi aku membawa ipad, sehingga aku agak terhibur.

Aku lebih suka memandang ipad kesayanganku daripada mendengarkan pembicaraan mereka. Nah, ini dia, dalam ipad ada permainan yang menarik. Aku semakin tenggelam dalam permainan. Seolah tak mendengar kegaduhan yang ada di sekitarku. Lalu, tiba-tiba aku seperti terseret dalam arus permainan ini. Ipad menelanku!! 

***

Hening!

Aku kebingungan. Tempat macam apa ini, seperti ruang yang tersekat-sekat, anehnya tak ada satu orangpun berada di tempat ini. Aku sendiri, benar-benar sendiri. 

"Halooo...apa ada orang..." seruku.

Tak ada jawaban. Yang ada adalah suara gema dari teriakanku tadi. Aku penasaran, lalu meneruskan langkahku menelusuri lorong-lorong yang di kanan kirinya adalah semacam ruangan tertutup. 

Semakin jauh aku melangkah, masih tak ada siapapun. Ketika kira-kira aku berjalan sepuluh langkah, suara gaduh lamat-lamat aku dengar. Semakin lama semakin jelas suara itu. 

***

Aku mengendap-endap untuk mengintai pada sebuah ruangan yang agak luas, arah dari mana suara gaduh tadi berasal. Di ruangan itu, ternyata ada kurang lebih sepuluh orang laki-laki bermuka serius, seperti sedang membicarakan sesuatu, penting! 

Salah satu dari mereka, berperawakan tegap, rambut cepak seperti militer. Ia dominan dalam pembicaraan antar mereka. Kalau boleh aku menduga, mungkin ia adalah pemimpin mereka. Aku semakin penasaran, mencoba mendekat, hingga tak sengaja aku menyenggol kursi yang ada di sebelahku. Ups, kepalang basah, waduh, senggolan tadi menimbulkan bunyi! Sontak mengagetkan mereka yang berada di ruangan itu. Aku takut, hingga terdiam kaku. 

"Siapa itu....!" suara menggelegar dari arah depanku. Aku memejamkan mata, takut.

Lalu ada suara yang aku kenal, "Oh, dia Nanies pak, dia juga anggota dari kita. Jangan khawatir, dia bagian pencatatan dokumen. Maaf, dia datang terlambat." suara Andara! 

Hah? Apa? Andara? Aku tersentak kaget! Dia berada di tempat ini? Oh God, perkumpulan macam apa ini. 

"Psst.. Anda.. Kamu ngapain? Psst... Ndaa.." tanyaku. 

Tapi Andara seperti tak menggubris suaraku. Bahkan ia tetap serius. Lalu tadi, ia memanggilku Nanies, tanpa embel-embel kakak, seperti biasanya ia memanggilku. Ada apa ini? 

"Okey Nanies, ini dokumen yang harus kamu masukkan dalam data. Jangan sampai ada yang tertinggal. Ini penting! Semua menyangkut perkumpulan kita." kata Pak Pemimpin yang berambut cepak. Dari bajunya, disisi dada kanan, terpampang tulisan agak besar, Johan. Oh, jadi ini pak Johan. 

"Baik pak Johan, segera saya laksanakan," jawabku. Meskipun aku masih bingung dengan apa yang terjadi, tapi aku merasa seperti terseret arus mereka, dan bisa mengikuti apa kemauan mereka. 

Demikian pula yang terjadi pada Andara. Tak biasanya ia bersikap tegas. Padahal selama ini ia manja padaku. Ia terlihat kokoh dan mandiri. Guratan wajahnya keras. Apa benar ia adikku? Entahlah, masa bodo. Aku harus menyelesaikan tugas, memasukkan data dokumen dari pak Johan. Segera, karena akan dikirim ke perkumpulan di kota lain. 

"Okey semuanya.. Jangan pernah merasa lemah, karena sebenarnya kita kuat! We will do all the best! Semangaat....!!" kata pak Johan.

Sontak semua menjawab, "Siaaap....!!" termasuk aku. 

***

Keesokan harinya... 

Ada meeting hari ini. Semua anggota perkumpulan harus ada di markas. Semua berjumlah sebelas orang. Rata-rata umur kami antara tujuh belas tahun hingga dua puluh tahun. Kecuali Pak Johan yang berumur kurang lebih tiga puluhan. Aku satu-satunya anggota perempuan. Semua anggota lainnya adalah laki-laki, termasuk pak Johan sebagai pemimpin dan Andara. Ternyata jabatan Andara termasuk tinggi, karena ia anggota ke 2 setelah pak Johan. Aku, anggota ke 11 dan baru tergabung kemarin. 

Misi kali ini adalah mengintai kelompok Banu, penjahat kelas kakap. Kelompok Banu termasuk lihai, karena sulit sekali dilacak. Tapi tidak untuk kelompok kami ini. Semua yang menjadi target harus berhasil diungkap. Motto kami, jangan pernah merasa lemah, karena kami sebenarnya kuat! Nah, tunggu apalagi? Let's do it!! 

Pak Johan yang datang belakangan, langsung memimpin meeting hari ini. Pertemuan kali ini tidak begitu resmi, bahkan pak Johan berbaju santai dan hanya bersendal jepit. Tidak seperti kemarin. Sepertinya ada penyamaran. Dan benar, pak Johan nantinya akan menyamar sebagai kuli panggul untuk mengintai komplotan Banu yang biasa mangkal di seputaran pasar. 

"Nanies, bagian kamu adalah menjaga di dalam mobil. Nanti yang menyetir Bagas. Oya, sebelum kita terjun ke lapangan, ada baiknya kuperkenalkan diriku, namaku Johan, anggota ke 1 dan kamu Nanies anggota ke 11." Aku mengangguk tegas dan berkata, "Siiap..!!"

"Maaf pula Nanies, jika kemarin kami menghipnotis kamu, seolah-olah kamu tertelan Ipad, padahal kami menginginkan kamu masuk dalam kelompok ini. Kamu masuk dalam kriteria. Pandai beladiri, pemberani dan cerdas. Kami membutuhkan anggota perempuan, lalu Andara mengusulkan kamu masuk anggota," lanjut pak Johan. 

Aku hanya manggut-manggut. Ada sedikit rasa bangga karena aku bisa masuk dalam misi kelompok ini. Aku juga menjadi paham, ternyata toko material ini hanya semacam penyamaran, karena di belakang toko, terdapat ruangan besar, tempat markas kami berada. 

"Baik, kembali ke masalah pokok, saya akan menjelaskan, bahwa Banu ini penjahat ulung, masuk dalam DPO dan licin. Kita harus hati-hati bila tak ingin gagal. Target kita nanti adalah di seputaran pasar dan terminal, karena bisnis Banu adalah perdagangan manusia untuk dijadikan pengemis dan beberapa bisnis kotor. 

***

Lapangan.. 

Ketika tiba saatnya kami terjun ke lapangan, entah kenapa, tiba-tiba pak Johan menyuruh kami mundur. Padahal pasukan telah sampai di tempat yang dimaksud. 

"Semua pasukan mundur... Kembali ke markas! Terlalu riskan, pasukan Banu terlalu rapat!" perintah pak Johan lewat penghubung yang dipasang dekat telinga masing-masing anggota. Kami tidak ada berani yang melawan, akhirnya kembali ke markas, di belakang toko material. 

Semua pasukan telah kembali ke markas. Semua berwajah tegang. Lebih-lebih pak Johan, mukanya agak merah dan menahan sesuatu. 

"Terlalu riskan...terlalu riskan..," serunya. Ia seperti memutar otak, untuk mencari cara, bagaimana langkah selanjutnya. Langkah apa yang harus kami lakukan untuk menghadapi kelompok Banu. Tiba-tiba tak disangka, pak Johan seperti baru memperoleh ide cemerlang. Wajahnya tertuju padaku. Waduh, aku mulai curiga, jangan-jangan... Oh no, no,no, no.... 

"Nanies, misi kali ini harus bergantung padamu. Please, kamu gadis yang tangguh dan pemberani. Kamu pasti bisa!" 

"Maksud pak Johan, aku harus...." 

"Ya, hanya kamu yang bisa melakukan penyamaran ini. Jangan khawatir, kami semua mendukungmu dari jauh. Seandainya posisimu dalam bahaya, pasti kami akan segera melindungimu. Yakin, bahwa kamu bisa dan berhasil. Banyak cara lain sebenarnya, tapi cari ini satu-satunya yang paling tepat." 

Aku bukan saja deg-degan, tapi juga gemetaran. Misi ini bergantung padaku. Bergantung pada penyamaranku. Padahal aku mendengar, bahwa kelompok Banu sangatlah sadis dan profesional. Ia tidak segan-segan menghabisi lawan yang mencoba menghalanginya. Oh God, aku harus bisa, meski hatiku dag dig dug tak karuan, karena ini adalah pengalaman pertamaku.

***

Misi Berjalan...

Aku melakukan penyamaran dengan memakai baju compang-camping. Sebenarnya aku tidak nyaman dengan kondisi yang demikian. Apalagi baju ini sengaja diolesi bau-bauan yang tak sedap agar terkesan jorok. Tapi, bagaimanapun aku harus melakukan ini, demi misi membekuk komplotan Banu yang super jahat.

Aku mengendap-endap di sekitar terminal. Menyelusuri warung-warung di sekeliling terminal. Satu per satu warung aku kunjungi. Tentu saja bukan untuk wisata kuliner. Kali ini aku dalam penyamaran sebagai peminta-minta. Ada salah satu Warung Tegal. Sebenarnya aku ingin sekali mampir dan membeli, duduk manis di dalam warung dan menikmati sepiring nasi rames, beberapa iris empal goreng, perkedel kentang dan tempe yang digoreng kering. Tak lupa ditemani segelas es teh. Nikmat sekali. Saat aku melamun, seseorang membentakku.

“Hei, siapa kamu? Pengemis baru? Berani-beraninya mengemis di sini. Siapa nama kamu?”

Deg!

Aku kaget, ini pasti Banu yang diceritakan pak Johan. Perawakannya yang super gempal dengan badan penuh tattoo di bagian lengannya.

“Maaf pak, saya lapar..” kataku memelas. Aku berusaha untuk berani, padahal sebenarnya takut sekali mendengar bentakannya tadi.

“Tidak apa. Sini, mari ikut makan bersamaku, “kata orang tadi.

“Namaku Banu, biasa dipanggil Kang Banu di sekitar area ini. Sebaiknya kamu ikut aku.”

Betul sekali, dia Banu! Memang pertama kali ia merekrut pengemis dengan cara merayu lalu kemudian mengikutinya dan setelahnya diancam untuk tidak melawan.

Setelah kami makan, kemudian aku mengikuti Banu ke markasnya. Ini yang aku tunggu. Markas Banu! Karena ia sering kali berpindah markas untuk menghindari kejaran petugas kepolisian yang ingin menangkapnya. 

***

Berhasilkah?

Aku berada  di dalam sebuah ruangan sempit, hanya berukuran 2 x 3 meter. Tembok dalam keadaan lembab dan rontok, tanda bahwa rumah ini tidak pernah dirawat dalam jangka waktu yang lama. Bersama denganku beberapa orang. Seorang ibu dan empat anak umur enam tahun hingga sepuluh tahun.

Aku harus bisa mengajak mereka untuk keluar ruangan. Mereka kebanyakan sudah terlalui lemah untuk melangkahkan kaki, karena yang di ruangan ini sebagian untuk mereka yang sakit.

Beberapa jam yang lalu, aku dimasukkan ke ruangan ini, dengan cara di seret. Aku agak melawan, karena ada anak buah Banu yang bertindak kurang ajar padaku. Kucakarlah ia. Lalu aku dimasukkan ke ruangan ini.

Sementara itu, alat komunikasiku dengan pak Johan jatuh, saat aku melawan anak buah Banu.

Key, fine! Komplitlah! Kali ini aku harus bisa menentukan keputusan sendiri.

Beruntunglah seorang ibu, yang ternyata bernama bu Endang bisa diajak bekerja sama untuk berpikir. Kami berpikir keras, akhirnya kami menemukan celah di antara pintu. Celah itu yang menurutku bisa untuk membuka pintu. Kunci itu masih menempel di pintu dari arah sebelah luar. Bego sekali anak buah Banu. Meninggalkan kunci di pintu. Setelah dirasa aman, kami yang ada di ruangan ini beraksi.

Klek. Berhasil! Kunci pintu berhasil kubuka. Dengan pelan-pelan aku membuka pintu. Kuintip dari dalam, ternyata tak ada orang di luar.

Segera kupersilahkan anak-anak untuk mengikutiku keluar pelan-pelan, lalu bu Endang menyusul.

Ada semacam lorong, dan pintu. Sepertinya jalan keluar. Aku dengan langkah waspada membuka pintu. Benar saja, begitu aku membuka pintu, anak buah Banu langsung memberiku pukulan dahsyat. Untung aku bisa menghindar. Anak-anak menjerit ketakutan. Aku bertarung melawan anak buah Banu. Tak sia-sia aku berlatih beladiri, sehingga dengan mudah ia kukalahkan. Tapi, suara gaduh yang ditimbulkan tadi mengundang perhatian Banu dan anak buah lainnya.

Waduh, sebanyak itu mana bisa aku melawan. Badan mereka rata-rata gempal dan kokoh. Aku terdiam, lalu berusaha melindungi anak-anak dan bu Endang.

"Hei, kalian berusaha kabur ya?" kata salah seorang dari mereka. Anak-anak semakin ketakutan. Aku tak bisa membantu terlalu banyak, mereka terlalu kuat. Sedangkan komunikasiku dengan Kelompok Pak Johan terputus. Aku nyaris putus asa. Kami terpojok!

"Sudahlah kamu menyerah, gadis kemarin sore berani melawan Kang Banu bah..!"

Di saat benar-benar terpojok, ada suara gaduh dari luar rumah.

"Hai Banu, keluar, menyerahlah! Rumah ini sudah dikepung! Kalian tidak bisa kemana-mana!" Suara menggelegar itu pasti suara pak Johan.

Banu marah besar, dia melotot ke arahku, sambil berkata, "Ini pasti gara-gara kamu!" Sambil mengeluarkan senjata badik dari balik sakunya. Tentu saja, bidikannya adalah aku.

Aku menjerit.

Duaar....!!!!

Suara senapan meletus. Dari arah depan, mengenai kaki Banu. Syukurlah. Tepat waktu. Banu tersungkur, tepat ketika ia hampir menyentuh lenganku dengan badiknya. Pak Johan memang penembak jitu. Tembakannya tepat sasaran dan tepat waktu.

*** 

Akhirnya... 

Banyak orang berkerumun di rumah markas penjahat Banu. Semua korban yang tersekap dalam rumah semuanya selamat. Pak Johan dan seluruh anggota Kelompok Misi ini memberikan aku ucapaan selamat. Andara juga.

"Kakak, kamu hebat..!"

Aku hanya nyengir. Sehabis tegang tadi, aku hampir tak bisa berkata-kata. Pak Johan menghampiriku.

"Nanies, ada yang ingin aku bicarakan. Atasan kita, atasan dari Kelompok Misi kita ini ingin bertemu denganmu." kata Pak Johan.

Jadi? Kelompok Misi ini memiliki atasan, yang merancang semua ini? Siapa dia? Pasti orangnya pintar dan gagah. Pak Johan menuntunku ke suatu tempat. Mana? Mana orangnya? Yang ada juga cuma Papa. Papa pasti menjemput aku, karena dia pasti mencemaskanku. Ketika hampir mendekati Papa, pak Johan memberi hormat, dan menyalami beliau. Kok?

"Nanies, beliau inilah yang aku maksud."

Jadi? Papa? Pantesan. Sejak awal aku sudah curiga. Mengapa juga Andara disuruh ke toko Material, padahal biasanya minta tolong pada pak tukang.

"Papa....?"

"Sini sayang, kamu hebat!" Papa memelukku erat.

***

Tak lama, aku telah sampai rumah. Mama menyambutku dengan penuh cemas. Setelah mencium Mama sekilas, aku segera kabur. Dari tadi perutku keroncongan. Aku menuju ruang makan. Waaooow... Di meja makan sudah tersaji berbagai macam makanan yang tersaji di atas meja makan. Semuanya enak, semuanya mak nyus. Langsung aku ambil piring dan makan. Andara tergelak.

"Seperti tak pernah makan satu tahun saja kakak ini.. Hahaha.. Pah, besok ajak kak Nanies ke pemancingan Sendang, kita mancing sepuasnya. Kita makan ikan gurami asam manis dan ikan bakar sepuasnya.."

"Beres...kalian semua anak papa yang pemberani dan cerdas."

Kami berempat tertawa bersama. 

Selesai...

 

Sumber Gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun