Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Aku di Sarang Penyamun

3 Januari 2016   11:06 Diperbarui: 3 Januari 2016   12:35 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Namaku Banu, biasa dipanggil Kang Banu di sekitar area ini. Sebaiknya kamu ikut aku.”

Betul sekali, dia Banu! Memang pertama kali ia merekrut pengemis dengan cara merayu lalu kemudian mengikutinya dan setelahnya diancam untuk tidak melawan.

Setelah kami makan, kemudian aku mengikuti Banu ke markasnya. Ini yang aku tunggu. Markas Banu! Karena ia sering kali berpindah markas untuk menghindari kejaran petugas kepolisian yang ingin menangkapnya. 

***

Berhasilkah?

Aku berada  di dalam sebuah ruangan sempit, hanya berukuran 2 x 3 meter. Tembok dalam keadaan lembab dan rontok, tanda bahwa rumah ini tidak pernah dirawat dalam jangka waktu yang lama. Bersama denganku beberapa orang. Seorang ibu dan empat anak umur enam tahun hingga sepuluh tahun.

Aku harus bisa mengajak mereka untuk keluar ruangan. Mereka kebanyakan sudah terlalui lemah untuk melangkahkan kaki, karena yang di ruangan ini sebagian untuk mereka yang sakit.

Beberapa jam yang lalu, aku dimasukkan ke ruangan ini, dengan cara di seret. Aku agak melawan, karena ada anak buah Banu yang bertindak kurang ajar padaku. Kucakarlah ia. Lalu aku dimasukkan ke ruangan ini.

Sementara itu, alat komunikasiku dengan pak Johan jatuh, saat aku melawan anak buah Banu.

Key, fine! Komplitlah! Kali ini aku harus bisa menentukan keputusan sendiri.

Beruntunglah seorang ibu, yang ternyata bernama bu Endang bisa diajak bekerja sama untuk berpikir. Kami berpikir keras, akhirnya kami menemukan celah di antara pintu. Celah itu yang menurutku bisa untuk membuka pintu. Kunci itu masih menempel di pintu dari arah sebelah luar. Bego sekali anak buah Banu. Meninggalkan kunci di pintu. Setelah dirasa aman, kami yang ada di ruangan ini beraksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun