Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Aku di Sarang Penyamun

3 Januari 2016   11:06 Diperbarui: 3 Januari 2016   12:35 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Klek. Berhasil! Kunci pintu berhasil kubuka. Dengan pelan-pelan aku membuka pintu. Kuintip dari dalam, ternyata tak ada orang di luar.

Segera kupersilahkan anak-anak untuk mengikutiku keluar pelan-pelan, lalu bu Endang menyusul.

Ada semacam lorong, dan pintu. Sepertinya jalan keluar. Aku dengan langkah waspada membuka pintu. Benar saja, begitu aku membuka pintu, anak buah Banu langsung memberiku pukulan dahsyat. Untung aku bisa menghindar. Anak-anak menjerit ketakutan. Aku bertarung melawan anak buah Banu. Tak sia-sia aku berlatih beladiri, sehingga dengan mudah ia kukalahkan. Tapi, suara gaduh yang ditimbulkan tadi mengundang perhatian Banu dan anak buah lainnya.

Waduh, sebanyak itu mana bisa aku melawan. Badan mereka rata-rata gempal dan kokoh. Aku terdiam, lalu berusaha melindungi anak-anak dan bu Endang.

"Hei, kalian berusaha kabur ya?" kata salah seorang dari mereka. Anak-anak semakin ketakutan. Aku tak bisa membantu terlalu banyak, mereka terlalu kuat. Sedangkan komunikasiku dengan Kelompok Pak Johan terputus. Aku nyaris putus asa. Kami terpojok!

"Sudahlah kamu menyerah, gadis kemarin sore berani melawan Kang Banu bah..!"

Di saat benar-benar terpojok, ada suara gaduh dari luar rumah.

"Hai Banu, keluar, menyerahlah! Rumah ini sudah dikepung! Kalian tidak bisa kemana-mana!" Suara menggelegar itu pasti suara pak Johan.

Banu marah besar, dia melotot ke arahku, sambil berkata, "Ini pasti gara-gara kamu!" Sambil mengeluarkan senjata badik dari balik sakunya. Tentu saja, bidikannya adalah aku.

Aku menjerit.

Duaar....!!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun