Kayesa Asma Fatina Arsyada, si gadis tomboy yang kerap dijuluki sang perusuh itu, sedang berjalan mengendap-endap menuju rumah mewahnya yang berada di kawasan perumahan elit. Aturan untuk tidak pulang malam, telah berhasil ia langgar. Dan kali ini, bukan hanya satu aturan yang ia langgar, namun ditambah dengan dia yang diantar oleh seorang pria, yang merupakan pacarnya selama 5 bulan itu. Lengkap sudah kemarahan yang akan menyambutnya.
"Dari mana saja kamu?"
Belum sempurna langkah yang ia tapakkan di marmer mewah rumahnya, suara penuh intimidasi menyambut. Suara siapa lagi kalau bukan papanya yang kelewat protective terhadap dirinya. Karena dia adalah putri satu-satunya dan yang paling bontot di keluarga Arsyada.
"Eh, Papa." Ekspresi terkejut tidak dapat ia sembunyikan. Misinya benar-benar gagal untuk dapat memasuki rumah tanpa interogasi. Dia mengira papanya akan sangat sibuk dan memutuskan untuk lembur di kantor seperti biasa. Namun kali ini, Dewi Fortuna tidak berpihak kepadanya.
"Papa tanya, dari mana kamu?" Suara penuh penekanan berhamburan masuk dan memenuhi gendang telinganya, membuat bulu kuduk Kayesa merinding. Karena tiba-tiba aura menyeramkan menyelinap di sela-sela udara yang beterbangan di sekitarnya.
"Itu, Pa. Da... Dari rumah temen. Iya. Habis kerja kelompok," jawabnya gagap. Jelas sekali kebohongan yang coba ia sembunyikan.
"Kamu pikir Papa akan percaya gitu aja?"
Benar sekali. Mana mungkin papanya itu akan percaya dengan jawaban penuh kesangsian yang dia utarakan tadi.
"Aduh, Pa. Perut Kayesa sakit banget. Kayesa lapar." Kayesa mencoba mencari cara agar dapat keluar dari zona bahayanya. Namun sayang, sang papa tampak tidak peduli dengan alibi yang putrinya lontarkan. Dia malah memasang tampang datar yang tampak begitu menyeramkan.
"Kayesa, duduk!" Perintah mutlak yang harus dituruti.
"Iya, Pa."
Dengan patuh Kayesa menuruti perintah papanya. Karena dia tahu, untuk membantah pun tidak akan ada gunanya.
"Siapa yang mengantar kamu tadi?"
Kayesa langsung kicep. Pertanyaan pertama saja belum sanggup ia jawab. Dan pertanyaan kedua sudah menyambutnya. Pertanyaan yang lebih sulit dari sebelumnya.
"Teman aku, Pa."
"Papa tahu kalau dia itu pacar kamu. Jadi, ini kerjaan kamu kalau Papa gak ada di rumah? Pantas aja kelakuan kamu makin buruk tiap harinya. Papa gak habis pikir, ya, sama kamu. Sekarang, Papa kasih pilihan. Putusin dia atau kamu akan menyesal." To the point. Perintah di atas perintah.
"Dia bukan pacar aku, Pa. Dia cuma temen aku."
"Yasudah kalau kamu gak mau dengar omongan Papa. Papa udah peringatkan sejak awal."
"Pa, jangan libatin orang lain dalam permasalahan kita."
"Dan orang lain yang kamu maksud itu adalah penyebab utama dari permasalahan ini. Kayesa, kamu itu udah kelas 3 SMA. Tinggalkan semua pergaulan gak bener kamu. Fokus buat sekolah, supaya nilai kamu bagus. Bukannya kamu pengen kuliah di universitas favorit yang mematok nilai tinggi?"
Kayesa terdiam pasrah. Papanya benar. Tidak sepantasnya dia masih bermain-main, sedang masa depan selalu mengintainya. Tapi, dia juga ingin menikmati masa remajanya dengan sedikit mengukir kisah. Bukankah kenakalan akan menjadi pengalaman yang akan melahirkan kenangan? Ah, tidak. Kenakalan akan menimbulkan penyesalan jika terus-menerus dilakukan.
"Oke, Fine. Kay bakal jauhin Aldo," putus Kayesa.
"Oh, jadi namanya Aldo." Raut wajah papanya menunjukkan makna tersirat yang Kayesa yakini ada ide terselubung yang coba papanya rangkai. Ide yang pastinya akan merugikan sebelah pihak.
"Pa, jangan macam-macam. Kay bakalan mutusin Aldo. Papa tenang aja."
"Papa tunggu kabar baiknya besok. Dan Papa harap, tidak ada alasan lagi untuk kamu pulang malam dan diantar oleh pria yang gak jelas asal usulnya."
Kayesa berlalu tanpa repot-repot menjawab pernyataan papanya. Sungguh, dia selalu merasa terpenjara dengan segala aturan yang papanya rangkai hanya untuknya. Padahal, untuk dua kakak laki-lakinya, tidak pernah ada aturan yang mengikat mereka. Mereka bebas melakukan apa pun, asalkan tidak merugikan siapa saja dan tidak kelewat batas.
Kayesa memasuki kamarnya dengan langkah gontai. Selesai sudah kisah backstreet yang sudah ia jaga selama 5 bulan terakhir. Padahal biasanya, tidak ada kejadian seperti tadi selama ia berpacaran dengan Aldo. Karena, Aldo memang sering mengantarnya pulang.
Kayesa mengunci rapat kamarnya. Papanya sudah keterlaluan dalam mencampuri urusannya. Dia paham kalau itu adalah bentuk kasih sayang papanya, tapi bukan begitu caranya. Dia sudah remaja, dan sudah sepatutnya ia melangkah mengikuti alur yang dia anggap benar. Bukan dikekang seperti ini.
"Kapan lagi aku ngerasain apa yang teman aku rasain, kalau pacaran aja dilarang." Air mata menerobos keluar tanpa ia minta.
"Ah, aku gak boleh cengeng. Sepertinya ini memang yang terbaik buat aku."
Dia lantas mencoba menghubungi Aldo lalu mengutarakan maksudnya untuk memutuskan hubungan mereka. Dan benar saja, Aldo dengan tegas menolaknya.
"Gak. Kamu apa-apaan, sih. Aku gak mau putus." Sontak saja, Aldo menolak keras permintaannya itu.
"Ini demi masa depan kita, Aldo."
"Enggak. Aku bakal ngomong sama Papa kamu."
"Eh, jangan. Kamu gak bakalan nger-."
Tut...Tut..
Obrolan mereka diputus oleh Aldo sebelum Kayesa menyelesaikan penjelasannya. Kayesa hanya bisa pasrah akan apa yang akan terjadi nanti.
Keesokan harinya, Aldo dengan beraninya menghadap papa Kayesa dan mengutarakan maksudnya untuk menjemput Kayesa. Dan jelas saja, papa Kayesa memakinya habis-habisan. Aldo terdiam. Bukan diam dalam artian mengerti, namun diam dengan menyimpan segala dendam yang coba ia samarkan dalam gerakan tangannya yang tanpa sadar telah mengepal sempurna. Kayesa yang melihat kejadian tersebut langsung melerai.
"Udah. Aldo kamu pergi aja duluan ke sekolah. Aku bareng sama papa." Aldo yang sudah kepalang emosi hanya bisa menurut.
"Papa udah keterlaluan. Kay kecewa sama papa."
Kayesa lantas pergi dengan mobil yang baru papanya belikan untuknya.
Setelah kejadian itu, baik Aldo maupun Kayesa benar-benar menjauh dan tampak acuh satu sama lain. Bahkan ketika tidak sengaja bertemu di tengah jalan pun, mereka memasang tampang cuek dan tidak saling peduli. Dan kisah mereka memang telah berakhir.
-------------------------------------------------------------------
4 tahun menjelang setelah peristiwa yang sangat menguji kesabaran itu, Kayesa telah tumbuh menjadi gadis yang menawan lagi salihah. Dia baru saja diwisuda dengan nilai memuaskan atau yang biasa disebut cumlaude. Telah banyak kisah yang ia torehkan dalam sejarah hidupnya di 4 tahun terakhir.
Setelah tamat SMA, ia memutuskan untuk berkuliah di universitas bergengsi di ibukota. Bersyukur nilai akhir yang ia peroleh tidak terlalu buruk. Jadi, ia diizikan untuk berkuliah di universitas yang begitu ia idam-idamkan.
Di titik itulah, kisah baru dimulai. Dengan paksaan teman sejurusannya, Kayesa mengikuti organisasi rohis (kerohanian islam) di kampusnya. Organisasi yang pada awalnya tidak pernah ada dalam planning hidupnya. Namun, tanpa dapat ia duga, paksaan itu menjadi sesuatu yang begitu ia syukuri.
Di organisasi itulah, ia bertemu dengan pria yang saleh luar biasa, namun pedas dalam bertutur kata. Terkenal dingin dan sangat cuek. Namun soal kepintaran, sungguh tidak perlu diragukan lagi. Cerdas lebih tepatnya. Dialah Fathurrahman Asy-Syakiri, si ketua rohis yang terkenal tampan seantero kampus.
Kesan pertama Kayesa bertemu dengan Fathur tidak dapat dikatakan baik. Karena Fathur dengan beraninya mengatai Kayesa perempuan aneh. Dikarenakan Kayesa yang mendaftar sebagai anggota rohis dengan rambut yang masih berkibar dan tanpa ada sehelai kain pun yang menutupi rambut indahnya. Tentu saja Fathur mengatainya aneh. Bagaimana mungkin, seseorang yang memutuskan untuk menjadi anggota rohis, menggunakan pakaian yang sangat tidak islami. Sangat kontras dengan anggota-anggota rohis pada umumnya. Yang dikenal berpakaian syari dan tertutup.
Dan saat itu, tanpa keduanya sadari, Allah telah membisikkan hidayah-Nya kepada Kayesa melalui Fathur. Sejak itulah, Kayesa memutuskan untuk memakai hijab meski belum sempurna. Karena bagaimanapun, seseorang butuh proses untuk keluar dari zona nyaman yang sejak awal merajainya. Segala sesuatu itu butuh proses, tidak ada yang instan. Bahkan, mi yang katanya instan pun, masih harus diproses dahulu sebelum dapat dinikmati.
Hidayah itu benar-benar dia dapati. Hanya butuh dua bulan untuk dia menyempurnakan pakaiannya dengan yang syari. Sangat nikmat. Apalagi setelah dia memutuskan untuk mengikuti organisasi rohis, pengajian kerap dia datangi. Karena memang, rohis tidak terlepas dengan yang namanya kajian islam.
Kayesa telah berubah total dalam hal keimanan. Dia sukses meninggalkan kehidupan suramnya dulu. Bahkan, tidak jarang ia menangis ketika selesai salat tahajud di sepertiga malamnya. Menangisi dosa-dosanya yang dahulu. Terutama dosa pacaran. Karena sudah jelas di Al-Quran bahwa mendekati zina saja sudah dilarang. Dan pacaran adalah salah satu pekerjaan dengan peluang zina terbesar.
Selama kuliah, Kayesa benar-benar menjadi sosok yang berbeda. Dia telah memutuskan untuk mengejar cinta Allah. Karena sebaik-baik cinta adalah cinta yang coba dicapai dari sang khalik.
Dia belajar dari kisah Zulaikha. Yang ketika dia mengejar cinta Yusuf, maka Allah jauhkan Yusuf darinya. Tetapi ketika dia mengharap cinta Allah. Maka dengan sendirinya Allah datangkan Yusuf padanya.
Kisah ini sangat menginspirasinya. Dia tidak pernah lupa untuk mendoakan seseorang yang terbaik untuk menjadi imamnya kelak. Tanpa menyebut nama, karena dia yakin itu hanya akan melukainya jika kelak bukan nama itulah yang menjadi pilihan Allah untuknya. Nama yang sudah dituliskan di lauhul mahfuzh sebelum penciptaan alam semesta.
Hingga kisah yang tak pernah ia duga pun hadir. Seminggu setelah wisudanya digelar, papanya datang dengan membawa kabar yang menurutnya menggembirakan.
"Kay, nanti malam akan ada tamu. Kamu siap-siap, ya. Dandan yang cantik."
"Kenapa Kay harus dandan? Kan cuma makan malam biasa?" tanyanya mulai curiga ada yang tidak beres.
"Udah gak usah banyak tanya. Yang penting kamu turuti saja apa yang Papa perintahkan."
"Papa jangan aneh-aneh, deh. Kay curiga, nih."
"Curigaan terus, sih, kamu. Sama Papa sendiri juga."
"Papa aneh." Dia pun berlalu. Dia yakin papanya sedang menyimpan sesuatu yang tidak sesederhana ucapannya.
"Ada apa, ya?"
Dia pun memutuskan untuk melupakan kecurigaannya hingga malam menjelang. Dan dugaannya benar. Papanya sedang merencanakan sesuatu.
"Hai, Farhan Arsyada. Senang berjumpa dengan kamu lagi." Suara lelaki seusia papanya terdengar jelas. Kayesa yang berada di kamar buru-buru keluar dan memastikan kecurigaannya.
Langkahnya terhenti. Bukan karena pria yang kini bersama ayahnya itu, namun karena seorang lelaki yang berdiri persis di belakang pria yang sedang tertawa gembira bersama papanya. Dia Aldo, mantan pacarnya. Ada urusan apa dia ke sini?
"Kay, sini. Sambut tamu Papa. Panggil Mama juga!" Tanpa bisa membantah, Kayesa menuruti papanya. Dia duduk dengan kikuk bersama mamanya di dekat papanya.
"Kenalin, ini Om Rahman. Teman Papa." Kayesa lalu menangkup kedua tangannya, tanda bahwa ada sekat yang disebut mahram yang Kayesa coba hormati. Beruntung Rahman dapat memahaminya.
"Wah, putrimu banyak berubah, Farhan." Rahman menunjukkan kekagumannya.
"Iya, alhamdulillah. Kayesa telah tumbuh menjadi gadis salihah."
Kayesa bergerak resah. Bukan karena perkataan papanya barusan yang mengarah kepada pujian. Namun, karena pandangan lelaki yang berseberangan dengannya itu. Pandangan yang terang-terangan menunjukkan ketertarikan. Ketika dia pandang balik, pria itu memalingkan wajahnya lalu beristigfar. Kayesa tersenyum dan bersyukur bahwa mantannya itu juga telah berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Percakapan terus mengalir, hingga Rahman mengutarakan maksud kedatangan mereka yang dapat membuat jantung Kayesa berdebar tak menentu.
"Baik, sepertinya langsung saja, ya. Kami datang ke sini dengan maksud baik, ingin meminang putrimu, Kayesa, untuk putraku Aldo."
Kayesa terkejut. Tidak menyangka kejadian ini sangatlah nyata. "Benarkah dia yang akan menjadi jawaban di sepertiga malamku? Bagaimana bisa? Kami sudah lama sekali tidak bertukar kabar. Setelah aku memutuskan untuk berkuliah di ibukota dan dia mengambil beasiswa di Turki. Janji Allah nyata." Kayesa membatin.
"Aku sebagai Papanya, menerima saja. Namun, ada baiknya kalau Kayesalah yang akan menjawab pinangan ini. Karena yang akan mengarungi bahtera rumah tangga adalah Kayesa, bukan aku atau mamanya. Bagaimana Kayesa?"
"Bolehkah aku meminta waktu seminggu untuk menjawab? Aku ingin istikharah dahulu agar jawaban yang akan aku berikan nanti berdasarkan rida Allah. Bukan karena inginku semata," pintanya sungguh-sungguh.
"Baiklah, kami akan kembali seminggu kemudian. Aku juga ingin menguatkan kembali keyakinanku, meski sudah berulang kali aku beristikharah dan tetap kamulah yang hatiku tuju," jawab Aldo.
Kayesa terharu. Air matanya hampir saja mengalir. Tidak menyangka akan seindah ini akhir kisahnya. Dia yang disebut mantan dengan beraninya melamar tepat setelah mereka menyelesaikan study masing-masing. Dan mereka kembali dipertemukan ketika telah sama-sama memantaskan diri. Benar-benar cinta yang sempurna.
Selama seminggu, Kayesa fokus untuk meminta pendapat Allah atas khitbahan Aldo. Dia ingin Allah ikut andil dalam setiap jengkal masalah hidupnya. Dan sempurna sudah istikharahnya. Hati Kayesa telah memilihnya.
"Bismillah. Aku memutuskan untuk menerima pinangan Aldo atas diriku."
Tak disangka setetes air mata keluar dari mata Aldo. Air mata yang sempat Kayesa lihat sesaat sebelum ia memutuskan untuk menghapusnya kasar. Kayesa yakin, air mata itu adalah bentuk bahagia yang coba ia tampilkan.
Sesaat setelah mereka pulang dengan membawa kabar bahagia, Kayesa mencoba bertanya kepada papa perihal Aldo. Karena tepat 5 tahun yang lalu, Aldo adalah sosok yang sangat papanya hindari. Namun sekarang, mengapa begitu berbeda?
"Sebulan yang lalu, Papa menemui Om Rahman di kantornya. Sudah lama sekali kami tidak bertemu, sejak Papa wisuda. Kami lantas bernostalgia dengan semangatnya. Selang beberapa waktu, putranya yang katanya kuliah di Turki hadir. Dan terkejutnya Papa, ternyata dia adalah mantan pacar kamu yang pernah Papa maki. Papa sangat malu dan merasa bersalah. Papa meminta maaf kepadanya. Papa pikir, dia akan balik memaki Papa. Namun nyatanya tidak. Dia malah merangkul Papa dan menanyaimu. Dia belum bisa melupakanmu. Bahkan setelah dia kembali dari Turki sekali pun. Dia lalu memutuskan untuk datang ke rumah dan melamarmu."
Masyaallah. Kisah yang sangat indah. Cinta yang sebenarnya. Namun Kayesa yakin, semua ini berkat tangan Tuhan yang meridai semua kisah ini. Aldo yang coba merayu Tuhan dengan pinta di setiap doanya dan Kayesa yang berusaha mendapatkan cinta-Nya agar kelak dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dan benar saja, tidak ada yang mengecewakan jika melibatkan Allah. Karena cinta-Nya adalah tujuan yang akan mendatangkan keridaan..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H