Dengan patuh Kayesa menuruti perintah papanya. Karena dia tahu, untuk membantah pun tidak akan ada gunanya.
"Siapa yang mengantar kamu tadi?"
Kayesa langsung kicep. Pertanyaan pertama saja belum sanggup ia jawab. Dan pertanyaan kedua sudah menyambutnya. Pertanyaan yang lebih sulit dari sebelumnya.
"Teman aku, Pa."
"Papa tahu kalau dia itu pacar kamu. Jadi, ini kerjaan kamu kalau Papa gak ada di rumah? Pantas aja kelakuan kamu makin buruk tiap harinya. Papa gak habis pikir, ya, sama kamu. Sekarang, Papa kasih pilihan. Putusin dia atau kamu akan menyesal." To the point. Perintah di atas perintah.
"Dia bukan pacar aku, Pa. Dia cuma temen aku."
"Yasudah kalau kamu gak mau dengar omongan Papa. Papa udah peringatkan sejak awal."
"Pa, jangan libatin orang lain dalam permasalahan kita."
"Dan orang lain yang kamu maksud itu adalah penyebab utama dari permasalahan ini. Kayesa, kamu itu udah kelas 3 SMA. Tinggalkan semua pergaulan gak bener kamu. Fokus buat sekolah, supaya nilai kamu bagus. Bukannya kamu pengen kuliah di universitas favorit yang mematok nilai tinggi?"
Kayesa terdiam pasrah. Papanya benar. Tidak sepantasnya dia masih bermain-main, sedang masa depan selalu mengintainya. Tapi, dia juga ingin menikmati masa remajanya dengan sedikit mengukir kisah. Bukankah kenakalan akan menjadi pengalaman yang akan melahirkan kenangan? Ah, tidak. Kenakalan akan menimbulkan penyesalan jika terus-menerus dilakukan.
"Oke, Fine. Kay bakal jauhin Aldo," putus Kayesa.