"Oke, tunggu sebentar bu," Sahut Ara sambil berlari kecil menuju kamar mandi.
Sepulang salat jama'ah, mereka bertiga bersiap untuk makan malam. Alya sudah duduk di kursi kebesarannya. Cekatan Ara membantu ibu menata hidangan. Kepul uap masakan ibu sontak menusuk-nusuk hidung. Terlihat cuping hidung Lia yang bergerak-gerak pertanda ia sudah tidak sabar menanti.
"Wah, semua makanannya kesukaanku dan Kak Ara. Ada ayam kecap, sayur sop, sambal tempe, dan terong," Seru Alya sambil tersenyum.
"Iya, ibu sengaja memasak kesukaan kalian. Ayo cepat makan, jangan lupa berdo'a," ujar ibu.
Suasana makan malam itu semakin terasa hangat. Ibu dengan bijaksana memberikan nasihat-nasihat pada Ara dan Alya. Mereka harus saling membantu, mendukung, dan jangan bertengkar bila sudah besar nanti. Ara harus selalu membimbing adiknya bila ibu sedang tidak di rumah. Yang dinasihati pun nampak manggut-manggut .
Selesai makan, Ibu Lili melakukan ritual wajib yang sangat ia gemari. Dengan terampil ia mengambil buku diary yang selalu tersimpan di rak kamarnya. Di situlah ia menuangkan berbagai keluh-kesah yang membebaninya. Menulis baginya adalah membuang hal-hal negatif yang bisa membuatnya  stres.
"Ibu kok belum tidur?" tanya Ara kepada ibunya yang tengah sibuk menulis di kursi ruang tamu.
"Ehh! Bikin ibu kaget saja. Ini masih menulis, sebentar lagi ibu tidur."
Ara merasa heran dengan tingkah ibunya. Biasanya beliau hanya akan menulis sampai jam 21.00 WIB. Namun, hingga jam 23.00 WIB , ibunya itu masih menekuri lembaran putih di meja.
 "Ibu cuma keasikan aja menulis sampai lupa waktu. Kamu kenapa belum tidur?" ujar ibu menjawab tatapan heran Ara.
"Ara habis buang air kecil, bu."