"Oh, iya. Alya kalau ada kesulitan di pelajaran bilang yaa. Nanti Kakak bantu."
"Siap Kak!"
Usai belajar, Ara dan adiknya beranjak menuju kamar masing-masing. Namun, Ara memutuskan tidak langsung tidur. Ia memilih membuka laptop dan meneruskan naskah cerpennya yang belum selesai. Tepat pukul 02.00 dini hari, Ara menyudahi pekerjaannya. Ia melangkah pergi ke dapur untuk mengambil minum. Ketika hendak kembali ke kamar, lamat-lamat Ara mendengar suara tangisan dari arah kamar ibu. Mendengar itu, Kerongkongannya serasa tercekik.
*** Â
Keesokan paginya, Ibu, Ara, dan Alya tampak rapi dengan seragam masing-masing. Mereka bertiga berkumpul di meja makan dan sibuk menikmati sarapan yang sudah disiapkan Ibu. Perihal makan, membersihkan rumah, dan lainnya ibu selalu disiplin. Ara dan Lia sudah terbiasa untuk saling berbagi, dan membantu satu sama lain. Sudah lama mereka hidup bertiga, karena sang ayah bekerja di luar kota.
"Alya, nanti sekolah diantar Kakak ya. Karena kebetulan hari ini ibu ada acara rapat di kecamatan. Semua guru diminta untuk hadir. Jadi tidak bisa mengantar kamu," ucap ibu di sela-sela mereka sedang menikmati sarapan.
"Iya, bu."
Setelah mengantar adiknya ke sekolah, Ara melanjutkan perjalanan ke kampus. Klakson dan bising mesin kendaraan menjadi teman setianya. Namun, Ara seperti tidak fokus memperhatikan jalan. Pikirannya terus melayang pada kondisi ibu yang membuatnya tidak tenang. Tiba-tiba ia di kagetkan dengan klakson, karena ia hampir saja menerobos lampu merah. Malu sekali rasanya, saat ia tahu motornya berada di depan garis marka dan menjadi tontonan pengendara lain.
*** Â
Kini warna jingga memenuhi langit barat. Nampak Ara yang tengah menikmati suasana tersebut dengan secangkir kopi dan kue brownis. Sesekali tangannya bergerak mencoretkan tinta di selembar kertas putih. Sudah beberapa puisi ia selesaikan. Baginya Senja adalah salah satu sumber inspirasi menulis.
 "Kak, ayo cepat ambil wudhu terus siap-siap ke masjid!"tegur ibu.